Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... pengembara kata

Penyiar radio yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nasib Puisi di Ruang Publik

26 Agustus 2025   20:48 Diperbarui: 7 September 2025   13:36 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baca puisi dalam acara pengajian di Majelis Taklim Al Maliki (Dokumentasi Pribadi)

Agaknya, pembacaan puisi---utamanya yang dipentaskan---masih menjadi sesuatu yang belum sepenuhnya diseriusi. Lebih-lebih, saat pembacaan puisi itu ditampilkan pada acara-acara formal yang dalam beberapa kesempatan saya hadiri di kota tempat saya tinggal. Kerap saya jumpai pembaca puisi sekadar mengucapkan kata-kata. Hanya membunyikan puisi dengan gaya yang dipaksakan.

Akibatnya, seluruh hadirin kurang bisa menikmati sajian pembacaan puisi itu. Bahkan, ada pula yang sibuk mengobrol dengan sesama hadirin lainnya. Kadang, suara obrolan itu sampai mengalahkan suara pembaca puisi. Hilang pula nuansa hikmad yang mestinya dihadirkan dalam pembacaan puisi itu.

Situasi semacam ini pada gilirannya memberi kesan yang kurang elok dari pembacaan puisi. Bahkan, pernah dalam sebuah acara resmi, ketika saya dan kawan-kawan diminta untuk mengisi pembacaan puisi beberapa tahun silam, pihak panitia sempat menanyakan durasi penampilan kami. Kala itu, panitia memberi ancang-ancang agar pembacaan puisi tidak terlalu lama. Maksimal sepuluh menit.

Saya menawar agar panitia memberi keleluasaan. Saya dan kawan-kawan meminta agar durasi itu ditambah menjadi tiga puluh menit atau sekurang-kurangnya dua puluh menit. Tawaran itu kami sampaikan mengingat persiapan yang kami lakukan sudah sedemikian matang. Mulai dari konsep sampai berlatih tiap malam selama lebih dari satu bulan.

Sayang, tawaran kami masih juga ditawar panitia. Kami maklum. Sebab, sejak mula, saat menghubungi kami, panitia tidak memberikan gambaran mengenai acara dan teknisnya. Tetapi, dari hal itu kami mulai memahami, bahwa penampilan kami tidak lebih sekadar sisipan alias bukan menu utama yang disajikan. Paling-paling sekadar pengisi jeda waktu kosong sebelum menuju rangkaian pidato-pidato pejabat penting.

Dugaan itu tak keliru. Membaca susunan acara yang disodorkan panitia, kami menyadari betul bahwa kami sekadar penyeling acara. Walau begitu, kami masih berusaha mempertahankan tawaran itu kepada panitia.

Singkat cerita, akhirnya panitia pun memberi sedikit kelonggaran. Durasi pementasan kami diperpanjang hingga lima belas menit. Kami lantas berembug. Mencari formula yang tepat untuk pementasan yang menurut kami diperpendek itu saat digelar gladi resik.

Waktu yang serba pendek itu kami manfaatkan secara maksimal. Alhamdulillah, kami akhirnya menemukan bentuk sajian yang pas walau sebenarnya agak memberatkan hati. Beberapa bagian yang menurut kami tak begitu penting kami hilangkan. Namun, tidak untuk naskah puisi yang kami bacakan. Kami bacakan utuh.

Giliran untuk gladi tiba. Kami pun menampilkan sajian yang setengah matang di depan panitia. Tak hanya setengah matang, melainkan memang masih mentah. Cara itu sengaja kami lakukan untuk mengesankan bahwa anggapan panitia tentang pembacaan puisi itu membosankan adalah benar. Kami sengaja mengecoh panitia.

Setelah gladi selesai, kami kembali berlatih di tempat lain. Mematangkan konsep pementasan yang baru. Menyesuaikan jatah durasi yang diberikan panitia. Sampai larut malam kami berlatih, hingga nyaris subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun