"Sudah berkeluarga?" Tiba-tiba dia yang memulai percakapan setelah hampir sepuluh menit kami membisu. Teringat wajah istriku yang tega membiarkanku pergi menjadi sopir bus.Â
Dia mewanti-wanti agar aku jangan sering-sering singgah di warung-warung tak benar. Anakku hanya meminta sebuah mobilan remote control, bukan ibu yang baru.
"Belum!" dustaku. Dia tertawa, seperti mengejek. Aku merasa berdosa kepada istri dan anakku.
"Anak saya dua. Tapi meninggal semua."
"Suami?"
"Saya janda." Dia menatapku. Aku berpaling. Sebuah lubang dihantam roda depan. Bus bergetar. Her terbangun. Beberapa penumpang menjerit dan mengumpat.
"Maaf! Saya tak melihat lubang di depan."
"Yang kelihatan hanya lubang di sebelah." Her membuang pandang. Perempuan itu mencibir.
Lama kami berbincang. Selain janda, aku juga tahu namanya. Martini, seperti nama minuman memabukkan. Ketika aku mengatakan dia memabukkan seperti namanya, dia mencubit pahaku mesra.
Aku merasa di awang-awang. Apalagi dia memintaku singgah sebentar di rumahnya, di mana..., entahlah! Jawabku lain kali saja. Begitupun aku sudah berniat akan singgah di rumahnya sebentar. Kalau perlu mengajaknya langsung ke Jakarta.Â
Jalan berliuk-liuk serupa ulir sekrup. Sesekali kepala Martini menyentuh lenganku. Wangi menggoda menyentak. Her mendehem seolah dia menegur kenapa aku sengaja meliuk-liukkan bus. Padahal bus yang terpaksa meliuk-liuk menuruti ulir jalan.