"Kak, kamu kenapa menangis?" tanya adiknya, yang sudah berdiri di pintu kamar.
Ana buru-buru menghapus air matanya. "Nggak apa-apa. Kakak cuma capek."
Adiknya hanya mengangguk, lalu kembali ke kamarnya.
Ana mengambil buku catatan kecil dari bawah bantalnya. Buku itu adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa menuliskan semua perasaannya. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis:
"Kenapa hidupku seperti ini? Aku sudah mencoba minta tolong, tetapi tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang percaya. Apa aku memang seharusnya hidup seperti ini? Apa aku salah lahir di dunia ini?"
Setelah selesai menulis, Ana menutup buku itu dan memeluknya erat. Ia tahu bahwa satu-satunya orang yang benar-benar mendengarkannya saat ini hanyalah kertas dan tinta.
***
Hari itu, hujan turun deras di kota kecil tempat Ana tinggal. Langit kelabu mencerminkan suasana hatinya yang rapuh. Sepulang sekolah, Ana dan Ria berjalan bersama di bawah satu payung yang Ria bawa. Hujan membuat langkah mereka lambat, tetapi Ana tidak keberatan. Setidaknya, hujan menyembunyikan air mata yang mulai mengalir di pipinya.
"Ana, kamu kenapa? Sepertinya kamu banyak pikiran akhir-akhir ini," tanya Ria sambil melirik sahabatnya yang terus menunduk.
Ana tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan pegangannya pada tali tasnya. Baginya, kata-kata sudah terlalu sulit untuk diungkapkan.
"Kamu tahu, kan, aku selalu ada kalau kamu mau cerita," lanjut Ria dengan nada lembut.