Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cokelat dan Arloji

9 Juli 2020   06:01 Diperbarui: 12 Juli 2020   05:16 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Lama

Mang Ding mengangkat kursi putarku. Pria itu baru saja selesai memperbaikinya. Kini kursi itu sudah bisa tegak, berputar, sandarannya sudah kembali normal. Kursi sudah siap menemani malam-malamku. Aku puas dengan hasil kerjanya.

Belum sempat mengucapkan terima kasih, pria itu sudah berlalu. Aku mencarinya hingga ke teras. Mang Ding ada di halaman, di bawah pohon mangga, sekitar lima meter sebelum pagar. Mang Ding tidak sendiri, ia bersama istrinya. Pria itu sedang duduk sembari merokok.

Angin menjatuhkan daun-daun kering pohon di sekitar rumah. Berguguran. Daun-daun kering menjadi sampah dan dikumpulkan Bibi. Ternyata mereka sangat kompak. Bibi mengumpulkan sampah, Mang Ding memasukkannya ke dalam keranjang sampah di beberapa titik pengumpulan.

Rumah peninggalan Papa ini dikelilingi pohon buah-buahan. Papa hobi mengoleksi berbagai jenis pohon buah. Cita-citanya sederhana. Ketika pensiun, ia akan tinggal di rumah yang dikelilingi pepohonan. Sayangnya, Papa berpulang sebelum sempat menikmati pohon buah miliknya. Ah, aku menggeleng cepat, membuyarkan ingatanku terhadap Papa. Mataku mengerjap-ngerjap, sebuah usaha mencegah butiran air mata itu jatuh.

Pandanganku kembali ke dua sejoli yang tengah berada di pojok kiri halaman depan. Aku ingin memanggil Mang Ding, tapi urung kulakukan. Mereka sepertinya sedang berbincang, walaupun aku tidak mendengar apa yang mereka bincangkan. Aku masih berdiri sambil terus memperhatikan mereka berdua. Sampai akhirnya, kuputuskan masuk ke rumah.

"Non!"

Mang Ding berlari kecil menghampiriku. Aku pun urung masuk rumah.

"Non, kursinya rusak lagi?"

Aku tersenyum, lalu menggeleng. "Justru saya mau bilang terima kasih, kursi saya bagus lagi. Terima kasih, ya, Mang."

Dengan membungkukkan badannya dia mengangguk.

"Sudah sana, terusin nyapunya."

"Baik, Non."

"Eh, Mamang jadi pulang nanti?"

"Jadi, Non."

"Jemput Jupi, 'kan?" Aku berseloroh.

Mang Ding menggaruk tengkuknya yang mungkin tidak gatal. Itu hanya reaksi malu dan salah tingkahnya.

Sambil tersenyum, aku melanjutkan menggoda pria lugu itu. "Semoga Jupi kerasan ya, Mang."

"Aamiin."

Aku masuk ke kamar dengan memasang senyum. Ah, rasanya sudah lama sekali pipiku tidak tertarik seperti ini. Baru semalam aku berada di rumah ini, aku merasakan kebahagiaan yang sudah lama lenyap dari hariku.

Kepergiaan Papa adalah bagian dari takdir yang menurutku sangat tidak adil. Aku sempat terpuruk. Aku protes dan marah kepada Tuhan. Ya, kepada Tuhan yang telah memberiku masalah berat. Semakin aku marah, semakin kacau hidupku. Ah, rasa bersalahku membuatku hampir gila. Semua ini karena dia. Arrggh, pria itu lagi.

Aku beranjak dari kursi putar mendekati jendela kamar yang masih kubiarkan terbuka. Dari tempatku berdiri terlihat halaman yang demikian luas. Jauh di belahan barat, semburat jingga bersemu merah menghiasi cakrawala. Indah. Indah sekali. Walaupun keindahannya hanya sesaat karena kelam akan segera menggantikannya.

Aku menganalogikan senja dengan kehidupanku saat ini. Kesuksesan, harta, popularitas sudah kupunya, setelah waktuku habis nanti tinggal menanti kematian, menjadi gelap dan sendiri. Jadi, untuk apa aku mengejar angka-angka, nama tenar kalau akhirnya aku mati tanpa membawa semua yang kumiliki. Barangkali satu-satunya yang akan dikenang hanyalah namaku. Itu saja.

 Aku merenung. Lamat-lamat kudengar suara azan. Suaranya terdengar jelas.

"Non," panggil Bi Min. "Jendela belum ditutup."

Aku terkesiap. Lamunanku menguap seiring ketukan Bibi di pintu kamar. Aku tidak menjawab, tanganku meraih jendela dan menguncinya.

Aku kembali duduk di sofa dekat jendela. Tanganku meraih ponsel yang tergeletak di meja. Ada lima panggilan dari nomor yang berbeda. Salah satunya dari Syifa. Gadis itu pasti kehilangan. Aku memang tidak memberitahu kepindahanku ini, walaupun sementara, biasanya aku selalu berkabar dengannya.

Syifafa 

Nayaaaaa. Kamu di mana, sih?

Cepat buka pintu!

Aku dobrak, nih!

Aku hanya tersenyum membaca pesannya. Aku mencoba membalasnya dengan menggunakan video call. Dua kali panggilan dibiarkannya saja. Sampai panggilan keempat wajah masamnya muncul.

[Tahu waktu, dong, kalau nelpon!]

[Assalamualaikum, cantik]

[Walaikumsalam. Dah salat, Nay?]

Aku hanya memasang senyum, lalu menggeleng.

[Salat dulu, deh. Aku mau lanjut baca Al Kahfi. Nanti sambung lagi. Assalamualaikum]

Tut!

Sambungan telepon terputus sepihak. Sialan, gerutuku. Aku bangun dari duduk dan keluar kamar. Lampu di ruang tamu temaram. Bibi sudah menyalakan lampu teras dan lampu luar.

Sebelum ke dapur, langkahku berhenti di depan kamar belakang. Kamar yang biasa ditempati Mang Ding dan Bi Min. Samar-samar kudengar Bibi sedang mengaji. Aku mematung. Lama aku tegak di depan pintu. Aku melangkah pelan lebih dekat ke pintu. Saat tanganku terulur hendak menguak daun pintu, seseorang lebih dulu mengejutkanku.

"Non?"

Aku terperanjat. Tiba-tiba Mang Ding sudah berada di belakangku. Bukankah dia pamit pulang ke rumahnya menjemput ayam jago kesayangannya?

"Mang?! Ta-tapi---"          

Seolah tahu kebingunganku, ia lalu berkata, "Mau ambil kunci, Non."

"Kunci rumah, Kang?" Bibi keluar kamar menyerahkan kunci.

"Permisi, Non."

Pria paruh baya itu membungkukkan badan dan melangkah ke luar. Aku hanya mengangguk. Mataku mengikuti langkah Mang Ding sampai hilang di balik pintu dan menguncinya dari luar. Aku bahkan tak menyadari Bibi memperhatikanku sejak tadi.

"Non Nayya?" panggilnya.

"Eh, Bi. Sa-saya kaget tadi." Aku berusaha jujur.

"Non mau makan sekarang?"

"Emm, Bibi sudah selesai ngajinya?"

"Sudah, Non."

Aku mengangguk. "Saya tunggu di meja makan, ya, Bi." Sambil balik badan meninggalkan kamar Bibi. Aku masuk ke kamarku untuk salat.

Usai salat, sambil menunggu Bibi menyiapkan makan malam, aku membuka beberapa pesan di ponselku. Sebuah nomor yang belum sempat kuberi nama kembali mengirimku pesan. Ada nominal baru yang dikirimkannya.

"Untuk apa lagi ini?" bisikku.

"Non?"

Panggilan Bi Min mengalihkan rasa penasaranku. Barangkali sehabis makan malam, ada penjelasan tentang ini.

Aku beranjak dan menuju meja makan. Ada pepes jeroan pesananku. Aku dan Bibi menghabiskan makan tanpa banyak bicara. Terlebih aku yang sangat menikmati pepes jeroan itu. Lezat. Mungkin bukan hanya racikan bumbu yang terpadu dengan pas, tetapi ada rasa lain yang turut teramu di dalamnya. Entah apa itu.

Makan malam pun selesai. Sebelum Bibi mengemas meja makan, aku menahannya dan mengajaknya ngobrol. Bi Min menurut. Perempuan yang telah merawat rumah ini sejak aku kecil, kembali duduk di hadapanku.

Sudah lama aku tidak berbincang dengan Bibi. Tiba-tiba aku ingin mengetahui keadaannya juga keluarganya. Mungkin aku sedikit lancang, tetapi aku ingin mengetahuinya. Entah karena aku ingin atau hal lain.

"Bi, anak Bibi sekarang di mana? Siapa namanya, ya, Bi?"

"Faizal. Dia di Bandung."

"Di Bandung? Sejak kapan, Bi?"

"Setelah menikah dia pindah ke Bandung, Non."

"Loh, Faizal sudah menikah? Kok aku nggak tahu, Bi?"

"Emm, nikahnya di Bandung. Waktu itu Bapak sedang sakit, Non. Jadi, Bibi dan Mamang sengaja tidak kasih kabar. Lagian ...."

"Kenapa, Bi?"

"Lagian ... gak ada acara apa-apa."

"Anak Bibi cuma Faizal?"

Tiba-tiba wajahnya pias. Bi Min terlihat gugup, terlihat dia memainkan jemarinya.

"Bi? Maaf."

"Ah, tidak, Non."

"Maafkan pertanyaan aku, Bi. Aku tidak bermaksud membuat Bibi sedih."

Bi Min tersenyum, lalu menggeleng.

"Bibi dan Mamang tidak punya anak, Non."

Aku terkejut mendengar jawabannya. Selama ini aku menyangka Faizal adalah anak mereka, anak kandung Bibi dan Mamang. Tak ingin mendesaknya dengan pertanyaan lain, aku memilih diam dan membiarkan Bibi bercerita.

Part berikutnya

https://www.kompasiana.com/rinisusi/5f0796f8097f360ce62fc703/cokelat-dan-arloji

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun