Mohon tunggu...
riane rahayu
riane rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

istri serang abdi negara, basic pendidikan pariwisata, senang menulis, sudah menerbitkan 15 buku antologi, sedang menulis juga di GWP.ID, beerapa tulisannya pernah memenangkan lomba di internal instansi suami.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Ternyata Nenek-Nenek

4 Mei 2024   14:37 Diperbarui: 4 Mei 2024   15:16 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

          Namaku Luna, aku mahasiswa jurusan pariwisata di universitas negeri di kawasan Ledeng kota Bandung. Akhir tahun 2012 aku kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan program prektek kerja lapanganku di Malaysia. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, ada satu program di kampusku yang harus aku selesaikan sebagai syarat kelulusan, ya Kuliah Kerja Nyata atau lebih dikenal dengan sebutan KKN, dimana waktu normal program ini dilaksanakan ketika aku dan kesebelas teman satu jurusanku sedang melakukan praktek kerja lapangan di Malaysia, hal ini menyebabkan kami untuk melaksanakan program tersebut menyusul tersendiri. Kampusku terletak di kawasan Ledeng kota Bandung, dan keuntungan mengikuti progam KKN susulan adalah kami ditempatkan di desa yang tak jauh dari kampus. Kami bersebelas ditempatkan di beberapa desa di kawasan Lembang Bandung, jarak yang terbilang sangat dekat dengan kampus kami.

            Selain aku dan kesebelas temanku dari jurusan pariwisata, ada beberapa mahasiswa dari jurusan lainnya yang mengikuti KKN susulan dengan kami. Pembagian kelompokpun dimulai, masing-masing kelompok beranggotakan empat orang laki-laki dan enam orang perempuan, dari teman satu jurusan, aku hanya satu kelompok dengan Beby, teman satu jurusanku yang merupakan seorang atlet gymnastic yang belum lama mengikuti ajang olahraga PON di Pekanbaru Riau dan Olimpiade di Britania Raya musim panas lalu. Sisa dari delapan temanku berasal dari jurusan katering dan pendidikan sejarah, pada dasarnya kami bersepuluh berasal dari fakultas yang sama, yaitu fakultas IPS. Tak butuh waktu lama, sehari kami bersepuluh dipertemukan, kami langsung menemukan ritme pertemanan kami yang cukup solid dan kompak.

            Nadia dan Robi yang sangat agamis, Intan dan Kaisar sang koki andalan di rumah kontrakan kami, Fitri si tukang tertawa kencang, Gilang si paling bandel tapi paling siap siaga pasang badan jika kami kenapa-kenapa, Cici dan Syahru yang tidak terlalu banyak bicara, namun isi kepalanya penuh dengan ide-ide cemerlang, Beby sang atlet yang selalu bisa diandalkan mengajari olehraga anak-anak PAUD di desa tempat kami KKN dan aku yang menurut mereka si tukang reparasi dan si paling ceria, dimana ada barang rusak disitu tanganku berfungsi sebagai penyelamat, dimana ada kesedihan disitu aku datang sebagai penghibur. Sungguh kombinasi kelompok KKN yang menyenangkan, hampir tidak ada konflik sama sekali kecuali dengan Gilang si bandel yang sering kali izin pulang ke kosan hanya untuk memastikan ular-ular peliharaannya hidup dengan nyaman dan perut kenyang, sisanya Gilang ini kesulitan bangun pagi saja sih, tapi matanya selalu bisa diandalkan menjaga kami saat malam hari.

            Hari pertama kami datang ke desa tempat kami KKN, kami diarahkan oleh Ibu RW ke satu rumah yang akan kami tempati, rumah sederhana berukuran kurang lebih enam puluh meter persegi, dengan kamar tidur dua yang kami bagi menjadi kamar tidur perempuan dan kamar tidur laki-laki, satu ruang keluarga, dapur dan satu kamar mandi, cukup lah untuk kami bersepuluh. Udara Lembang akan terasa hangat bukan jika kami tidur berdempetan satu sama lain dalam satu kamar?

            Kegiatan sehari-hari kami habiskan membantu Ibu RW mengajar PAUD dipagi hari, siang hari kami kadang membantu warga sekitar panen hasil kebun mereka yang sangat melimpah, tak jarang kami sering mendapat bagian dari sayuran hasil kebun mereka, lumayan untuk bahan makanan kami sehari-hari, jadi bisa irit uang saku dengan mengolah hasil kebun pemberian warga sekitar. Selain itu, kami juga membuat beberapa program penyuluhan untuk mengedukasi warga agar kegiatan sehari-hari mereka lebih terprogram, seperti penyuluhan pemilahan sampah dari rumah masing-masing antara sampah organik dan non organik yang secara garis besar kegiatan ini sangat berpengaruh besar terhadap pembuangan dan pengunaaan sampah kembali ke depannya.

            Program KKN kami berlangsung sekitar dua bulan, sayangnya baru saja dua minggu kami menempati rumah kontrakan, kami terpaksa harus pindah karena rumah yang selama dua minggu kami tempati ini ternyata dalam tahap penjualan oleh pemiliknya, apesnya rumah itu laku lebih cepat dari perkiraan pemilik sehingga mengharuskan kami angkat kaki dan pindah ke rumah lain. Awalnya kami sedih karena harus pindah rumah, bukan karena sudah terlanjur nyaman dengan rumah lama, namun lebih ke malas beres-beres barangnya lagi sih. Namun, begitu kami diantar ke rumah kami yang baru kami sangat bersemangat. Rumah yang belum lama selesai dibangun, dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang keluarga, dapur yang luas sangat membuat Intan dan Kaisar berbinar karena mereka kira playground mereka lebih baik dari rumah lama, belum lagi rumah baru kami ini dilengkapi dua teras yang terdapat di depan rumah dan disamping rumah yang pintunya langsung dari pintu dapur. Sebelah teras dapur terdapat kandang sapi yang sudah tidak digunakan lagi. Rumah dengan pekarangan luas dilengkapi dengan hamparan kebun brokoli yang luas dengan pemandangan langsung gunung burangrang dibelakang kebun dan satu kandang kambing tepat di depan kebun yang terletak tepat samping rumah kami. Meriah sekali rumah kami yang baru, kami berharap selama satu bulan dua minggu sisa waktu kami KKN di desa ini tidak mendapatkan drama pindah-pindah rumah lagi.


            Dikarenakan rumah baru kami yang terbilang sangat asik untuk dipakai nongkrong, sampai-sampai rumah kami betul dijadikan tempat tongkrongan teman-teman KKN kami dari desa lain. Hampir setiap hari teman-teman kami dari desa sebelah mampir main ke rumah kami hanya untuk menikmati asrinya rumah baru kami, sesekali kami main UNO bersama hingga larut malam. Bisa dibayangkan kan serunya seperti apa KKN kami saat itu, terlebih Fitri yang selalu heboh dengan tertawa kencangnya selalu berhasil menghangatkan Lembang yang saat itu sedang dingin-dinginnya. Lain hal denganku, selesai waktu sholat isya aku justru melipir ke teras samping dapur untuk teleponan dengan pacarku yang saat itu sedang ditugaskan di Sorong Papua Barat, aku biasa teleponan dengan pacarku paling lama satu jam sampai sekitar pukul sembilan malam, maklum Papua Bandung beda dua jam, sudah masuk waktu larut untuk pacarku ketika kami mengakhiri telepoon kami setiap malamnya.

            Hampir setiap malam rumah kontrakan kami selalu berisik dengan suara tertawa yang sahut-sahutan satu sama lain, kadang aku sampai tidak enak dengan warga sekitar, khawatir ada yang terganggu dengan suasana berisik kami. Sesekali aku peringatkan teman-teman terutama Fitri yang selalu paling berisik sendiri dengan tertawanya, untuk sedikit mengecilkan suara ketika sudah masuk waktu diatas pukul delapan malam, khawatir sekitar rumah kami memang ada anak kecil yang terbiasa sudah tidur pada waktu itu.Teman-teman sudah mulai memahami karakter satu sama lain, sehingga diantara kami bisa saling mengerti sifat dan kebiasaan masing-masing, ini yang membuat kelompok KKN kami solid dan kompak, meski dari kesepuluh diantara kami memiliki karakter yang berbeda-beda. Nadia dan Robi yang tidak pernah tidur diatar jam 10 malam karena terbiasa bangun paling subuh untuk melakukan ibadah, sementara Gilang baru tertidur selepas sholat subuh.

          Setiap akhir pekan kami biasanya pulang ke rumah masing-masing dan akan kembali ke kontakan selambat-lambatnya Senin pagi dan secepat-cepatnya hari Minggu malam. Akhir pekan itu aku diajak Ayah pergi ke pantai Pangandaran beserta keluarga teman dekat Ayah, namun ketika dalam perjalanan aku ditelepon oleh Ibu tiriku dan dimarah-marahi gara-gara aku pergi ikut Ayah tanpa bilang Ibu tiriku terlebih dahulu. Apa masalahnya? hanya karena aku pergi dengan Ayah kandungku lalu Ibu tiriku marah-marah, padahal adik bungsuku yang merupakan anak Ayah dari Ibu tiriku ikut serta Ayah ke Pangandaran, sahabatku Enji juga turut ikut saat itu, ia menenangkanku agar tidak larut dalam kesedihan karena aku dimarahi oleh Ibu tiriku. Seharian aku menikmati liburanku di Pangandaran hingga keesokhariannya kami kembali ke Bandung, sebelum kembali ke kontrakanku di Lembang aku memutuskan untuk menukar pakaian lamaku dengan pakaian yang ada didalam lemari pakaian di rumahku. Saat aku dan Ayah sampai rumah, Ibu tiriku sedang pergi, ketika aku masuk ke dalam kamarku kondisi kamarku sudah hancur lebur berantakan, pakaianku berhamburan di lantai. Semarah itukah Ibu tiriku hanya gara-gara aku ikut pergi liburan sehari dengan Ayah lantas tak bilang terlebih dulu padanya? Aku lantas menyuruh Ayah untuk melihat kondisi kamarku, saat itu juga aku memutuskan untuk pergi dari rumah membawa serta semua barang-barangku ke kontrakan untuk menghindari amukan Ibu tiriku secara langsung, Ayah lantas menyetujuinya dan pergi mengantarku ke kontrakan menggunakan mobil mengangkut hampir semua barang milikku, sebagian barangku yang tidak mungkin ku simpan di kotrakan KKN Ayah titipkan di rumah teman dekat Ayah yang kebetulan rumahnya di kawasan jalan Setiabudi tak jauh dari kampusku.

           Kembali ke kontrakan hatiku kalut sekalut-kalutnya, sesekali menyeka air mata ketika sedang bercengkrama dengan teman-teman. Intan dan Nadia sempat bertanya apa gerangan yang membuatku bersedih, mereka menyangka bahwa aku sedang bertengkar dengan pacarku, namun aku memilih untuk menyimpan sendiri cerita sebenarnya  dan mencurahkan pada Tuhan ketika tengah malam nanti dalam sujud. Malam kami habiskan waktu seperti biasanya, teman-teman yang lain menghangatkan suasana dengan bermain UNO, sedangkan aku teleponan dengan pacarku. Pada pacarku pun aku memilih untuk tidak menceritakan apa yang sudah aku alami beberapa hari ini, biarlah pacarku jauh di sana fokus bekerja tanpa terbebani oleh pikiranku. Malam itu aku melihat satu nenek-nenek dengan pakaian kebaya dan kain jarik membaluti bagian bawah badannya dan rambut tertata rapih masuk ke dalam kandang sapi samping dapur, kandang sapi yang sudah tak digunakan lagi, Baru kali ini aku melihat nenek-nenek itu, sambil berjalan bungkuk dan tersenyum nenek itu datang dari arah kebun brokoli masuk ke dalam kandang dan berkata “punten neng (permisi neng)”, dengan sedikit tidak konsentrasi aku menjawab singkat “mangga (silakan)” dan konsentrasiku berlalu pada sambungan telepon jarak jauh dengan pacarku kembali. Aku tidak tahu apa yang nenek-nenek itu lakukan di dalam kandang sapi yang gelap tanpa sedikitpun penerangan itu, setelah kurang lebih satu jam aku akhiri sambungan telepon dan masuk kembali ke dalam rumah, nenek-nenek itupun seketika aku lupakan.

            Tengah malam aku terbangun, aku memutuskan untuk sholat malam dan mengadukan kesedihanku pada Tuhan semesta alam, aku habiskan sisa air mata sakit hatiku dalam setiap sujudnya, tidak mendoakan Ibu tiriku yang aneh-aneh, aku hanya fokus ingin menyembuhkan lukaku karena kejadian yang baru saja aku alami. Aku sholat di ruang tamu, dimana ruangan tersebut terdapat satu jendela memanjang ke bawah yang tidak kami tutup dengan gorden. Selepas aku sholat malam, dengan muka lesu aku lihat nenek-nenek yang ku temui di kandang sapi samping rumah berjalan menuju pagar rumah, aku biarkan nenek itu berlalu keluar pekarangan rumah kontrakan dan meneruskan kesedihanku malam itu sendirian. Tak lama Nadia bangun untuk melakukan sholat malam juga, Nadia satu-satunya orang yang ternyata sedari aku sholat sambil menangis tadi diam-diam memperhatikanku, Nadia memutuskan untuk diam terlebih dahulu di pintu kamar dan membiarkanku selesai dengan kesedihanku itu, saat dirasa aku sudah mulai kondusif Nadia keluar kamar dan menghampiriku sambil tersenyum dan bertanya kenapa, tanpa menjawab aku memeluk Nadia yang mukanya sangat menyejukkan itu. Nadia lantas mengambil air wudhu dan sholat disampingku yang masih duduk diam dengan kesedihanku.

         Keesokan harinya kami berkegiatan seperti biasa, namun suasana hatiku masih diliputi kesedihan yang luar biasa, memikirkan sisa KKNku yang tinggal tiga minggu ini kelanjutannya bagaimana, saat akhir pekan aku harus pulang kemana jika aku sudah memutuskan untuk keluar dari rumah, ingin pulang ke rumah Bunda terlalu jauh jaraknya dan banyak lagi pikiran yang memenuhi isi kepalaku saat itu. Malam tiba, aktivitas aku lalui seperti biasa, selepas isya kami kedatangan teman-teman KKN dari desa lain yang ingin menghabiskan sisa malam bermain UNO bersama di rumah kami, sedangkan aku dengan ritualku terlebih dahulu, teleponan dengan pacarku. Suasana hatiku sudah mulai membaik malam itu, meski terkadang masih sering melamun ketika sedang diajak bicara oleh pacarku. Saking asiknya melamun, aku sampai tidak menyadari nenek yang ku temui semalam kembali datang ke kandang sapi samping rumah dan tersenyum sambil membungkuk padaku, seketika ku bangun dari lamunanku dan membalas senyum nenek tersebut, lalu ku sudahi sambungan teleponku dan memutuskan untuk masuk ke dalam bergabung dengan teman-temanku.

        Semua teman-teman membuat kehebohan malam itu, mungkin hanya aku saja yang terlihat tidak bersemangat menghabiskan malam itu dengan turut bercanda dengan mereka. Ketika semua sedang larut dalam candaannya, tubuhku tiba-tiba seperti dimasuki sesuatu, mulutku seperti cegukan kemudian kaku tidak bisa berbicara, tubuhku dari posisi duduk tiba-tiba jatuh terbaring seketika, mataku tak berkedip sama sekali. Semua teman-temanku panik dan menghampiriku memastikan aku tidak kenapa-kenapa. Semua teman-temanku mencoba membangunkan tubuhku dari perbaringan agar kembali dalam posisi duduk, bisa namun sangat berat sekali. telingaku saat itu normal mendengar, mataku saat itu normal melihat sekitar, namun mulutku kaku tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhku ditahan Syahru dan Gilang sekuat-kuatnya agar tetap tegak duduk, karena jika tidak ditahan badanku dengan kuatnya terbanting lagi tertidur. Fitri yang paling panik saat itu memegangi tangan kiriku, Intan memegangi tangan kananku. Nadia dan Beby memijit-mijit kakiku sambil melafadzkan ayat kursi dari mulutnya. Cici duduk terdiam menghadapku sambil komat-kamit melihat tajam mataku, Kaisar disamping Cici tak kalah komat kamit sambil menutup matanya. Aku merasa sesuatu yang berada di dalam tubuhku sedang berperang dengan Cici, karena ketika mataku melihat Cici, seketika ekspresi mukaku berubah menjadi marah. Aku tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi malam itu, teman-teman KKNku dari desa lain Robi suruh pulang agar kondisi rumah tidak terlalu padat orang, kami juga menyuruh mereka merahasiakan kejadian yang sedang menimpaku malam itu pada teman-teman KKN di desa lain, khawatir menjadi heboh jika ceritanya menyebar kemana-mana. Robi pergi keluar rumah yang ternyata ia mencari bantuan warga yang bisa membantu memulihkan kondisiku malam itu. Robi satu-satunya teman KKN ku yang selalu rajin sholat di masjid, hingga ia sudah kenal betul dengan pemuka agama setempat, tak lama Robi datang bersama satu bapak-bapak yang ternyata ketua DKM masjid setempat. Bapak itu bernama Pak Sopandi, dan ia mengatakan bahwa aku kemasukan makhluk halus.

Teman-temanku semua panik, Fitri menangis getir sambil menahan suaranya yang terbiasa kencang, sementara semua masih dalam posisi yang sama. Intan mengusap-usap tanganku, sampai ia melihat ada yang aneh dari tanganku. Seketika aku melihat ke arah tangan kananku yang dipegang oleh Intan, aku merasa jari-jari tanganku memanjang dan berubah menjadi keriput, tak lama Intan berkata “astaghfirullah! tanganmu jadi panjang gini Lun, keriput juga”. Seketika semua mata teman-teman tertuju pada tanganku, hanya saja yang ternyata yang bisa melihat itu hanya aku, Intan serta Cici. Cici yang terus beradu mata denganku lama-lama mukanya pucat pasi dan berkeringat sangat banyak. Lembang yang saat itu dingin menjadi sangat gerah di badan Cici. Pak Sopandi disamping Robi melantunkan ayat-ayat suci al-qur’an sambil sesekali berusaha membuat sesuatu yang ada ditubuhku keluar, namun nihil apa yang berada di dalam tubuhku terlalu kuat melawan Pak Sopandi dan Robi. Cici yang sedari tadi diam seketika berteriak memarahiku menggunakan bahasa Sunda, Cici seakan-akan sedang berkomunikasi dengan makhluk yang berada di dalam tubuhku, Cici kemudian melembutkan suaranya padaku, lalu menyuruh makhluk yang diam di tubuhku untuk keluar sesegera mungkin. Mulutku padahal terdiam kaku, namun Cici seperti sedang berbicara dua arah dengan makhluk yang berada di dalam tubuhku, komunikasi dua arah itu ditutup dengan perkataan Cici “Muhun Mak, ku abdi diturutan kahoyong Emak, kin Emak ayeuna kaluar nya ti rerencangan abdi, karunya Mak. (Baik Bu, sama saya dituruti kemauan Ibu, sekarang Ibu keluar yah dari teman saya, kasian Bu)”, seketika mulutku kembali cegukan, mataku melotot dan tubuhku lemas, akhirnya mulutku bisa berbicara lagi, kata-kata pertama kali yang aku ucapkan pertama kali adalah “Makasih Ci”. Ku lihat Cici sama tergeletak lemasnya sama denganku, napas kami ngos-ngosan. Semua teman perempuan tak henti mengucap syukur dengan kondisi yang kembali normal, Syahru mengambilkan dua gelas air minum untukku dan Cici agar kami berdua bisa lebih tenang. Malam itu bintangnya adalah Cici, bukan Pak Sopandi.

            Saat kondisi sudah mulai kondusif, malam semakin larut dan menunjukkan pukul sebelas malam. Cici pelan-pelan menceritakan apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kata Cici aku kemasukan sosok nenek-nenek penghuni rumah yang terganggu dengan keributan kami selama tinggal di rumah tersebut, mendengar hal itu Fitri langsung menangis merasa bersalah karena ia merasa selama ini ia lah yang paling berisik diantara kami, Intan dan Nadia memenangkan Fitri. Gilang tak kalah merasa bersalahnya, karena ia satu-satunya diantara kami yang selalu masih beraktivitas di malam hari, meski tidak berisik juga sih. Seketika aku ingat sosok nenek-nenek yang aku temui dua malam belakangan di kandang sapi samping rumah, kata Cici itulah nenek-nenek yang memasuki tubuhku, nenek tersebut sebetulnya menghampiriku untuk memberi peringatan bahwa sebetulnya di sekitar kami ada yang merasa terganggu dengan kehebohan kami di rumah tersebut, tambah Cici katanya nenek tersebut mengincar untuk masuk ke dalam tubuh Fitri karena memang ternyata Fitri lah yang paling mengganggu nenek tersebut dengan suara tertawa kencangnya, namun nenek tersebut berhasil masuk ke dalam tubuhku karena menurut Cici kondisi tubuhku sedang lemah dan tidak konsentrasi sehingga mudah untuk dimasuki makhluk halus.

           Sejak malam itu, kami mencoba menghabiskan sisa waktu KKN kami yang tinggal dua minggu ini dengan lebih hati-hati lagi dalam bersikap. Kami larang teman-teman KKN kami dari lain desa untuk berkunjung ke rumah kami agar meminimalisir keributan yang terjadi di rumah kami, Fitri jadi lebih hati-hati lagi dalam bersikap, sedangkan aku sudah tidak berani teleponan dengan pacarku di teras samping rumah lagi karena khawatir dihampiri sosok nenek yang masuk ke tubuhku itu lagi.

          Sebelum program KKN kami benar-benar selesai, sesuai dengan tajuknya bahwa mahasiswa yang melakukan KKN itu harus meninggalkan jejak yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar, dan kebetulan sekali warga setempat hanya meminta didatangi ustadz kondang yang mempunyai pesantren dekat kampus kami untuk menghadiri acara Isra Mi’raj yang akan dilaksanakan di hari terakhir kami KKN disana. Kami menyanggupi keinginan warga untuk mendatangkan ustadz tersebut lewat bantuan Robi yang sehari-hari di kampus memang terbiasa sholat di masjid tempat ustadz tersebut tinggal. Seminggu terakhir kami KKN di desa ini, kami benar-benar disibukkan membantu warga untuk menyiapkan acara Isra Mi’raj tersebut, tidak ada waktu bercanda berlebihan di malam hari karena semua dari kami sangat merasa lelah dengan aktivitas di siang hari kami. Di hari terakhir ketika acara Isra Mi’raj selesai dilaksanakan, kami pamit undur diri pada Ibu Bapak RW dan warga setempat, kami memohon maaf selama dua bulan sudah membuat keributan yang tak seharusnya kami lakukan. Hari itu kami benar-benar berpamitan dengan rumah kontrakan kami yang penuh dengan cerita bersama, aku hampiri kandang sapi samping rumah, membathin sendiri meminta maaf pada sosok nenek yang telah merasa terganggu hingga berhasil dengan mudahnya memasuki tubuhku kala itu.

         Sungguh pelajaran yang amat sangat berharga, bahwa dimanapun kita tinggal kita akan selalu berdampingan dengan makhluk Tuhan lainnya yang tidak terlihat oleh kita, sungguh dimanapun kita berada penting sekali untuk tetap menjaga sikap agar setiap makhluk bisa hidup berdampingan tanpa ada  salah satunya yang merasa terganggu oleh ulah kita yang sekiranya tidak perlu kita lakukan. Program KKN kami resmi berakhir, hari itu kami benar-benar pamit angkat kaki, undur diri dari segala bentuk cerita di dalamnya, meninggalkan cerita yang tak ingin ku alami lagi sepanjang hidupku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun