Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Pejabat ''Asal Bunyi", Rakyat Terluka, Negara Merana

4 September 2025   22:59 Diperbarui: 6 September 2025   20:01 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sahroni ketika ucapan menjadi malapetaka-tirto.id

Saya masih ingat ketika menonton acara debat di televisi yang dihadiri para pejabat mewakili partai-partai politik. Satu hal yang saya ingat adalah cara mereka beretorika memang sepertinya sudah jadi ciri khas pejabat, berputar-putar meski sebenarnya jawaban yang diinginkan si penanya hanya jawaban "Ya" atau "Tidak". Kadang-kadang malah "Asbun" asal bunyi. 

Apalagi jika sudah bicara tentang rakyat, keadilan, kemakmuran, Pancasila rasanya mereka paling memahami substansinya. Tapi ketika bicara tentang kepentingannya atau menyangkut partainya, mereka akan sangat berhati-hati.

Tapi dalam kasus yang belakangan menjadi polemik berkepanjangan, sampai memancing demo dari tanggal 25 Agustus 2025 hingga sekarang menunjukkan bahwa perilaku mereka ternyata justru tidak Pancasilais, tidak bisa memilih dan memilah ucapannya ketika beretorika.

Sebenarnya bukan kali ini saja pejabat kita bicara atau bertindak tidak peka keadaan atau memancing polemik.

menonton pejabat di televisi-kompas.com
menonton pejabat di televisi-kompas.com

Dalam beberapa waktu terakhir, publik kembali disuguhkan serangkaian pernyataan kontroversial dari para pejabat negara seperti saling unjuk kuasa. Bahkan di tengah penantian menunggu respons pemerintah dan DPR terkait 17+8 tuntutan rakyat, perhatian kita justru kembali teralihkan oleh ucapan kontroversial dari Menteri Agama Nasaruddin Umar soal guru.

Ini benar-benar runyam dan fatal. Pola komunikasi yang kerap menimbulkan kegaduhan ini memicu pertanyaan mendasar, sebenarnya bagaimana kualitas pejabat kita dalam menyampaikan pesan maupun kebijakan yang telah mereka kerjakan?

Padahal para pejabat harusnya menyadari bahwa di era ketika komunikasi meninggalkan jejak digital yang tidak mudah dihapus, tapi justru sangat mudah menyebar dan menebar kebencian harus menjadi ingatan yang tidak mudah dilupakan.

Para pejabat tidak pernah mau belajar dari pengalaman rekan-rekan mereka. Bahkan jejak digital sebelum mereka naik ke kursi kekuasaan pun dengan mudah dimunculkan lagi dan langsung menjadi polemik.

Dalam beberapa acara selama demo-demo besar berlangsung belakangan ini, sangat terlihat jika para pejabat di Aceh berusaha menjaga dan berhati-hati ketika tampil di ruang publik. Bahkan dalam acara Festival Literasi Aceh 2025 saja, pejabat sampai menitipkan pesan kepada koleganya yang hadir untuk menjaga ucapan, karena lidah itu seperti harimau katanya. Begitu juga kepada kami yang hadir, diharapkan untuk tidak mudah terprovokasi, memilih dan memilah tindakan dan ucapan. Padahal pesan itu semestinya lebih baik ditujukan kepada para pejabat yang harusnya berhati-hati ketika berbicara di ruang publik.

Dengan kepiawaian mereka selama berkampanye, seharusnya tidak perlu kita mengukur dan menilai, berapa skor yang harus diberikan kepada mereka dalam urusan kemampuan public speaking pejabat kita. Apalagi sampai dilatih lagi caranya public speaking agar dampaknya tidak menimbulkan efek domino seperti sekarang ini.


Tapi jika kita memang harus memberi skor untuk kemampuan public speaking pejabat kita, skala 1-10 rasanya tidak cukup. Kita harusnya menggunakan kriteria yang lebih holistik.

Misalnya skor 1-4 menunjukkan ketidakmampuan berempati, sering menggunakan diksi yang tidak peka, dan tidak mampu mengendalikan narasi. Skor 5-7 menunjukkan kemampuan komunikasi standar, namun masih rentan salah ucap atau kurang strategis. Skor 8-10 adalah level ideal, di mana pejabat mampu berkomunikasi dengan empatik, persuasif, dan mampu meredam potensi konflik.

Sayangnya, banyak pejabat kita saat ini berada di rentang skor 5-7, bahkan tak jarang terjebak di bawahnya. Mereka sering kali lebih fokus pada retorika politik daripada substansi, dan tidak jarang, pesan yang disampaikan justru merusak reputasi mereka sendiri dan institusi yang diwakili.

Tapi yang membuat saya tidak habis pikir, justru dengan kecerdasannya itu mereka seolah rela agar terlihat bodoh. Seperti sulit memahami substansi pertanyaan ketika sudah menyangkut kepentingan kelompok atau dirinya sendiri secara personal. Bahkan untuk sekedar menjawab "Ya" atau "Tidak" rasanya kok begitu sulit.

Kini cara mereka berkomunikasi telah memakan korban martir. Pernyataan-pernyataan yang kontroversial telah memicu polemik yang berefek domino. Ucapan pejabat, yang sensitif, langsung memicu reaksi berantai di media sosial, menjadi bahan perdebatan, dan pada akhirnya mengikis kepercayaan publik seperti yang terjadi sekarang ini.

gaya pejabat-detikcom
gaya pejabat-detikcom

Pejabat Harus Instrospeksi dan Belajar

Rasanya kalau mengharuskan mereka belajar atau berlatih komunikasi dan public speaking kok rasanya absurd. Tapi melihat realitas yang sering dipertunjukkan mereka, keharusan belajar itu menjadi realistis.

Mungkin mereka harus lebih belajar mengendalikan diri, secara psikologis harus lebih sabar ketika menghadapi tekanan publik. Namanya juga wakil rakyat, maka wajar jika rakyat mengeluhkan masalah yang ada kepada wakil mereka di parlemen.

Pejabat harus menyadari bahwa berbicara di depan publik tidak sama dengan berdiskusi di ruang rapat. Mereka harus dilatih untuk memahami audiens, memilih diksi yang tepat, dan menyampaikan pesan dengan jelas tanpa ambiguitas.

Saya kadang-kadang juga bingung ketika mendengar ucapan pejabat. Mungkin karena mereka terlalu pintar, sehingga kita yang jadi merasa bodoh memahami substansi pembicaraan mereka.

Atau biar bicaranya terukur dan teratur, mungkin pejabat kita sebaiknya didampingi ahli penulis pidato (speechwriter) atau tim komunikasi strategis supaya pesannya kepada publik tidak memancing polemik.

perilaku pejabat-tvonenews
perilaku pejabat-tvonenews

Sebagai pejabat mestinya tidak harus menjadi ahli retorika, karena tugas mereka membuat kebijakan, sedangkan tim profesional yang mendampinginya bertugas merumuskan cara terbaik untuk menyampaikan kebijakan tersebut. Tim inilah yang mestinya harus peka terhadap isu-isu sensitif dan mampu merancang narasi yang tidak hanya informatif, tetapi juga memenangkan hati rakyat.

Tapi jika memang tetap berkeinginan berbicara di depan publik, paling tidak mereka harus memahami audiensnya. Dalam kasus ketika pernyataan "tolol" dimaksudkan pejabat berinisial A.S katanya ditujukan untuk orang yang memahami soal politik, tapi karena pernyataanya itu bisa dimaknai ganda, maka rakyat biasa juga ikut merasa dikecam. Dan ketika pernyataan itu diklarifikasi, seperti ludah yang sudah dibuang, tidak bisa dijilat kembali.

Bahkan seorang pejabat juga harus belajar kembali memahami struktur pesan  (Message Structuring). Pesannya harus punya alur yang jelas. Mereka juga harus belajar Respons Cepat tapi tidak asbun-asal bunyi atau asal bicara. Mengapa ini penting dipelajari, agar pejabat belajar cara merespons dengan tenang, tidak emosional, dan harus tetap fokus pada pesan utama.

Berbagai kejadian hingga memicu demo berkepanjangan harusnya menjadi refleksi, kontemplasi bagi pemerintah agar tidak hanya fokus pada substansi kebijakan, tetapi juga pada cara penyampaiannya. Jika tidak memilih dan memilah kata, akhirnya sebaik apapun sebuah kebijakan tetap saja tidak punya makna jika tidak dikomunikasikan dengan bijak.

Peristiwa yang terjadi belakangan ini membuktikan, bahwa kualitas komunikasi pejabat yang buruk mencerminkan buruknya pemerintahan di bawah kendali mereka juga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun