Shalat dan berdoa selesai, aku menuju ruang rawat abang di kelas 1c lagi. "Assalamualaikum, wrwb." Ucapku. Ternyata ada Kak Rosmaida dan suami beliau datang bezuk. Kamipun bersalaman. Beliau teman Abang di persyarikatan Muhammadiyah. Abang ketua PDM dan Kak Rosmaida Ketua PDAM ( Pimpinan Daerah Aisyiyah Muhammadiyah.
"Yus, mengapa tak setuju tindakan transfusi darah, Dek? Lihat ketua pucat." Kata beliau.
"Kak, bukan tak setuju. Tapi tunda. Cek ginjal Abang dulu. Keluar hasil cek ginjal Abang boleh transfusi," jawabku sendu. Air mata kembali menetes. Akupun menceritakan bahwa kondisi Abang sama lemasnya dengan kondisi Mamaku tahun 2021 saat di rawat di rumah sakit ini juga.
Kak Ida terus mendebatku. Aku faham. Akupun tak berdaya. Pastilah semua menyalahkanku. Aku terima. Dulu, ketika mama divonis HB rendah dan harus transfusi, aku langsung saja setuju. Toh ada temanku berulang transfusi sehat. Begitupun Mama Epi temanku satunya, Mamanya sehat hingga kini.
Namun, mamaku berbeda. Ketika beliau transfusi, akhirnya gagal ginjal. Langsung stadium 5. Mama harus cuci darah. Cuma dua kali beliau cuci darah, akhirnya tutup usia. Coba siapa yang tidak trauma dengan peristiwa itu?
Ketika aku menangis pilu, perawat datang. "Bu, ginjal bapak semua positif. Bagus. Bapak bisa transfusi darah." Kata Za si perawat.
"Alhamdulillah." Ucapku. "Mudahan engkau sembuhkan suami hamba, Rabb!"
"Aamiin YRA." Balas semua. Kak Ida pun mulai menghubungi para pendonor. Begitu juga Da Edi kawan Abang.
"99 % orang sehat transfusi darah." Celutuk Epi adik Abang sedikit emosi. "Kawan saya berapa banyak yang transfusi darah, panjang umur mereka sampai sekarang." Lanjutnya bersemangat.
Langsung ada yang hilang kurasakan dalam tubuhku. Ruhku seperti melayang mendengar pernyataannya. Darahku berdesir. Mereka bebas berujar karena mereka takkan pernah merasakan nyeri di dadaku. Untunglah adik abang Epi yang menemani kami di rumah sakit ini. Sungguh keputusan medis tak bisa diselesaikan sendirian, meskipun aku istri beliau. Tapi Abang juga kakak dari 7 adiknya. Beliau juga milik persyarikatan.
Sore ini, perlahan kurasakan Abang bukan lagi hakku. Tapi milik bersama. Perih sekali. Tspi aku tak tahu apa sebabnya. Aku hanya bisa menangis meski ginjal Abang sudah dinyatakan bagus. Aku menyibukkan diri dengan bercengkrama dengan Abang. Sementara Epi dan Kak Ida sibuk bertukar pendapat sambil menjawab telepon.