Kecik terbelalak. "Bukankah Kyai baru berangkat nanti malam ke Jakarta?" Dia langsung lemas.
"Dia belum berangkat. Hanya persiapan saja, sekalian membersihkan truk."
"Kalau begitu....." Kecik langsung berlari. Istri Kyai Ali yang mencoba memanggilnya, hanya dihadiahi lambaian. Kecik melintasi pematang sawah. Beberapa ekor bebek yang sedang digembalakan seorang anak seumurannya, berhambur ketakutan. Anak gembala itu mengacung-acungkan galah bambunya. Namun Kecik tak perduli. Meskipun kemudian tubuhnya berulangkali mencium tanah sawah yang becek, dia lekas berdiri dan berlari lagi. Dia sudah membayangkan duduk di jok bagian belakang kabin truk.
Sebenarnya tak bisa disebut jok. Hanya sebentuk dudukan memanjang tempat biasa sopir mengaso. Setiap truk yang melakukan perjalanan jauh, pasti memiliki dua sopir. Begitu sopir yang satu capai dan istirahat di jok bagian belakang itu, tugasnya digantikan oleh sopir pengganti. Yang pasti sopir pengganti itu bukan Kyai Ali. Kyai hanya kernet.
Berarti yang berada di kabin truk ada empat. Sujak Pelor, sopir pengganti, Kyai Ali dan tentu saja dirinya. Apakah tak membuat penuh sesak kabin truk? Ah, hampir saja anak itu mengurungkan niat, lalu berbalik arah. Tapi manakala ingat tinju Boy, tekadnya kembali membara.
"Kyai!" jerit Kecik saat melihat lelaki itu tengah membersihkan ban truk yang berlumpur.
Kyai Ali terkejut bukan kepalang. Dia langsung menghentikan pekerjaannya.
"Kenapa ke mari? Kalau mau ikut jalan-jalan naik truk, nanti saja setelah kami pulang dari Jakarta. Kelak adalah masa mengaso sebelum ada tarikan lain."
Kecik merebut lap basah dari tangan Kyai Ali. Dia mencangkung sambil membersihkan pelak ban yang masih berlumpur. "Aku tetap mau ikut."
"Ikut ke mana? Ini bukan pekerjaan main-main!"
"Ke mana lagi kalau bukan ke Jakarta!" Kecik mencoba bersiul. Tapi dari dulu hingga sekarang, siulannya selalu fals.