Kami bersantap di sebuah rumah makan Padang. Di bagian etelase tertulis "sedia makanan Palembang". Aku memilih pempek dan memesan sepuluh buah untuk Martini. Kepala perempuan itu pusing. Dia memilih tidur di dalam bus.
"Untuk siapa, Imam?" tegur Raplan, si sopir satu.
"Hehehe, untuk jatah di bus. Dia kan baru sekali ini menyantap pempek langsung di daerah asalnya," Her bercanda.Â
Untung saja candaan Her seperti itu. Kalau dia mengatakan pempek yang kupesan untuk Martini, aku pasti kalah bersaing dengan Raplan. Dia, meskipun lebih tua dariku sepuluh tahun, tapi hidungnya lebih mancung, dadanya lebih bidang, tatapnya lebih tajam, senyumnya lebih manis, rayuannya lebih gombal. Hanya satu kelebihannya yang membuat dia sedikit kehilangan ketampanan. Ya, perutnya yang lebih buncit dariku!
"Mana Martini?" Aku terkejut ketika mendapati tempat duduk perempuan itu kosong. Aku melemparkan begitu saja sebungkus pempek ke sudut dashboard.
"Martini? Martini yang mana?" Her melotot.
"Martini yang duduk di sini tadi."
"Martini? Setahuku, sejak lelaki yang duduk di sini turun di Solok, tak ada lagi yang mengisinya." Her melihat ke mataku, seolah mata ini memiliki lorong yang sangat dalam. "Nah, aku ingat sekarang."
"Ingat apa?" Hatiku mendadak tak nyaman.
"Sekian jam lalu ketika kita tiba di kota kecil itu, kau tiba-tiba berhenti. Kau kucegah dan menyuruhmu melesatkan bus. Sayang, kau pura-pura tak mendengar. Dan aku tak berniat membukakan pintu."
"Jadi?"