Kerangka hukum Indonesia dalam menangani tindak pidana korupsi, kejahatan ekonomi, maupun kejahatan pertambangan masih menghadapi keterbatasan serius, terutama dalam konteks asset recovery. Instrumen hukum seperti KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan UU Minerba secara normatif memang menyediakan dasar penindakan. Namun, ketiga regulasi tersebut lebih menekankan pada aspek penindakan pidana (punishment oriented) daripada pemulihan aset (asset oriented). Akibatnya, meskipun pelaku berhasil dipidana, aset hasil kejahatan sering kali tetap tidak tersentuh secara efektif (Butt & Lindsey, 2018).
Pertama, KUHP hanya mengatur pemidanaan secara umum, tanpa mekanisme komprehensif untuk menyita dan merampas aset yang diperoleh dari tindak pidana. Pasal-pasal mengenai perampasan barang hasil tindak pidana cenderung terbatas dan tidak mencakup tindak pidana ekonomi modern yang kompleks, termasuk praktik mafia tambang. Dengan demikian, KUHP gagal memberikan perangkat untuk follow the money yang menjadi kunci dalam menelusuri aliran dana hasil kejahatan (Muladi, 2002).
Kedua, UU Tipikor memang memberi ruang penyitaan dan perampasan aset, tetapi pelaksanaannya terikat pada adanya putusan pidana terlebih dahulu. Model ini disebut sebagai criminal based asset forfeiture, yang menuntut pembuktian di pengadilan hingga vonis inkracht. Dalam praktiknya, proses ini sering memakan waktu lama dan rawan intervensi politik maupun hukum. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh jejaring oligarkis untuk menyembunyikan aset melalui layering dan integration dalam sistem keuangan, sehingga negara kehilangan peluang pemulihan (Zulfa, 2011).
Ketiga, UU Minerba lebih berfokus pada pengelolaan sektor pertambangan dan sanksi administratif maupun pidana bagi pelanggaran izin. Namun, undang-undang ini tidak memiliki mekanisme khusus untuk menyita keuntungan yang diperoleh dari tambang ilegal. Akibatnya, penegakan hukum cenderung berhenti pada penutupan tambang atau pidana penjara, tanpa menyentuh hasil ekonomi yang sangat besar dari praktik ilegal tersebut (Pitana, 2019).
Ketiadaan mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB) dalam sistem hukum Indonesia menjadi kelemahan mendasar. Di banyak negara, NCB dipakai untuk merampas aset tanpa menunggu vonis pidana, sepanjang dapat dibuktikan keterkaitannya dengan tindak pidana. Mekanisme ini sangat relevan menghadapi mafia tambang yang sering kali berlapis struktur korporasi dan menggunakan nominee untuk melindungi aset. Tanpa NCB, upaya "follow the money" praktis terhambat (UNODC, 2012).
Selain itu, mafia tambang beroperasi bukan hanya sebagai pelaku kriminal ekonomi, melainkan sebagai bagian dari jejaring oligarkis yang menggabungkan kekuatan modal, politik, dan aparat. Jeffrey Winters (2011) menyebut fenomena ini sebagai oligarchic power, di mana aktor-aktor ekonomi kuat mampu mengendalikan kebijakan dan hukum untuk melindungi kepentingannya. Dalam konteks tambang, oligarki memanfaatkan celah hukum, ketidakjelasan regulasi, dan kelemahan institusi penegak hukum untuk mempertahankan monopoli keuntungan dari sumber daya alam.
Celakanya, upaya penindakan sering kali berhenti pada aktor-aktor lapangan, seperti pekerja tambang ilegal atau pengusaha kecil. Sementara, para backing politik dan ekonomi tetap tidak tersentuh hukum. Hal ini memperkuat tesis selective law enforcement, yaitu hukum bekerja hanya untuk pihak-pihak tertentu, sementara yang memiliki kekuasaan politik-ekonomi besar bisa lolos (Hadiz & Robison, 2004).
Dalam konteks teori hukum, kondisi ini menunjukkan adanya defisit rule of law substantif. Lon Fuller (1969) menekankan bahwa hukum tidak hanya harus jelas dan dapat ditegakkan, tetapi juga harus mampu mencapai keadilan substantif. Tanpa perangkat perampasan aset, hukum di Indonesia hanya berfungsi secara formalistik dan gagal menghadirkan keadilan substantif bagi masyarakat, khususnya korban kerugian sosial dan ekologis akibat tambang ilegal.
Lebih jauh, kelemahan hukum ini berdampak langsung pada legitimasi negara. Negara tampak tidak berdaya melawan mafia tambang karena keterbatasan instrumen hukum. Padahal, salah satu tugas utama negara menurut teori kontrak sosial Rousseau adalah menjamin keadilan dan melindungi kepentingan bersama. Ketika negara gagal menyelamatkan aset publik yang dirampas oleh segelintir elit, maka kontrak sosial itu sendiri menjadi dipertanyakan.
Dengan demikian, kerangka hukum saat ini tidak memadai untuk menghadapi kompleksitas kejahatan tambang ilegal dan praktik oligarki yang menyertainya. Momentum politik yang diinisiasi Presiden Prabowo melalui penyitaan smelter seharusnya dijadikan titik awal untuk memperkuat regulasi. Tanpa reformasi hukum berupa RUU Perampasan Aset, negara akan terus terjebak dalam lingkaran setan kelemahan hukum, mafia tambang, dan kerugian triliunan rupiah.
Urgensi RUU Perampasan Aset
Gagasan mengenai perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture/NCB) menjadi relevan di Indonesia, terutama ketika kerugian negara akibat mafia tambang dan tindak pidana ekonomi mencapai ratusan triliun rupiah. Definisi sederhana dari NCB adalah mekanisme hukum untuk menyita dan merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, meskipun belum ada putusan pengadilan yang inkracht. Dengan kata lain, fokusnya bukan pada penghukuman individu pelaku, tetapi pada pemulihan aset yang secara logika keadilan memang tidak boleh dinikmati oleh pihak yang memperolehnya secara melawan hukum (Cassella, 2013).