Menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai agenda prioritas gerakan mahasiswa dan pemuda bukan sekadar pilihan strategis, tetapi kelanjutan logis dari tradisi peran historis mereka. Jika mahasiswa pernah menentang penyelewengan kekuasaan Orde Lama dan menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru, maka dalam konteks kontemporer, mengawal RUU Perampasan Aset berarti melawan oligarki predatoris yang merampok kekayaan negara. Di sinilah letak kesinambungan sejarah gerakan pemuda: konsistensi dalam membela hak-hak rakyat dari segala bentuk perampasan.
Dalam kerangka dukungan terhadap political will Presiden Prabowo, mahasiswa tidak hanya perlu mengambil sikap kritis, tetapi juga radikal dalam memberikan dukungan moral ketika kebijakan pemerintah sejalan dengan amanah konstitusi. Pemikiran Antonio Gramsci tentang war of position relevan di sini: mahasiswa harus cerdas membaca momentum, menegaskan posisi mereka sebagai kekuatan tandingan oligarki, tetapi sekaligus memperkuat langkah pemerintah yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat (Gramsci, 1971). Sikap ini bukan kompromi politik, melainkan strategi untuk menjaga konsistensi peran mahasiswa dan pemuda sebagai agen transformasi sosial.
Mahasiswa juga perlu menempatkan diri sebagai jembatan penghubung antara suara rakyat, kepentingan lingkungan, dan integritas hukum. Kasus tambang ilegal tidak hanya menyangkut kerugian finansial negara, tetapi juga penderitaan masyarakat lokal, pencemaran ekologi, dan runtuhnya keadilan sosial. Dengan demikian, perjuangan mahasiswa mengawal RUU Perampasan Aset berarti sekaligus mengartikulasikan hak-hak konstitusional masyarakat atas lingkungan hidup yang baik, serta menegakkan prinsip Pasal 33 UUD 1945.
Sikap kritis mahasiswa terhadap penyelewengan pengelolaan negara memang wajib dipertahankan. Namun, jika pemerintah menunjukkan komitmen kuat untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat dan melawan oligarki predatoris, maka radikalisme mahasiswa harus diwujudkan dalam bentuk dukungan radikal. Artinya, mahasiswa tidak sekadar menentang, tetapi juga membela langkah progresif negara. Konsistensi sikap inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa dan pemuda benar-benar relevan dan "keren", karena setia pada nurani bangsa, bukan pada kepentingan sektoral.
Dalam perspektif teori politik demokratis, relasi kritis dan dukungan antara mahasiswa dan pemerintah merupakan bentuk critical collaboration. Pemerintah membutuhkan legitimasi moral untuk melawan oligarki, sementara mahasiswa dan pemuda membutuhkan saluran politik agar agenda moral mereka menjadi kebijakan negara (Habermas, 1996). Dengan sinergi ini, RUU Perampasan Aset tidak lagi hanya menjadi wacana teknis, tetapi berubah menjadi agenda politik nasional yang dipikul bersama oleh pemerintah dan masyarakat sipil.
Dengan demikian, political will Presiden Prabowo hanya akan bermakna jika didukung oleh gerakan moral mahasiswa dan pemuda. Sebaliknya, gerakan mahasiswa dan pemuda hanya akan efektif jika mampu membaca momentum dan mengarahkan energinya untuk mendukung agenda kebangsaan yang benar. Dalam konteks inilah, perampasan aset menjadi medan uji bagi keseriusan negara dan konsistensi gerakan mahasiswa dan pemuda. Bila kedua kekuatan ini bersatu, oligarki predatoris tambang yang selama ini kebal hukum dapat benar-benar dilumpuhkan, dan cita-cita keadilan sosial sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dapat diwujudkan.
Rekomendasi Kebijakan
Perdebatan panjang mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menunjukkan bahwa agenda ini bukan semata-mata persoalan teknis hukum, melainkan menyangkut politik hukum, keberanian politik, dan arah pembangunan nasional. Korupsi dan kejahatan ekonomi yang terorganisir telah menggerogoti basis fiskal negara, melemahkan legitimasi hukum, serta menurunkan kualitas demokrasi. Karena itu, rekomendasi kebijakan yang bersifat konkret, progresif, dan integratif harus segera ditempuh oleh pemerintah dan parlemen.
Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera mengesahkan RUU Perampasan Aset sebagai instrumen hukum positif yang dapat memperkuat kerja aparat penegak hukum dalam menutup defisit asset recovery. Penundaan pembahasan hanya memperpanjang kerugian negara dan menguntungkan para aktor koruptif. Secara normatif, RUU ini merepresentasikan perintah konstitusional dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, setiap aset hasil tindak pidana yang merugikan bangsa sejatinya adalah "aset publik" yang wajib dikembalikan kepada negara.
Kedua, apabila stagnasi politik di DPR kembali terjadi, opsi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden merupakan langkah darurat yang konstitusional. Perppu dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi kebuntuan legislasi akibat tarik-menarik kepentingan oligarki di parlemen. Sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa Perppu kerap digunakan untuk merespons keadaan mendesak, misalnya pada saat krisis ekonomi 1998 (Butt & Lindsey, 2018). Maka, dalam konteks perang melawan korupsi yang merugikan triliunan rupiah setiap tahun, Perppu tentang perampasan aset dapat dibenarkan secara hukum dan politik.
Ketiga, integrasi kebijakan perampasan aset dengan tata kelola lingkungan, tambang, dan pembangunan berkelanjutan merupakan keharusan. Sebagian besar kasus korupsi dan kejahatan ekonomi terhubung dengan sektor sumber daya alam: pertambangan ilegal, alih fungsi hutan, hingga pencucian uang lintas negara (Bachriadi & Lucas, 2001). Tanpa instrumen perampasan aset, keuntungan yang diperoleh dari praktik merusak lingkungan tetap beredar di tangan pelaku. Dengan integrasi ini, negara tidak hanya mengembalikan kerugian finansial, tetapi juga menegakkan keadilan ekologis yang menjadi pilar pembangunan berkelanjutan (Raworth, 2017).
Keempat, sinergi antarlembaga penegak hukum mutlak diperlukan. RUU Perampasan Aset tidak akan efektif tanpa koordinasi erat antara Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Keuangan, serta dukungan dari pengadilan. Dalam kerangka network governance, kolaborasi ini memungkinkan pertukaran data, pengawasan lintas sektor, dan percepatan eksekusi putusan penyitaan (Rhodes, 2007). Pengalaman internasional menunjukkan bahwa kerja sama antar-institusi adalah kunci sukses asset forfeiture.