Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena "Lopas" Banyak yang Lihat, Sedikit yang Baca

27 Juli 2025   14:15 Diperbarui: 27 Juli 2025   14:15 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramai Tapi Sepi Foto: Dokumen Pribadi

Fenomena "Lopas": Banyak yang Lihat, Sedikit yang Benar-benar Baca

Secara kasat mata, siapa pun yang aktif membuat konten di media sosial bisa merasakan satu fenomena yang makin nyata dari hari ke hari: tingginya angka tampilan (reach atau views), tetapi minim interaksi yang mendalam. Tidak sedikit konten yang dilihat ribuan kali, namun hanya mendapat sedikit komentar, bahkan tanda suka pun enggan diklik.

Fenomena ini secara bercanda mulai disebut sebagai "Lopas", singkatan dari Lihat, Oke, tapi Skip. Mereka adalah pengguna media sosial yang hanya melirik sekilas judul, cuplikan isi, atau kalimat pembuka status, lalu dengan cepat berpindah ke konten lain. Bahkan dalam banyak kasus, tombol "like" pun tidak disentuh. Mereka hadir, tapi tidak benar-benar hadir. Mereka ada, tapi hanya sekejap, dan nyaris tanpa jejak.

Lopas: Rojali Versi Digital

Fenomena Lopas ini tak ubahnya seperti fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) di dunia ritel fisik. Pada kuartal pertama 2025, kunjungan ke pusat perbelanjaan memang naik 10--15 persen, menurut data Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia. Namun, banyak pengunjung hanya datang untuk jalan-jalan, foto-foto, atau sekadar nongkrong, bukan untuk bertransaksi. Aktivitas terlihat ramai, tetapi nilai jual-beli rendah.

Di dunia digital, situasi serupa pun terjadi. Platform media sosial dipenuhi dengan lalu lintas pengguna, tetapi banyak dari mereka tidak sungguh-sungguh menyimak isi konten. Mereka tertarik dengan headline, mampir sebentar, mungkin bahkan menyimpan, namun tidak membaca sampai selesai. Bahkan jika mereka membaca, mereka enggan berinteraksi.

Lopas adalah tanda zaman. Kita tidak bisa (dan tidak perlu) memaksa semua orang membaca sampai tuntas. Tapi kita bisa memperkuat pesan inti, menyebarkannya melalui berbagai format (tulisan, video, podcast), dan memastikan setiap orang yang berhenti sejenak di konten kita, merasa ada nilainya.

Seperti kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk memperkuat daya beli dan mendorong konsumsi, pembuat konten juga perlu strategi yang tidak hanya fokus pada jumlah views, tetapi pada kualitas keterlibatan.

Kenapa Banyak yang Cuma Lihat, Tidak Baca?

Ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi munculnya fenomena Lopas di media digital:

  1. Perubahan Perilaku Konsumsi Konten
    Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan melimpahnya informasi, audiens kini makin selektif dalam menyerap konten. Konten pendek, visual, dan cepat lebih menarik perhatian. Format reels, story, dan carousel jauh lebih disukai ketimbang artikel panjang atau caption mendalam.

  2. Overload Informasi
    Tiap hari, pengguna media sosial disuguhi puluhan bahkan ratusan konten dari berbagai akun. Akibatnya, fokus mereka terbagi-bagi, dan hanya sedikit konten yang benar-benar dikonsumsi dengan penuh perhatian.

  3. Scroll Culture
    Budaya scrolling tanpa henti menjadi kebiasaan baru. Pengguna kini lebih sering scan informasi, bukan membaca detailnya. Judul dan visualisasi menjadi penentu apakah konten akan dibaca atau dilewati.

  4. Kebiasaan "Baca Lewat Komentar"
    Sebagian pengguna bahkan mengandalkan kolom komentar untuk menyimpulkan isi konten, tanpa benar-benar membuka atau membaca sumber aslinya.

Apa Dampaknya Bagi Pembuat Konten?

Bagi pembuat konten, fenomena Lopas ini tentu menyimpan tantangan tersendiri. Di satu sisi, tingginya reach bisa jadi tanda bahwa konten tersebar luas. Namun, minimnya interaksi bisa menjadi hambatan dalam membangun relasi, menjaring diskusi, atau menyampaikan pesan yang utuh.

Konten yang dibuat dengan penuh riset dan niat seringkali tidak mendapatkan respon yang sebanding. Bahkan konten edukatif atau inspiratif pun bisa kalah pamor dari konten ringan, lucu, atau sensasional. Ini tentu menimbulkan frustrasi tersendiri bagi para kreator yang konsisten berkarya demi menyebarkan ilmu atau nilai positif.

Haruskah Fenomena Ini Dihentikan? Tidak Perlu.

Sama seperti fenomena Rojali di pusat perbelanjaan, fenomena Lopas tidak bisa dan tidak perlu dihentikan. Kehadiran pengguna, meski sekilas, tetap menjadi bagian dari dinamika platform. Mereka tetap menyumbang data trafik, meningkatkan exposure, dan mungkin suatu saat akan menjadi pembaca aktif.

Toh, dalam praktiknya, tidak semua interaksi terlihat. Ada pembaca diam-diam yang tidak meninggalkan jejak digital, tapi mendapatkan manfaat besar dari konten yang kita buat. Ada yang menyimpan untuk nanti, membagikan dalam percakapan pribadi, atau terinspirasi tanpa mengatakan apa-apa.

Seorang pembaca berita tetap duduk tegak di depan kamera, membaca naskah dengan penuh percaya diri, padahal layar monitor di depannya menunjukkan angka nol: tidak ada penonton yang menyaksikan siarannya secara langsung. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada komentar masuk, dan tak satu pun emoji muncul di kolom live chat. Namun ia tidak berhenti. Ia membaca dengan artikulasi jelas, intonasi sempurna, dan semangat seolah sedang berbicara pada ribuan orang.

Baginya, menyampaikan informasi bukan soal ramai atau sepi, tapi tentang tanggung jawab dan integritas. Ia tahu, meski tak ada yang menyimak sekarang, mungkin ada yang akan menonton tayang ulangnya nanti. Atau mungkin, berita itu akan dikutip, dipotong, disebar ulang. Maka ia memilih tetap hadir sepenuh hati --- karena menjadi suara yang terus menyala, meski belum ada yang mendengar, adalah bentuk kejujuran tertinggi dari seorang penyampai pesan.

Strategi Adaptif untuk Menghadapi Lopas

Daripada mengeluh tentang banyaknya "Lopas", pembuat konten bisa mengambil langkah adaptif:

  • Perkuat Headline dan Visual
    Judul yang jujur tapi menggugah rasa ingin tahu, ditambah visual menarik, dapat mendorong klik lebih dalam.

  • Buat Konten Multiformat
    Satu pesan bisa dibungkus dalam berbagai bentuk: artikel, video pendek, infografis, atau carousel.

  • Fokus pada Nilai, Bukan Sekadar Angka
    Ukur keberhasilan bukan hanya dari jumlah likes, tapi dari dampak konten. Siapa tahu satu orang yang membaca, adalah orang yang sangat membutuhkan.

  • Bangun Komunitas, Bukan Sekadar Audiens
    Libatkan pembaca dalam diskusi, buat ruang dialog, dan hargai semua interaksi --- sekecil apapun.

Penutup: Dari Sekadar Lihat ke Baca yang Bermakna

Fenomena Lopas adalah cerminan dari perubahan zaman digital. Di satu sisi, ini menunjukkan kejenuhan atau pergeseran cara orang mengakses informasi. Namun di sisi lain, ini juga memberi sinyal bahwa kita harus lebih kreatif, adaptif, dan realistis dalam menyusun konten.

Tugas kita bukan memaksa orang membaca, tapi menyajikan konten yang layak dibaca dan punya makna, meski hanya disimak oleh segelintir orang. Karena dalam dunia digital, yang benar-benar membaca lebih berharga daripada yang sekadar lewat.

Sebagaimana pergeseran belanja dari toko fisik ke platform daring, perilaku pembaca pun ikut berubah. Mereka lebih suka konten visual, cepat, dan instan. Infografis, carousel, atau video 30 detik lebih menarik dibanding artikel panjang.

Bahkan, ada kecenderungan "membaca lewat komentar". Banyak orang langsung scroll ke bagian komentar untuk mengetahui inti konten, tanpa benar-benar membaca isi aslinya. Ini mirip dengan perilaku melihat-lihat barang di toko fisik tapi membeli lewat e-commerce yang lebih murah dan cepat.

Siapa tahu, mereka yang skip hari ini, bisa jadi kembali dan klik besok. Aamiin YRA.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun