Siang itu aku dan Epi menemani Abang di ruangannya. Kulihat Abang makan buah seperti biasa. Minum juga lancar. Buang air kecil Abang pun lancar. Cuma buang air besar belum juga ada.Â
Kerika nasi siang Abang datang, ternyata lauknya ikan nila. Sayurnya, sayur japan atau labu. Aku ajak Abang makan. "Makan Bang?" Tanyaku.
"Ya sedikit saja," kata Abang. Bismillah....Abang mulai makan. Ternyata benar. Cuma tiga suap Abang melambaikan tangannya. "Cukup!" Katanya tegas. Akupun memberi Abang minum. Habis satu gelas.Â
"Alhamdulillahi...aalaamiin." Ucap kami berdua usai Abang minum. Akupun duduk di sofa.
"Ma Teguh Hp mana?" Tanya Abang. Akupun mengeluarkan Hp beliau dari tas. Kuperlihatkan kepadanya.
"Dompet dan KTP?" Akupun menunjukkan kepada Abang. Jaga dompet, KTP, dan kartu BPJS Abang. Biar tak susah berurusan." Ulang beliau lagi berwasiat.
"Ya,"jawabku pendek sambil memasukkan dompet, KTP, dan BPJS Abang kembali ke tas. Aku menyerahkan Hp Abang dan kacamata baca beliau. Abang pun melambaikan tangannya.Â
"Ma Teguh saja yang pegang. Cari nomor Pak Fatra, Kata Abang."
Aku mengecek Hp. "Nggak ada Fatra, Bang." Jawabku.Â
"Cari di group FJKIP." Perintah liau lagi. Akupun mencari tak ada Fatra.
"Coba diganti dengan Patra ya," katanya. Namun tak bertemu juga. Iseng aku ketik WTW... lalu bermunculanlah sejumlah nama WTW. Termasuk WTW Patra Edialis.
"Bilang sama Pak Edi, Abang dirawat. Suruh datang ke sini." Akupun memberitahu beliau bahwa Abang sedang dirawat di Yarsi.
Cepat Pak Edi menjawab, "Santa lai Ambo ka situ," balas Pak Edi.
"Santa lai kato Pak Edi, Pa," laporku kepada Abang.
"Yop." Jawab Abang pendek.
Tiba-tiba adzan Ashar Sabtu, 8 Maret itu berkumandang, Epi adik Abang kusuruh shalat dulu karena aku akan membimbing Abang shalat. Sesuai pesan sang Rohis tadi pagi, "Pasien harus didampingi shalat, yang mendampingi harus suci. Artinya berwudhu juga. Lalu disentuh pasien tiap pergantian bacaan dan gerakan shalat agar tidak mengantuk. Kalau bisa bacaan dibaca keras."
Abang bertayamum ke dinding rumah sakit. Ia menyapu muka lalu menyentuh dinding lagi lalu menyapu tangannya. Abangpun mulai takbir. Allohu Akbar.Â
Aku membaca Doa iftitah dalam hati Allohumma ba'id dan saat selesai menepuk tangan Abang, begitu juga Fatiha, ayat pendek, takbir rukuk, bangkit rukuk, takbir sujud, bangkit sujud, takbir sujud kedua, bangkit rakaat kedua. Ternyata abang bisa hingga 4 rakaat. Usai salam, Abang kubimbing baca doa untuk diri dan kedua orang tua, Â allohummaghfirliy wali-wali dayya... hingga doa diberi kebaikan di dunia dan di akhirat jauh dari adzab neraka, robbana atiina...
Epi adik Abang datang. Akupun izin kepada Abang shalat Ashar ke mushalla Yarsi. "Yu shalat ke mushalla, sayang!" Pamitku.
"Pailah," jawab Abang pendek.
Aku shalat Ashar di mushalla sendirian karena periode berjamaah sudah usai. Selesai shalat, aku bermohon agar shalat Maghrib, Isha, dan Subuh Abang disempurnakan Allah. Aku tak bisa mendampingi Abang di 3 waktu shalat itu.
Shalat dan berdoa selesai, aku menuju ruang rawat abang di kelas 1c lagi. "Assalamualaikum, wrwb." Ucapku. Ternyata ada Kak Rosmaida dan suami beliau datang bezuk. Kamipun bersalaman. Beliau teman Abang di persyarikatan Muhammadiyah. Abang ketua PDM dan Kak Rosmaida Ketua PDAM ( Pimpinan Daerah Aisyiyah Muhammadiyah.
"Yus, mengapa tak setuju tindakan transfusi darah, Dek? Lihat ketua pucat." Kata beliau.
"Kak, bukan tak setuju. Tapi tunda. Cek ginjal Abang dulu. Keluar hasil cek ginjal Abang boleh transfusi," jawabku sendu. Air mata kembali menetes. Akupun menceritakan bahwa kondisi Abang sama lemasnya dengan kondisi Mamaku tahun 2021 saat di rawat di rumah sakit ini juga.
Kak Ida terus mendebatku. Aku faham. Akupun tak berdaya. Pastilah semua menyalahkanku. Aku terima. Dulu, ketika mama divonis HB rendah dan harus transfusi, aku langsung saja setuju. Toh ada temanku berulang transfusi sehat. Begitupun Mama Epi temanku satunya, Mamanya sehat hingga kini.
Namun, mamaku berbeda. Ketika beliau transfusi, akhirnya gagal ginjal. Langsung stadium 5. Mama harus cuci darah. Cuma dua kali beliau cuci darah, akhirnya tutup usia. Coba siapa yang tidak trauma dengan peristiwa itu?
Ketika aku menangis pilu, perawat datang. "Bu, ginjal bapak semua positif. Bagus. Bapak bisa transfusi darah." Kata Za si perawat.
"Alhamdulillah." Ucapku. "Mudahan engkau sembuhkan suami hamba, Rabb!"
"Aamiin YRA." Balas semua. Kak Ida pun mulai menghubungi para pendonor. Begitu juga Da Edi kawan Abang.
"99 % orang sehat transfusi darah." Celutuk Epi adik Abang sedikit emosi. "Kawan saya berapa banyak yang transfusi darah, panjang umur mereka sampai sekarang." Lanjutnya bersemangat.
Langsung ada yang hilang kurasakan dalam tubuhku. Ruhku seperti melayang mendengar pernyataannya. Darahku berdesir. Mereka bebas berujar karena mereka takkan pernah merasakan nyeri di dadaku. Untunglah adik abang Epi yang menemani kami di rumah sakit ini. Sungguh keputusan medis tak bisa diselesaikan sendirian, meskipun aku istri beliau. Tapi Abang juga kakak dari 7 adiknya. Beliau juga milik persyarikatan.
Sore ini, perlahan kurasakan Abang bukan lagi hakku. Tapi milik bersama. Perih sekali. Tspi aku tak tahu apa sebabnya. Aku hanya bisa menangis meski ginjal Abang sudah dinyatakan bagus. Aku menyibukkan diri dengan bercengkrama dengan Abang. Sementara Epi dan Kak Ida sibuk bertukar pendapat sambil menjawab telepon.
"Ma Teguh, beli untuk berbuka lagi," tegur Abang sekembali Kak Rismaida dari ruangan. Akupun meminta izin keluar untuk membeli takjil dan nasi bungkus untuk Epi dan Rizqon. Untukku dan Yola, kami makan nasi di rumah karena nasi sahur masih ada.
Kesedihanku di ruangan kelas 1c itu reda saat bertemu macet. Kembali dzikir sebagsi senjata andalanku untuk mengurai macet. Ternyata hari mulai gelap. Pantas Abang gelisah belum ada pabukoan.
Usai belanja aku jemput Yola untuk ikut ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Abang tersenyum mendapati Yola di pintu. Senyumnya benar-benar merekah. Beliau rentangkan tangan minta peluk. Yola pun memeluk Papanya. Mencium pipinya. Begitulah mereka berdua bila bertemu. Abangpun pasti tak pernah bosan berkata, "Ma Teguh, jaga Yola untuk kami (Abang)."
Dari dulu Abang selalu menyebut dirinya 'kami' sesuai kebiasaan orang Minang.
"Berbuka di sini, Nak e atau di rumah?" Tanya Abang.
"Di rumah." Jawab Yola pendek.
"Pulang lagi Ma Teguh. Bentar lagi berbuka," kata Abang. "Ma Teguh, jaga Hp kami, bila ada japri balas, group tak usah balas." Wasiat beliau berikutnya. Aku hanya bisa menarik napas resah. 'Rabb!' Teriakku dalam hati.
Yu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI