Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu I

2 Januari 2019   16:45 Diperbarui: 14 Januari 2019   16:53 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecik bergidik. Dia teringat wajah seorang lelaki yang penuh bekas cakaran. Di bagian lengannya ada ceruk luka yang sudah lama sembuh. Kabarnya ditembak polisi, karena maling ayam di pasar kecamatan. Tapi karena tak ingin malu, dia sering gembar-gembor bahwa itu bekas terserempet peluru yang dilesakkan tentara Belanda. Hahaha, lucu! Dia hanya membual-bual. Jaman penjajahan Belanda, lelaki itu masih orok!

Begitupun, Kecik paling takut bertemu Sujak Pelor. Dulu ketika Boy berkelahi dengannya pasal lahan parkir di pasar, Kecik terkena sasaran. Dia kebetulan ke pasar bersama ayah Boy. Ayahnya itu kalah kuat, kemudian dijerembabkan Sujak Pelor ke selokan. Sebagai penuntasan amarahnya, dia mencekik Kecik, dan menghempaskannya ke lapak ikan.

"Kau takut?" Kecik menggeleng. Kyai Ali terbahak. "Sudahlah! Yang lalu biarlah berlalu. Dia bukanlah Sujak yang dulu. Sejak bekerja dengan Leman, dia berubah lebih baik."

"Oh, begitu. Aku pulang dulu, Kyai. Kapan-kapan ajak aku naik truk, ya?" Kyai Ali menggangguk.

Sekian jam kemudian, di sebuah rumah berdinding triplek, pertengkaran hebat terjadi antara Boy dengan Lila. Mereka memang sudah biasa seperti itu. Kalau tak bertengkar sehari saja, badan mereka pegal-pegal.

"Kau memang selalu membela anak itu. Harusnya kau biarkan saja dia kuhajar sampai mampus."

Lila melipat tangan di depan dada. "Bukankah Kecik anak kandungmu sendiri? Kenapa mesti dimampusi?"

"Anak kandung apaan kalau tingkahnya begitu. Masa' aku suruh beli rokok sebungkus, dianya tak mau."

"Lha, bagaimana pula dia mau! Dia kan tak ada uang untuk membelinya!"

Boy mendecak. Dia menggebrak meja. Lila tersentak. Sebentuk kepala yang bersembunyi di depan pintu rumah, pun ikutan tersentak. Terdengar suara pletuk pertanda kepala itu menghantam pintu.

Boy turun tangan. Pemilik kepala itu diseretnya ke dalam rumah. Lila menjerit. Boy merogoh sesuatu dari saku celana si pemilik kepala. Dia langsung tertawa manakala menemukan beberapa lembar ribuan yang menggumpal di situ.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun