Di era digital yang serba cepat dan terbuka, satu pernyataan yang kurang bijak bisa dengan mudah menyulut kemarahan publik. Begitulah yang terjadi dalam kontroversi seputar figur publik Miftah. Isu ini tidak hanya mencuat karena ucapan sang tokoh, tetapi juga karena cara pemerintah meresponsnya---atau mungkin lebih tepat, tidak meresponsnya secara tepat waktu dan transparan.
Viral Bukan Sekadar Ramai
Pernyataan yang dinilai kontroversial dari Miftah langsung menyebar luas melalui media sosial. Video, kutipan, dan opini publik membanjiri berbagai platform---menandakan betapa kuatnya ruang digital dalam membentuk persepsi masyarakat. Namun dalam situasi ini, bukan hanya sosok Miftah yang menjadi sorotan. Pemerintah sebagai institusi yang diharapkan hadir di tengah konflik sosial malah tampak pasif.
Padahal, dalam ruang digital yang begitu sensitif terhadap isu sosial, kehadiran negara bukan hanya bersifat administratif, tapi juga komunikatif. Ketika pemerintah lambat menanggapi reaksi publik, ruang interpretasi pun dikuasai oleh opini netizen, influencer, dan media alternatif. Akibatnya, kepercayaan publik mudah tergoyahkan.
Ketika Komunikasi Pemerintah Tak Efektif
Krisis komunikasi sering kali berakar pada lambannya tanggapan dan kurangnya empati dalam menyampaikan informasi. Pemerintah dalam hal ini terlihat gagal menjawab keresahan masyarakat. Komunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menciptakan rasa didengar dan dipahami. Di sinilah letak kekeliruan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah.
Dalam konteks ini, komunikasi krisis seharusnya bersifat cepat, transparan, dan akomodatif. Ketika publik merasa dibiarkan dalam kebingungan dan frustrasi, yang muncul bukan hanya kritik, tetapi juga hilangnya kepercayaan terhadap institusi.
Etika dalam Komunikasi Digital