Ruang publik digital hari ini bisa dipahami lewat teori Jrgen Habermas, di mana seharusnya terjadi diskusi yang rasional dan terbuka antara masyarakat dan negara. Namun pada kenyataannya, media sosial sering kali menjadi ruang yang penuh emosi dan konflik, bukan diskusi rasional. Di sinilah etika komunikasi harus hadir.
Etika komunikasi menuntut kejujuran, empati, tanggung jawab, dan keterbukaan. Pemerintah sebagai pengelola narasi publik punya kewajiban moral untuk tidak hanya menyampaikan, tetapi juga merespons dengan bijak. Dalam hal ini, pemerintah tak boleh bersikap netral jika netralitas justru menciptakan ketegangan dan ketidakpastian publik.
Pelajaran dari Kontroversi Ini
Kasus Miftah menjadi contoh bagaimana satu isu bisa berkembang menjadi konflik sosial yang lebih besar jika tidak dikelola secara komunikatif. Pemerintah harus belajar untuk lebih sigap dan sadar bahwa ruang publik digital bergerak cepat dan menuntut kehadiran yang aktif. Selain itu, komunikasi yang baik harus dibangun di atas nilai-nilai etika---bukan hanya strategi komunikasi.
Lebih jauh, ini adalah momen reflektif bagi institusi negara dan juga masyarakat untuk menyadari pentingnya membangun ruang dialog yang sehat, terbuka, dan beretika. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus viral-krisis-diam, tanpa penyelesaian yang berarti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI