Aku menganalogikan senja dengan kehidupanku saat ini. Kesuksesan, harta, popularitas sudah kupunya, setelah waktuku habis nanti tinggal menanti kematian, menjadi gelap dan sendiri. Jadi, untuk apa aku mengejar angka-angka, nama tenar kalau akhirnya aku mati tanpa membawa semua yang kumiliki. Barangkali satu-satunya yang akan dikenang hanyalah namaku. Itu saja.
 Aku merenung. Lamat-lamat kudengar suara azan. Suaranya terdengar jelas.
"Non," panggil Bi Min. "Jendela belum ditutup."
Aku terkesiap. Lamunanku menguap seiring ketukan Bibi di pintu kamar. Aku tidak menjawab, tanganku meraih jendela dan menguncinya.
Aku kembali duduk di sofa dekat jendela. Tanganku meraih ponsel yang tergeletak di meja. Ada lima panggilan dari nomor yang berbeda. Salah satunya dari Syifa. Gadis itu pasti kehilangan. Aku memang tidak memberitahu kepindahanku ini, walaupun sementara, biasanya aku selalu berkabar dengannya.
SyifafaÂ
Nayaaaaa. Kamu di mana, sih?
Cepat buka pintu!
Aku dobrak, nih!
Aku hanya tersenyum membaca pesannya. Aku mencoba membalasnya dengan menggunakan video call. Dua kali panggilan dibiarkannya saja. Sampai panggilan keempat wajah masamnya muncul.
[Tahu waktu, dong, kalau nelpon!]