Di era digital yang serba cepat dan terbuka, satu pernyataan yang kurang bijak bisa dengan mudah menyulut kemarahan publik. Begitulah yang terjadi dalam kontroversi seputar figur publik Miftah. Isu ini tidak hanya mencuat karena ucapan sang tokoh, tetapi juga karena cara pemerintah meresponsnya---atau mungkin lebih tepat, tidak meresponsnya secara tepat waktu dan transparan.
Viral Bukan Sekadar Ramai
Pernyataan yang dinilai kontroversial dari Miftah langsung menyebar luas melalui media sosial. Video, kutipan, dan opini publik membanjiri berbagai platform---menandakan betapa kuatnya ruang digital dalam membentuk persepsi masyarakat. Namun dalam situasi ini, bukan hanya sosok Miftah yang menjadi sorotan. Pemerintah sebagai institusi yang diharapkan hadir di tengah konflik sosial malah tampak pasif.
Padahal, dalam ruang digital yang begitu sensitif terhadap isu sosial, kehadiran negara bukan hanya bersifat administratif, tapi juga komunikatif. Ketika pemerintah lambat menanggapi reaksi publik, ruang interpretasi pun dikuasai oleh opini netizen, influencer, dan media alternatif. Akibatnya, kepercayaan publik mudah tergoyahkan.
Ketika Komunikasi Pemerintah Tak Efektif
Krisis komunikasi sering kali berakar pada lambannya tanggapan dan kurangnya empati dalam menyampaikan informasi. Pemerintah dalam hal ini terlihat gagal menjawab keresahan masyarakat. Komunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga menciptakan rasa didengar dan dipahami. Di sinilah letak kekeliruan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah.
Dalam konteks ini, komunikasi krisis seharusnya bersifat cepat, transparan, dan akomodatif. Ketika publik merasa dibiarkan dalam kebingungan dan frustrasi, yang muncul bukan hanya kritik, tetapi juga hilangnya kepercayaan terhadap institusi.
Etika dalam Komunikasi Digital
Ruang publik digital hari ini bisa dipahami lewat teori Jrgen Habermas, di mana seharusnya terjadi diskusi yang rasional dan terbuka antara masyarakat dan negara. Namun pada kenyataannya, media sosial sering kali menjadi ruang yang penuh emosi dan konflik, bukan diskusi rasional. Di sinilah etika komunikasi harus hadir.
Etika komunikasi menuntut kejujuran, empati, tanggung jawab, dan keterbukaan. Pemerintah sebagai pengelola narasi publik punya kewajiban moral untuk tidak hanya menyampaikan, tetapi juga merespons dengan bijak. Dalam hal ini, pemerintah tak boleh bersikap netral jika netralitas justru menciptakan ketegangan dan ketidakpastian publik.
Pelajaran dari Kontroversi Ini
Kasus Miftah menjadi contoh bagaimana satu isu bisa berkembang menjadi konflik sosial yang lebih besar jika tidak dikelola secara komunikatif. Pemerintah harus belajar untuk lebih sigap dan sadar bahwa ruang publik digital bergerak cepat dan menuntut kehadiran yang aktif. Selain itu, komunikasi yang baik harus dibangun di atas nilai-nilai etika---bukan hanya strategi komunikasi.
Lebih jauh, ini adalah momen reflektif bagi institusi negara dan juga masyarakat untuk menyadari pentingnya membangun ruang dialog yang sehat, terbuka, dan beretika. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam siklus viral-krisis-diam, tanpa penyelesaian yang berarti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI