Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu I

2 Januari 2019   16:45 Diperbarui: 14 Januari 2019   16:53 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ini apa, sialan!"

Si pemilik kepala meringis sambil memegangi keningnya yang memar. "Jangan, Yah! Itu upahku membantu mengisi bak mandi Mak Latief. Aku mau menabung untuk meneruskan sekolah."

"Sekolah?"

Pletak! Jitakan Boy hinggap di ubun-ubun  anak itu.  "Umur kau sekarang berapa? Hampir lima belas tahun! Mana cocok lagi duduk di bangku kelas lima SD. Cocoknya uang ini untukku." Boy tertawa. Lila mengedipkan mata ke arah Kecik. Saat Boy masih tertawa, Lila merebut gumpalan uang itu. Lekas dia selipkan ke saku baju Kecik. Ibarat peluru, anak itu segera berlari sekencang-kencangnya.

Kecik menelusuri jalan kampung. Pikirannya tak karuan. Kalau pulang lagi ke rumah, selain uangnya bisa diambil paksa, dia pasti dihajar Boy sampai mampus. Kecik tak mau itu. Lebih baik minggat saja. Tapi minggat ke mana? Ke ibukota kecamatan? Apa yang mau dia kerjakan di sana? Bagaimana kalau dia kelaparan dan tak mempunyai uang? Atau, beranikah dia mengemis seperti anak gelandangan?

Kecik teringat mendiang ibunya. Ibunya pernah berpesan, bahwa pekerjaan yang harus dia hindari adalah mengemis. Hidup tak boleh berpangku tangan. Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah kerja keras. Kecik tak mau ibunya sedih di alam sana, bila mengetahui anaknya mengemis.

Tiba-tiba terbetik ide yang cukup cemerlang di benak Kecik. Bagaimana kalau dia ikut Kyai Ali ke Jakarta? Maksudnya bukan jalan-jalan. Melainkan bekerja. Toh dia bisa mengerjakan yang ringan-ringan. Seperti memijiti bahu Kyai Ali atau Sujak Pelor kalau tengah capai. Tenaganya kuat juga mencuci mobil, mengangkat barang-barang yang ringan, membelikan makanan. Aha! Dia melompat kegirangan. Tumpukan ide berkelindan di kepalanya, pecah menjadi tawa yang membuatnya seperti anak gila.

Dia bergegas menuju rumah Kyai Ali. Rumah itu kelihatan sepi. Hanya ada istri Kyai Ali  sedang meneteki anaknya di teras rumah.

"Bukannya tadi kau sudah pulang, Kecik?" Istri Kyai Ali berdiri. Dia membawa anaknya ke dalam rumah,  kemudian muncul sendirian sekian menit berselang. "Kau tak pulang ke rumah, ya? Minggat?"

"Tidak, Wak! Aku tadi sudah pulang. Tapi langsung dimarahi ayah." Kecik menggaruk-garuk lengannya. Dia menyenderkan punggung di dinding rumah. "Kyai Ali ke mana?"

"Dia sudah pergi ke rumah Bang Leman."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun