Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Ja Limbat

13 Agustus 2019   15:11 Diperbarui: 13 Agustus 2019   15:31 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Baca juga : 1, 2, 3

Ja Sulaiman mulai pening melihat Ja Limbat. Sudah berumur tiga puluh tahun, tak terpikir dia sekadar melirik perempuan. Apalah lagi diharapkan mau menikah. Kerjaannya luntang-lantung terus. Kalau tak di Lopo Sapangkek, dia tidur. Kalau tak tidur, mencangkul di kebun. Kalau tak, di rumah si anu, membenarkan atap rumah. Kalau tak, di rumah badu menggali sumur. 

Ja Sulaiman sebenarnya tak harus pening masalah makannya. Ja Limbat selalu dapat makan di luar karena ringan tangan alias suka membantu dan ringan hati. Namun, masalah mau beli apa-apa, masih saja menadah tangan kepada Ja Sulaiman. Tak dapat ditunda lagi, Ja Limbat harus menikah agar bisa merubah tabiatnya.

Pagi itu, Ja Sulaiman meletakkan segepok uang di meja. Hijau mata Ja Limbat. Cerah wajahnya. Kantongnya berteriak minta diisi. Namun, manakala Ja Sulaiman mengatakan uang itu untuk biaya Ja Limbat mencari jodoh, punahlah wajah cerah itu.

"Ayah sudah pening melihat kau luntang-lantung terus. Lihat kawanmu si Mizan, sudah beristri, malahan ingin nambah lagi. Dia juga sudah pergi ke Mekkah untuk Umroh. Ini kau, kerjaan melawak saja di Lopo Sapangkek. Apa yang kau cari di sana? Ingin melamar Wak Midah kau rupanya?" Ja Sulaiman merutuk.

"Alah, ayah ini kalau ngomong asal ngejeplak saja. Lopo Sapangkek itu tempat yang asyik. Ayah juga tak bagus mengatakan aku ingin melamar Wak Midah. Bukankah ayah yang berusaha melamarnya dulu? Tapi kalah satu tikungan dengan suaminya yang sekarang." Ja Limbat tertawa. Dia menang satu angka, dan Ja Sulaiman menekukkan wajah merasa kalah. Kaki dia naikkan ke atas kursi. Uang segepok itu, dia angsurkan kepada Ja Limbat.

"Pergilah kau selama seminggu ini ke rumah Wak Dahler, habis itu ke rumah Wak Ja Sutan dan Wak Ja Sukat. Bawalah kuda itu untuk kendaraanmu."

"Maksud ayah, kareta (pen, sepeda motor) Binter buruk itu." Ja Limbat meraih uang itu dari tangan ayahnya.

"Yang mana lagi? Bik Misna sudah menyiapkan pakaianmu. Kalau tak berhasil mendapatkan calon istri, jangan tunjukkan batang hidungmu di sini," ancam Ja Sulaiman.

Akhirnya, jagoan kita ini merantaulah. Tak jauh-jauh amat. Hanya sekitar tujuh kilometer dari rumah. Tujuannya ke rumah Wak Dahler. Hampir Empat jam dia baru sampai ke sana. Tak usah heran. Baru menunggang kuda setengah kilometer, kudanya sudah letoy. Binter itu batuk akut. Terpaksalah Ja Limbat mendorong Binter itu sampai ke rumah Wak Dahler. 

Malu tak ketulungan dirasa Ja Limbat. Jatuh harga dirinya dilihat para gadis yang tertawa cekikikan. Hilang ketampanannya karena mendorong Binter enam setengah kilometer. Masalah tampan ini hanya Ja Limbat yang merasakan. Kalau orang yang melihat ketampanannya, ibarat mengintip dari lobang sedotan, melihat Ja Limbat nun dengan jarak sepuluh kilometer. Hehehe, tidak boleh tertawa. Hanya boleh tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun