Baca juga :Â 1
Pagi lumayan cerah. Seperti kebiasaannya, meskipun bukan pekerja kantoran, Ja Limbat selalu mengkhususkan hari Minggu sebagai hari bersantai. Dari jam delapan pagi, hingga menjelang lohor, dia habiskan hari di atas tempat tidur. Senja hari, barulah dia mantap di Lopo Sapangek (pen; lepau sebaya), hingga menjelang tengah malam.
Tapi pagi ini dia mendapat tugas dari Ja Sulaiman, menghadiri pesta pernikahan. Karena ada dua undangan pesta pernikahan, di Hutapungkut dan di Saribu Dolok (pen; seribu tanjakan), Ja Sulaiman membagi tugas. Pesta pernikahan di Hutapungkut yang lumayan dekat dengan Tor Siojo (pen; bukit siojo), menjadi bagian Ja Sulaiman. Tentu saja pesta pernikahan di Saribu Dolok menjadi bagian Ja Limbat.
"Tahukah kau di mana Saribu Dolok, Ja Limbat?" tanya Ja Sulaiman sambil mengoleskan parfum sinyongnyong yang kemarin dia beli di pasar Kotanopan. Wanginya lumayan semerbak. Sampai seribu tikungan bisa membauinya.
Nama Saribu Dolok itu masih asing bagi Ja Limbat. Selama ini, dia paling jauh berjalan ke rumah si Aim yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari rumahnya. Namun, siapa tak kenal Ja Limbat, yang selalu merasa bisa dan merasa tahu segalanya. "Ah, Seribu Dolok itu siapa pula tak tak tahu. Segala luak, segala puak, sudah pernah aku datangi. Mau Sajuta Dolok, masih sanggup kudatangi."
"Baguslah kalau begitu. Aku berangkat dulu," kata Ja Limbat.
Pasal Ja Limbat, puaslah dia mematut-matut di depan cermin. Dari baju koko sampai baju batik dia coba. Hanya saja selalu tak bisa menyangga perut buncitnya. Belakangan, dia hanya mengenakan kaos oblong.
"Ha, masih pagi sudah berlagak kau ini. Mau kemana? Parfummu sangat wangi. Lalat saja bisa mati dibuatnya," kata Wak Midah sambil membuka Lopo Sapangkek.
"Wak mengejek aku pula. Beruntung aku masih ada hutang sepiring mie rebus. Jadi, tak marahlah aku."
"Apa kau bisa marah?" Tawa Wak Midah. Ja Limbat terbahak-bahak, sambil tangannya menarik sebungkus kripik pedas. Biasa, hutang dulu. Wak Midah hanya bisa menggeleng-geleng.
"Aku mau pergi dulu, Wak. Mau mencari menantumu," ucap Ja Limbat. Sebuah motor travel (pen; mobil travel) melintas, hilanglah badan Ja Limbat yang gempal di dalamnya.