Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Ja Limbat

24 Agustus 2019   12:02 Diperbarui: 24 Agustus 2019   12:10 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Baca juga : 1,2,3,4,5,6

Mata Ja Limbat kagum melihat hotel megah itu. Sampai pegal lehernya mendongak ke atas. Tinggi sekali Mak Jang, batin Ja Limbat. "T-i-a-r-a." Dia mengeja nama itu sambil tertawa. "Mantap sekali. Sama dengan nama kau. Cantiknya juga sama. Tak percuma aku ke Medan." Dia sikut perempuan itu, hingga hampir terjatuh. Sigap dia pegang pinggang rampingnya. Manik mata mereka saling beradu. Perempuan itu terpana. Ja Limbat membuang pandang. Tak boleh yang beginian. Ja Limbat langsung melepaskan tubuh perempuan itu. Untung tak jerembab ke tanah. Perempuan itu sigap memegang pohon kayu akasia, tempat mereka bersandar.

"Maafkan aku, Tiara. Aku sudah tak berlaku sopan. Kata guru ngajiku, kalau bukan muhrim, tak boleh berdekatan. Kita juga berdua-duaan di bawah pokok kayu ini. Bahaya, ada yang ketiga." Ja Limbat bergegas masuk ke dalam hotel itu.

"Yang ketiga siapa? Di sini tak ada orang," teriak Tiara sambil berlari kecil di belakang Ja Limbat.

"Yang ketiga adalah setan," jawab kawan kita ini dengan tenang. Dan tanpa sadar, Tiara memeluk punggung Ja Limbat karena ketakutan. Lalu, meminta maaf berkali-kali.

Ja Limbat mengelus dada. Antara merasa berdosa dan mendapat rejeki nomplok. Di Tor Siojo, orang yang paling cantik, yang diincar pemuda, hingga duda, yang belum punya istri, hingga yang kawin tiga kali, adalah si butet. Ah, masih kalah jauh dari Tiara. Ibarat emas dua puluh empat karat dan kuningan.

Tiara ini adalah anak kawan Ja Sulaiman yang akan melakukan acara pernikahan itu. Maksudku bukan kawan Ja Sulaiman yang akan menikah, tapi dia adik dari perempuan yang akan menikah itu, dan kawan Ja Sulaiman adalah bapaknya. Aduh, pening pun kepalaku. Baik kita kembali ke cerita semula.

Ciyee, eh apakah tahun 1983 sudah ada istilah ciyee-ciyee. Anggap sajalah sudah ada. Ibarat Film India, mereka adalah Sridevi dan Mithun Cakarbortu,eh, salah, Chakraborty.

Tiara sendiri heran kenapa dia senang kepada Ja Limbat. Padahal lelaki yang lebih tampan dari dia, bertabur di USU. Lelaki yang mengejar-ngejar Tiara tak terhitung dengan jari tangan dan kaki. Apa yang menarik dari Ja Limbat? Apakah karena kepolosannya? Dia membuang pandang. Papanya, Sukat Saksuat, mendekat. Dia tertawa senang. "Nah, untung kau di sini, Ja Limbat. Kau gantikan dulu petugas pagar bagus. Kurang satu, karena petugasnya tiba-tiba sakit. Mau, kan?"

Ja Limbat kelabakan. Tapi, ibu setengah baya langsung menariknya ke kamar rias. Apa-apaan ini? Ja Limbat dikenakan pakaian teluk belanga warna kuning dan diberikan sebuah tombak. Begitu sudah siap, dia digabungkan dengan barisan pagar bagus, lalu mengiringi pengantin hingga duduk di pelaminan. Akan hal Ja Limbat, kasak-kusuk hatinya. Gatal nian teluk belanga itu. Licin pula. Dia berjalan mengikuti iring-iringan pagar bagus. Dia membalas senyuman para tamu yang tersenyum kepadanya. Senyum adalah ibadah. Ramah-ramah pula orang Medan ini.

Hingga tiba-tiba Ja Limbat merasa agak berat melangkah. Seolah ada yang menahan kedua belah kakinya. Semakin lama, semakin berat. Dari senyuman, para tamu akhirnya tertawa sambil menunjuk ke bawah. Ja Limbat pun merunduk. Dia terkejut bukan kepalang. Celana teluk belanga tak lagi di pinggang, tapi sudah di mata kaki. Aduh, mau ke mana diletakkan wajah malu Ja Limbat. Dia memang lucu, hanya saja, untuk kasus ini beda.

Untung saja Ja Limbat mengenakan celana panjang di dalam. Kalau tidak, akan terlihat bulu kaki yang seperti hutan. Bergegas dia angkat celana teluk belanga itu, lalu berlari ke kamar rias. Seorang lelaki menahan langkahnya.

"Hahaha, lucu sekali tadi." Lelaki itu tertawa. Ja Limbat kesal, karena senyum orang Medan hanya tipu daya. Dikiranya tadi karena ramah, tahu-tahu karena ada celana teluk belanga yang merosot.

"Kenapa pula kau? Mau mengejekku pula? Kukasih moncak (pen; gerakan silat), bisa jatuh kau," ancam Ja Limbat.

"Tenang. Aku Sopan Sopantun. Seorang sutradara film lucu dari Jakarta. Kau tahu kota Jakarta yang megah itu, kan? Aku lihat kau berbakat jadi pelawak. Ini kartu namaku. Jangan sampai hilang. Nanti kau telepon aku," kata orang itu dengan senyum bahagia.

"Bisakah ini ditukar dengan nasi bungkus?" tanya Ja Limbat. Lelaki itu hanya mengibaskan tangan, lalu berlalu.

Selesai sudah kisah di Medan. Rencananya, nanti sore, Ja Sulaiman dan Ja Limbat akan pulang ke Tor Siojo (pen; bukit siojo). Ja Limbat mulai melupakan kota besar itu dan si Sopan Sopantun. Tapi, ingatannya selalu tak lepas dari Tiara. Apakah pungguk sedang merindukan bulan? Tiba-tiba kawan kita ini hilang selera lawaknya. Suka melamun. Bahkan saat berada di dalam bis ALS yang mengantarnya pulang, tak sepatah pun dia bercerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun