Mohon tunggu...
rindu aksara
rindu aksara Mohon Tunggu... Lainnya - Wordsmith

I am somewhat ink on paper

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Venus dan Perempuan Mars

3 Desember 2022   10:06 Diperbarui: 3 Desember 2022   10:10 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan sedang turun dengan derasnya di luar stasiun kereta commuter line. Titik air jatuh berderai-derai dari pinggiran atap alumunium, berkilau seperti manik-manik kristal terkena sinar lampu-lampu LED putih terang yang berjajar di sepanjang plafon teras stasiun. Matahari sejak tadi tertutup awan hujan. Perjalanan redupnya langit sore menuju petang tak terbaca, didesak oleh mendung dan seketika gelap malam.

Lalu lintas padat, bergerak tersendat-sendat sepanjang jalan satu arah di luar stasiun. Roda dua maupun empat aneka warna menyemut di pintu gerbang stasiun untuk menjemput penumpang kereta, menimbulkan kemacetan. Satu dua terlihat masih disiplin maju bergiliran. Tapi lebih banyak yang berlagak seakan pandai mengambil peluang, padahal menyerobot antrean.

Klakson mobil tiba-tiba bising memaki angkot yang mendadak berhenti agak ke tengah jalan persis di depan pintu gerbang stasiun, supirnya tak acuh dan bersikeras ngetem menunggu penumpang. Kebal terhadap makian dan sumpah serapah pengendara lain, supir hanya melambai-lambaikan tangan kanannya dari jendela memberi tanda 'silakan mendahului jika kau tak sabar'. Mau tak mau, barisan mobil yang terlanjur terjebak di belakang angkot itu harus menyalip untuk melepaskan diri dari kemacetan, menuruti titah lambaian tangan si supir angkot.

Timer yang biasa mangkal di depan stasiun sibuk meneriakkan rute dan tujuan si angkot, menunggu imbalan koin rupiah. Penumpang angkot satu persatu masuk memenuhi mobil biru tua tersebut. Angkot pun melaju meneruskan perjalanan. Hanya untuk digantikan oleh angkot lainnya yang juga ngetem menunggu penumpang. Begitulah, pemandangan harian jam pulang kerja di stasiun kereta suburban.

Perempuan bernaung dari hujan, di bawah atap seng sempit sebuah warung rokok, menjauh dari kerumunan di mulut stasiun. Matanya sibuk memeriksa dengan jeli satu-persatu nomor polisi pada mobil-mobil yang lalu lalang di jalan raya. Dari kejauhan, dia mengenali minibus berwarna merah marun dan bergegas mendekatinya. Lincah memotong barisan motor mobil, cekatan membuka pintu kiri depan dan cepat-cepat duduk di kursi penumpang.

Air hujan masih ramai menetes dari rambut sebahu Perempuan, dia tidak memedulikannya. Setelah memutar badan untuk menaruh tas ranselnya di kursi belakang, dia memasang sabuk keselamatannya. Tanpa melirik, Perempuan berkata pada pengemudi minibus, “kenakan seatbelt-mu.”

Lelaki baru tersadar pada kelalaiannya untuk mengenakan sabuk keselamatan. Saat mobil merayap dalam kemacetan, dia menarik sabuk itu dengan tangan kanannya. Sibuk meraba-raba selot untuk mengaitkan sabuk namun tak menemukannya. Dia mengoper sabuk itu dari tangan kanan ke tangan kirinya. Seperti berakrobat, Lelaki berulangkali berusaha memasukan kepala sabuk sambil tetap memegang setir dengan satu tangan yang bebas. Lagi-lagi tanpa hasil. Lubangnya seperti terhalang sesuatu. Sesaat dia menundukkan pandangan dari lalu lintas di depan untuk melihat posisi selot, ternyata lubangnya terhalang oleh kain celana panjangnya.

Akibatnya, mobil berjalan terlalu ke kiri, perlahan-lahan mulai melangkahi marka putus-putus di tengah jalan.

Di sebelah Lelaki, Perempuan mengamati spion kiri dengan saksama. Memperhatikan motor ojol yang melaju cepat di tengah-tengah barisan kemacetan. Jas hujan plastik tipis berkibar-kibar, motor itu tidak mengurangi kecepatannya. “Awas motor dari kiri belakang,” Perempuan memperingatkan.

Lelaki gelagapan karena peringatan tadi ditambah karena tak kunjung berhasil memasang sabuk keselamatan. “Iya, iya. Tentu saja aku lihat,” jawabnya sambil melirik ke spion kiri. Oleng sedikit dengan entakan ringan, minibus itu lalu dikembalikannya ke lajur semula.

Perempuan mengulurkan tangan mengambil kepala sabuk dari tangan kiri Lelaki, menyibak kain celana panjang yang menghalangi lubang selot, lalu mengunci kepala sabuk dalam selot hingga terdengar bunyi klik. Dia menarik sabuk itu sekali, meyakinkan bahwa sabuk sudah terpasang dengan baik.

"Bagaimana hari ini di kantor? Ada kejadian menarik?" tanya Lelaki sambil sekilas memandang wajah Perempuan.

"Baik, biasa saja," jawab pendek Perempuan. Matanya tetap awas memperhatikan lalu lintas di depan.  

"Proyek yang sedang kau kerjakan, lancar? Deadline-nya pekan depan, ya? Apa sudah final?" tanya Lelaki lagi.

"Ya," kata Perempuan.

"Bukannya pekan depan bersamaan dengan cuti bersama libur nasional? Bagaimana jadwal presentasimu nanti?" selidik Lelaki.

"Sebelum tanggal merah," kata Perempuan.

"Ooo," kata Lelaki. "Departemenku juga sedang sibuk sekarang. Biasa, menyelesaikan laporan-laporan akhir tahun. Kepala Bagianku jadi rajin menanyakan ini-itu, padahal biasanya dia santai-santai saja. Karena banyak ditanya-tanya, waktuku jadi lebih banyak meladeni obrolannya daripada menyusun laporan. Semoga saja bisa aku selesaikan sebelum liburan."

"Hmm," gumam Perempuan sambil mengangguk tanda mengiyakan.

Setelah itu jeda. Mereka hanya merambati kemacetan jalanan sambil mendengarkan lagu barat yang diputar stasiun radio. Penyiar radio mengatakan bahwa kepadatan lalu lintas terjadi di seantero daerah penyangga ibukota akibat hujan deras yang terus mengguyur sejak siang hari. Genangan air dimana-mana, jalan tol kebanjiran, kendaraan padat merayap. Tipikal.

"Kau sudah makan malam belum? Lapar kah?" tanya Lelaki.

"Belum," kata Perempuan.

"Mau beli di warung padang dekat rumah atau pesan lewat ojol?" tanya Lelaki.

"Mana saja boleh," kata Perempuan.

"Baiklah," kata Lelaki sambil mengamati dalam-dalam wajah Perempuan. Dalam hati, dia bertanya-tanya, mengapa Perempuan tidak antusias mengobrol dengannya hari ini. Biasanya pembicaraan dalam mobil sepanjang jalan pulang selalu menjadi keseruan. Saling berbagi cerita lucu maupun kejadian menyebalkan yang terjadi di kantor hari ini. Bahkan macet pun menjadi tidak terasa karena obrolan ceria.

Diam lagi sejenak. Hanya lagu-lagu barat dan penyiar radio yang bersuara. Perempuan masih saja diam. Lelaki berulangkali mencuri pandang ke wajah Perempuan. Berusaha membaca air mukanya. Tapi tidak ada ekspresi apapun, datar saja. Ada apa gerangan?

Lamunan Lelaki dibuyarkan oleh pengumuman yang dibacakan oleh penyiar radio. "Breaking News. Telah terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan arteri dekat stasiun kereta commuter line. Sebuah truk pengangkut sembako terbalik setelah menabrak separator busway yang tidak terlihat akibat tergenang banjir. Kecelakaan ini mengakibatkan antrean sepanjang 3km. Para pengendara dianjurkan untuk menempuh jalan alternatif dan tetap waspada."

Perempuan berkata, "ambil jalur kanan lalu masuk saja ke jalan tol."

"Tanggung sekali kalau masuk jalan tol sekarang padahal harus keluar di exit berikutnya. Belum lagi mesti putar balik untuk masuk ke kompleks perumahan. Sudah bayar mahal, jalannya lebih jauh pula," protes Lelaki.

"Memang lebih mahal dan lebih jauh. Tapi lebih hemat waktu dan bensin. Karena ada kecelakaan di depan, kita bisa terjebak berjam-jam lamanya. Lebih baik masuk tol," Perempuan menjelaskan.

Dengan enggan, Lelaki mengikuti saran perempuan dan mengambil lajur kanan lalu masuk ke jalan bebas hambatan. Lalu lintas cukup padat di dalam jalan tol, kendaraan merayap pelan-pelan dalam guyuran hujan. Lelaki menjadi agak pesimis dengan ide Perempuan yang telah diikutinya tadi.

Dari dalam jalan tol, mereka melihat pemandangan kemacetan lalu lintas di jalan arteri. Antrean kendaraan berhenti total, jalan arteri berubah menjadi area parkir. Bahkan motor pun tak dapat melintas terhalang ceceran karung-karung sembako yang berserak memenuhi jalan. Agaknya kalkulasi Perempuan benar adanya.

Lagi-lagi tak ada obrolan, Perempuan kembali pada diamnya. Lagi-lagi hanya lagu yang mengalun dari stasiun radio. Lagi-lagi Lelaki bertanya-tanya mengapa Perempuan sungguh berbeda hari ini.

Apakah dia telah melakukan kesalahan? Kesalahan apa ya? Apakah Perempuan marah padanya? Marah karena apa ya?  Sepertinya tadi pagi ketika berangkat kantor masih baik-baik saja, mengobrol seperti tidak ada masalah. Kenapa malam ini jadi berubah 180 derajat ya?

Sambil membatin, Lelaki mengingat lagi rutinitas pagi hari tadi. Rasanya normal-normal saja. Dia mengemudi, disebelahnya Perempuan menyelesaikan dandanannya. Memakai celak mata tipis-tipis, mengoleskan pemerah bibir dan pipi, menyemprotkan parfum. Dia baru menyadari bahwa harum parfum yang dipakai Perempuan berbeda hari ini. Lebih wangi, lebih menyengat dari biasanya. Ini di luar kebiasaan Perempuan.

Jangan-jangan Perempuan jatuh cinta lagi!

"Kenapa sih dari tadi kau diam saja? Ditanya kabar pun hanya pendek-pendek jawabannya? Menanyakan kabarku pun tidak?" sembur Lelaki kesal.

"Aku sudah menempuh macet menjemputmu, padahal bisa saja aku menyuruhmu naik ojol. Karena aku perhatian padamu. Tapi kau diam saja. Apa kau sudah tidak cinta lagi padaku?"

"Astaganagaaaaaa," Perempuan membelalak, nada suaranya seakan tak percaya Lelaki bisa menuduhnya seperti itu.

"Aku ini kebelet pipiiiiiiiis," kata Perempuan kesal.

"Oh iya, iya," Lelaki menjawab terbata-bata.

Dengan cekatan Lelaki memutar balik mobil minibus merah marun, dan segera masuk ke kompleks perumahan. Dalam hati, Lelaki merasa lega bahwa Perempuan tidak marah padanya. Dan tidak berpaling ke lain hati. Ia tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun