Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rp 300 Triliun Hilang, Saatnya UU Perampasan Aset Jadi Senjata Negara

7 Oktober 2025   19:51 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelima, partisipasi masyarakat sipil perlu diperkuat. Transparansi dan akuntabilitas dalam praktik perampasan aset hanya mungkin terwujud jika ada ruang kontrol publik. Organisasi masyarakat sipil, akademisi, media massa, hingga komunitas lokal harus diberi akses terhadap informasi mengenai aset yang dirampas, mekanisme penggunaannya, dan distribusi hasilnya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip participatory governance yang menempatkan rakyat bukan sekadar objek, tetapi subjek dalam tata kelola negara (Fung & Wright, 2003).

Keenam, pemerintah harus menyiapkan skema pemanfaatan aset rampasan yang produktif dan berkeadilan sosial. Tanpa desain yang jelas, aset rampasan berpotensi menjadi beban baru atau bahkan kembali disalahgunakan. Sebaliknya, jika dikelola dengan baik, aset rampasan dapat dikonversi menjadi dana pembangunan desa, pembiayaan pendidikan, subsidi kesehatan, atau program reforma agraria. Dengan demikian, perampasan aset tidak sekadar menutup kerugian negara, tetapi juga menguatkan legitimasi negara di mata rakyat melalui kehadiran manfaat langsung.

Ketujuh, RUU ini harus memuat perlindungan hak asasi manusia. Prinsip due process of law dan non-retroactivity tetap dijunjung tinggi agar perampasan aset tidak dijadikan alat represif terhadap oposisi politik. Dengan mekanisme pembuktian terbalik terbatas dan pengawasan peradilan yang ketat, RUU ini dapat menyeimbangkan efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak individu.

Dengan strategi kebijakan yang terintegrasi ini, perampasan aset dapat diposisikan bukan sekadar sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai instrumen politik kesejahteraan dan kedaulatan bangsa. Pada akhirnya, keberanian politik untuk mengesahkan dan mengimplementasikan RUU Perampasan Aset akan menjadi batu ujian komitmen Indonesia dalam membangun tata kelola negara yang bersih, berkeadilan, dan berdaulat.

Penutup

Kasus dugaan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun akibat praktik tambang timah ilegal di Bangka Belitung adalah potret telanjang dari paradoks pembangunan dan tata kelola hukum di Indonesia. Skandal ini bukan sekadar peristiwa kriminal biasa, melainkan tragedi politik hukum yang memperlihatkan lemahnya negara dalam melindungi sumber daya alam dan hak-hak rakyat. Jika dibiarkan, fenomena seperti ini akan menjadi preseden buruk yang menandakan bahwa mafia ekonomi mampu melumpuhkan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, urgensi RUU Perampasan Aset harus dibaca dalam konteks momentum sejarah: saatnya Indonesia menegaskan bahwa hukum lebih berdaulat dibanding modal.

Dalam perspektif teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, hukum sejatinya adalah instrumen untuk menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar prosedur formal (Rahardjo, 2006). Dengan kacamata ini, perampasan aset bukan hanya mekanisme teknis yuridis, melainkan senjata negara untuk menundukkan mafia ekonomi yang merampok kekayaan rakyat. Tanpa perangkat hukum yang kuat, korupsi dan kejahatan terorganisir akan selalu lebih cepat daripada langkah penegakan hukum.

Pertaruhan serius kini berada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Jika ia benar-benar menempatkan diri sebagai pemimpin rakyat, maka keberanian untuk menabrak kepentingan oligarki menjadi syarat mutlak. Sebaliknya, jika pemerintah kembali tunduk pada lobi elite ekonomi, maka janji-janji tentang kedaulatan bangsa hanya akan menjadi retorika kosong. Teori politik hukum menegaskan bahwa hukum tidak pernah netral; ia adalah hasil tarik-menarik kekuatan sosial dan ekonomi (Nonet & Selznick, 2001). Karena itu, RUU Perampasan Aset akan menjadi ujian: apakah hukum berdiri di sisi rakyat atau justru menjadi alat legitimasi oligarki.

Lebih jauh, skandal Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal menunjukkan bahwa persoalan korupsi dan kejahatan ekonomi bukan hanya soal kehilangan uang negara, tetapi juga soal kehancuran lingkungan dan masa depan generasi. Perampasan aset harus dipandang sebagai langkah simultan dalam menegakkan keadilan sosial dan ekologis. Jika hasil rampasan tidak dikembalikan dalam bentuk manfaat publik, seperti rehabilitasi lingkungan, pendidikan, dan kesehatan, maka negara hanya mengganti satu bentuk ketidakadilan dengan ketidakadilan baru (Raworth, 2017).

Dalam konteks ini, peran mahasiswa dan pemuda menjadi krusial. Mereka bukan sekadar agen moral, tetapi juga pengawal konstitusi yang memastikan bahwa hukum berjalan sesuai amanat UUD 1945. Gerakan mahasiswa sejak 1966 hingga Reformasi 1998 selalu membuktikan bahwa perubahan besar tidak lahir dari elite semata, tetapi juga dari tekanan publik yang kritis (Aspinall, 2005). Tugas generasi muda kini adalah memastikan bahwa perampasan aset benar-benar menjadi agenda nasional, bukan sekadar slogan politik untuk meredam kemarahan publik.

Keterlibatan mahasiswa dan pemuda dalam mengawal kebijakan ini dapat dilihat melalui tiga level. Pertama, kontrol wacana publik, dengan menghadirkan narasi kritis melalui diskusi, media sosial, dan kampanye literasi hukum. Kedua, kontrol politik, dengan mengawasi legislasi di DPR dan sikap pemerintah, agar tidak mudah tunduk pada lobi oligarki. Ketiga, kontrol moral, dengan menjaga idealisme agar agenda perampasan aset tidak terkooptasi menjadi sekadar proyek teknokratis yang kehilangan jiwa keadilan.

Pada akhirnya, RUU Perampasan Aset harus dipahami sebagai political weapon untuk membalik logika kekuasaan: dari negara yang dikendalikan mafia menjadi negara yang mengendalikan mafia. Momentum Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal harus dijadikan alarm nasional bahwa menunda lahirnya regulasi ini sama artinya dengan membiarkan bangsa ini terus dirampok di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun