Abstrak
Artikel ini membahas urgensi RUU Perampasan Aset dalam konteks skandal tambang timah ilegal di Bangka Belitung yang diperkirakan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Dengan pendekatan analitis-kritis, tulisan ini menyoroti keterbatasan kerangka hukum saat ini (KUHP, UU Tipikor, UU Minerba) yang belum mampu menutup defisit asset recovery dan menghadapi praktik mafia tambang. Artikel ini menegaskan bahwa perampasan aset bukan sekadar instrumen teknis, melainkan senjata negara untuk menegakkan kedaulatan atas sumber daya, mengimplementasikan amanat UUD 1945, serta mewujudkan keadilan sosial dan ekologis. Lebih jauh, peran Presiden Prabowo Subianto diuji dalam menghadapi resistensi oligarki, sementara gerakan mahasiswa dan pemuda didorong untuk menjadikan agenda ini sebagai prioritas perjuangan moral bangsa. Dengan membandingkan praktik internasional dan menekankan pentingnya political will, tulisan ini merekomendasikan percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset atau penerbitan Perppu sebagai langkah darurat. Artikel ini berargumen bahwa momentum Rp 300 triliun bukan sekadar angka kerugian, melainkan panggilan sejarah untuk menegakkan kedaulatan hukum di Indonesia.
Kata Kunci: RUU Perampasan Aset; Tambang Ilegal; Mafia Ekonomi; Asset Recovery; Kedaulatan Hukum; Keadilan Sosial; Mahasiswa dan Pemuda; Oligarki; Presiden Prabowo Subianto.
Pendahuluan
Fenomena tambang ilegal kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo Subianto menyaksikan secara langsung penyitaan enam smelter timah ilegal oleh Kejaksaan Agung di Bangka Belitung. Dalam kunjungan itu, Presiden mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat praktik tambang timah ilegal bisa mencapai Rp 300 triliun hanya dari enam perusahaan tersebut. Angka fantastis ini menggambarkan betapa seriusnya ancaman illegal mining terhadap keuangan negara, lingkungan hidup, dan keadilan sosial di Indonesia. Fakta ini sekaligus mengingatkan kita pada kegagalan regulasi dan lemahnya tata kelola sumber daya alam yang menjadi sasaran empuk mafia tambang.
Secara teoritis, kasus ini dapat dibaca melalui perspektif state capture corruption, yakni kondisi ketika aktor-aktor ekonomi ilegal mampu memengaruhi atau bahkan mengendalikan kebijakan publik demi kepentingan mereka sendiri (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000). Tambang ilegal, khususnya di sektor timah, tidak sekadar kejahatan ekonomi, tetapi merupakan bentuk "perampokan negara" melalui mekanisme penguasaan sumber daya yang seharusnya dikelola untuk kepentingan rakyat. Negara kehilangan kedaulatannya, sementara oligarki menumpuk kekayaan dari kerusakan ekologis dan penderitaan masyarakat lokal.
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa "penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu" perlu dimaknai sebagai langkah politik hukum yang serius. Namun, pertanyaan kunci muncul: apakah momentum penyitaan smelter ini cukup untuk melahirkan instrumen hukum baru berupa RUU Perampasan Aset? Tanpa perangkat hukum yang memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa menunggu putusan pidana inkracht, maka penyelamatan aset negara akan selalu terhambat. Kerugian Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal adalah bukti nyata defisit asset recovery di Indonesia.
Konsep perampasan aset sendiri berakar pada teori hukum pidana modern yang menekankan pentingnya follow the money sebagai pendekatan strategis dalam pemberantasan kejahatan ekonomi (Naylor, 2002). Kejahatan korupsi, money laundering, dan illegal mining tidak bisa diberantas hanya dengan menghukum pelakunya, melainkan harus dengan merampas hasil kejahatan untuk mengembalikannya ke kas negara. Tanpa mekanisme ini, oligarki ekonomi akan tetap memiliki "nafas panjang" untuk bertahan bahkan setelah aktor-aktornya dipidana.
Dalam konteks negara hukum modern, penyelamatan aset adalah bagian integral dari fungsi welfare state. Menurut Rawls (1971), prinsip keadilan menuntut distribusi sumber daya yang adil demi kepentingan bersama, terutama bagi kelompok masyarakat paling lemah. Kerugian Rp 300 triliun bukan hanya angka ekonomi, melainkan refleksi dari ketidakadilan struktural yang mengorbankan masyarakat desa, nelayan, dan buruh tambang. Dengan demikian, RUU Perampasan Aset harus dibaca sebagai instrumen keadilan distributif, bukan sekadar perangkat teknis hukum.
Selain itu, praktik tambang ilegal yang merusak ekosistem Bangka Belitung juga menegaskan urgensi integrasi hukum lingkungan dengan hukum pidana ekonomi. Perspektif ecological justice menekankan bahwa keadilan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk lingkungan hidup sebagai basis keberlanjutan (Schlosberg, 2007). Artinya, RUU Perampasan Aset harus diposisikan sebagai payung hukum yang juga berfungsi menginternalisasi biaya ekologis ke dalam proses asset recovery.
Dari perspektif politik hukum, momentum penyitaan smelter ini membuka peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, komitmen Presiden Prabowo menjadi sinyal positif bahwa pemerintah ingin memutus rantai mafia tambang. Namun di sisi lain, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa oligarki selalu punya cara untuk melemahkan atau menggagalkan regulasi yang mengancam kepentingannya (Robison & Hadiz, 2004). Inilah sebabnya, keberanian Presiden harus didukung oleh basis sosial yang kuat, termasuk mahasiswa dan pemuda sebagai agen moral bangsa.
Gerakan mahasiswa sejak awal sejarah Indonesia modern selalu memainkan peran penting dalam mengawal agenda keadilan dan integritas negara. Dari Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga Reformasi 1998, mahasiswa tampil sebagai penggerak perubahan. Menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai agenda prioritas gerakan mahasiswa dan pemuda akan memperkuat legitimasi moral sekaligus memberikan tekanan publik pada DPR dan elite politik untuk tidak menunda-nunda pembahasannya.
Oleh karena itu, kerugian Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal bukan hanya skandal ekonomi, melainkan panggilan sejarah. Pertanyaan kritisnya: apakah pemerintah dan DPR siap menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai senjata negara untuk melawan mafia tambang dan oligarki ekonomi, ataukah kita akan kembali menyaksikan kebuntuan politik yang merugikan rakyat?
Skandal Tambang Ilegal dan Kerugian Negara
Fenomena tambang timah ilegal di Bangka Belitung merepresentasikan wajah buram tata kelola sumber daya alam Indonesia. Pulau Bangka dan Belitung, yang dikenal sebagai salah satu produsen timah terbesar dunia, justru menjadi locus utama praktik pertambangan ilegal. Menurut riset JATAM (2022), operasi tambang ilegal di kawasan ini melibatkan jaringan yang kompleks: mulai dari penambang kecil, perusahaan smelter, aparat birokrasi, hingga jejaring politik lokal dan nasional. Pola ini persis dengan konsep "mafia resource politics" di mana aktor-aktor formal dan informal membangun simbiosis untuk mempertahankan rente ekonomi (Aspinall & van Klinken, 2011).
Kerugian finansial dari praktik tambang ilegal tidak sekadar hilangnya penerimaan negara dalam bentuk pajak dan royalti, melainkan juga menimbulkan defisit fiskal jangka panjang. Angka Rp 300 triliun yang diungkapkan Presiden Prabowo adalah simbol dari masifnya kebocoran negara akibat eksploitasi ilegal. Dalam perspektif ekonomi politik, hal ini mencerminkan gejala resource curse atau kutukan sumber daya, di mana kekayaan alam justru menghasilkan kerentanan politik dan ekonomi akibat tata kelola yang buruk (Ross, 2012). Tanpa regulasi tegas seperti perampasan aset, negara akan terus menjadi pihak yang kalah dalam pertarungan dengan oligarki.
Lebih jauh, kerugian negara dari tambang ilegal sesungguhnya bersifat multidimensional. Jika ditarik ke ranah ekologis, maka kerusakan yang ditimbulkan tambang timah ilegal jauh lebih dahsyat dibanding kerugian finansial. Penelitian Greenpeace (2019) menunjukkan bahwa aktivitas tambang timah ilegal di Bangka Belitung telah mengakibatkan hilangnya ribuan hektar hutan, pencemaran laut, dan kerusakan terumbu karang. Dari perspektif teori ecological modernization, situasi ini menandakan kegagalan negara dan pelaku usaha untuk mengintegrasikan standar lingkungan ke dalam praktik produksi (Mol & Spaargaren, 2000). Alih-alih modernisasi, yang terjadi adalah degradasi ekologi yang mengorbankan keberlanjutan.
Kerusakan ekologis ini berimplikasi langsung pada hilangnya ruang hidup masyarakat lokal. Nelayan kehilangan daerah tangkapan ikan karena laut tercemar lumpur tambang, sementara petani kehilangan lahan subur akibat pengerukan tanah. Hal ini menegaskan pandangan Schlosberg (2007) tentang environmental justice yang mencakup distribusi adil terhadap manfaat dan beban lingkungan. Dalam konteks Bangka Belitung, masyarakat lokal justru menanggung beban kerusakan, sementara keuntungan dikapitalisasi oleh segelintir elit ekonomi.
Dimensi sosial dari tambang ilegal juga tidak kalah serius. Para buruh tambang, terutama penambang rakyat yang bekerja tanpa perlindungan hukum maupun kesehatan, menjadi kelompok yang paling rentan. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi berbahaya, tanpa standar keselamatan, dan terjebak dalam siklus kemiskinan struktural. Fenomena ini sesuai dengan konsep structural violence (Galtung, 1969), yakni bentuk kekerasan yang muncul bukan dari tindakan langsung, melainkan dari struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil. Negara yang gagal mengatur pertambangan secara legal sesungguhnya turut berkontribusi dalam melanggengkan kekerasan struktural ini.
Tambang ilegal juga memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi di daerah penghasil. Rente ekonomi yang seharusnya dikelola untuk pembangunan lokal lebih banyak mengalir ke luar daerah, bahkan keluar negeri. Hal ini selaras dengan kritik Harvey (2005) tentang accumulation by dispossession, di mana kelompok kaya dan berkuasa mengakumulasi kekayaan dengan merampas sumber daya dari masyarakat miskin. Bangka Belitung adalah contoh nyata bagaimana masyarakat lokal hanya menjadi penonton, sementara hasil bumi mereka dikeruk oleh jaringan mafia tambang.
Dari sisi tata kelola, pola mafia tambang menunjukkan adanya kolusi antara aktor ilegal dengan sebagian aparat dan elite politik. Laporan ICW (2021) menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap tambang ilegal sering tebang pilih, bahkan berhenti di level "kambing hitam" penambang kecil, sementara pemodal besar nyaris tak tersentuh. Fenomena ini memperlihatkan wajah nyata state capture, di mana kebijakan publik dan penegakan hukum disandera oleh kepentingan privat (Hellman dkk., 2000).
Namun, meski situasi terlihat suram, momentum politik hukum yang dimulai dari penyitaan enam smelter di Bangka Belitung bisa menjadi titik balik. Dengan basis regulasi yang kuat berupa RUU Perampasan Aset, negara memiliki instrumen untuk menjerat aktor utama mafia tambang, bukan hanya "ekor-ekor" kecilnya. Artinya, penyelamatan aset harus dipahami bukan semata-mata untuk mengembalikan kerugian finansial, tetapi juga sebagai langkah pemulihan ekologi dan keadilan sosial.
Secara solutif, integrasi antara penegakan hukum pidana, hukum lingkungan, dan perampasan aset menjadi kunci. Pertama, aparat penegak hukum harus konsisten menargetkan pemodal besar, bukan hanya pekerja tambang kecil. Kedua, aset yang disita harus dikelola secara transparan oleh negara, misalnya melalui Badan Lelang Negara atau diserahkan untuk program pemulihan lingkungan. Ketiga, masyarakat lokal, termasuk nelayan dan petani, harus dilibatkan dalam perencanaan pemanfaatan kembali aset tersebut, sehingga ada keadilan restoratif.
Dengan demikian, skandal tambang timah ilegal di Bangka Belitung bukan sekadar kriminalitas ekonomi, tetapi juga cermin kegagalan struktural dalam tata kelola sumber daya alam. Kerugian finansial Rp 300 triliun hanyalah puncak gunung es dari kerugian ekologis dan sosial yang jauh lebih besar. Tanpa RUU Perampasan Aset, negara hanya akan terus "memadamkan api di permukaan" tanpa pernah menyelesaikan akar masalah.
Kelemahan Kerangka Hukum Saat Ini
Kerangka hukum Indonesia dalam menangani tindak pidana korupsi, kejahatan ekonomi, maupun kejahatan pertambangan masih menghadapi keterbatasan serius, terutama dalam konteks asset recovery. Instrumen hukum seperti KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan UU Minerba secara normatif memang menyediakan dasar penindakan. Namun, ketiga regulasi tersebut lebih menekankan pada aspek penindakan pidana (punishment oriented) daripada pemulihan aset (asset oriented). Akibatnya, meskipun pelaku berhasil dipidana, aset hasil kejahatan sering kali tetap tidak tersentuh secara efektif (Butt & Lindsey, 2018).
Pertama, KUHP hanya mengatur pemidanaan secara umum, tanpa mekanisme komprehensif untuk menyita dan merampas aset yang diperoleh dari tindak pidana. Pasal-pasal mengenai perampasan barang hasil tindak pidana cenderung terbatas dan tidak mencakup tindak pidana ekonomi modern yang kompleks, termasuk praktik mafia tambang. Dengan demikian, KUHP gagal memberikan perangkat untuk follow the money yang menjadi kunci dalam menelusuri aliran dana hasil kejahatan (Muladi, 2002).
Kedua, UU Tipikor memang memberi ruang penyitaan dan perampasan aset, tetapi pelaksanaannya terikat pada adanya putusan pidana terlebih dahulu. Model ini disebut sebagai criminal based asset forfeiture, yang menuntut pembuktian di pengadilan hingga vonis inkracht. Dalam praktiknya, proses ini sering memakan waktu lama dan rawan intervensi politik maupun hukum. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh jejaring oligarkis untuk menyembunyikan aset melalui layering dan integration dalam sistem keuangan, sehingga negara kehilangan peluang pemulihan (Zulfa, 2011).
Ketiga, UU Minerba lebih berfokus pada pengelolaan sektor pertambangan dan sanksi administratif maupun pidana bagi pelanggaran izin. Namun, undang-undang ini tidak memiliki mekanisme khusus untuk menyita keuntungan yang diperoleh dari tambang ilegal. Akibatnya, penegakan hukum cenderung berhenti pada penutupan tambang atau pidana penjara, tanpa menyentuh hasil ekonomi yang sangat besar dari praktik ilegal tersebut (Pitana, 2019).
Ketiadaan mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB) dalam sistem hukum Indonesia menjadi kelemahan mendasar. Di banyak negara, NCB dipakai untuk merampas aset tanpa menunggu vonis pidana, sepanjang dapat dibuktikan keterkaitannya dengan tindak pidana. Mekanisme ini sangat relevan menghadapi mafia tambang yang sering kali berlapis struktur korporasi dan menggunakan nominee untuk melindungi aset. Tanpa NCB, upaya "follow the money" praktis terhambat (UNODC, 2012).
Selain itu, mafia tambang beroperasi bukan hanya sebagai pelaku kriminal ekonomi, melainkan sebagai bagian dari jejaring oligarkis yang menggabungkan kekuatan modal, politik, dan aparat. Jeffrey Winters (2011) menyebut fenomena ini sebagai oligarchic power, di mana aktor-aktor ekonomi kuat mampu mengendalikan kebijakan dan hukum untuk melindungi kepentingannya. Dalam konteks tambang, oligarki memanfaatkan celah hukum, ketidakjelasan regulasi, dan kelemahan institusi penegak hukum untuk mempertahankan monopoli keuntungan dari sumber daya alam.
Celakanya, upaya penindakan sering kali berhenti pada aktor-aktor lapangan, seperti pekerja tambang ilegal atau pengusaha kecil. Sementara, para backing politik dan ekonomi tetap tidak tersentuh hukum. Hal ini memperkuat tesis selective law enforcement, yaitu hukum bekerja hanya untuk pihak-pihak tertentu, sementara yang memiliki kekuasaan politik-ekonomi besar bisa lolos (Hadiz & Robison, 2004).
Dalam konteks teori hukum, kondisi ini menunjukkan adanya defisit rule of law substantif. Lon Fuller (1969) menekankan bahwa hukum tidak hanya harus jelas dan dapat ditegakkan, tetapi juga harus mampu mencapai keadilan substantif. Tanpa perangkat perampasan aset, hukum di Indonesia hanya berfungsi secara formalistik dan gagal menghadirkan keadilan substantif bagi masyarakat, khususnya korban kerugian sosial dan ekologis akibat tambang ilegal.
Lebih jauh, kelemahan hukum ini berdampak langsung pada legitimasi negara. Negara tampak tidak berdaya melawan mafia tambang karena keterbatasan instrumen hukum. Padahal, salah satu tugas utama negara menurut teori kontrak sosial Rousseau adalah menjamin keadilan dan melindungi kepentingan bersama. Ketika negara gagal menyelamatkan aset publik yang dirampas oleh segelintir elit, maka kontrak sosial itu sendiri menjadi dipertanyakan.
Dengan demikian, kerangka hukum saat ini tidak memadai untuk menghadapi kompleksitas kejahatan tambang ilegal dan praktik oligarki yang menyertainya. Momentum politik yang diinisiasi Presiden Prabowo melalui penyitaan smelter seharusnya dijadikan titik awal untuk memperkuat regulasi. Tanpa reformasi hukum berupa RUU Perampasan Aset, negara akan terus terjebak dalam lingkaran setan kelemahan hukum, mafia tambang, dan kerugian triliunan rupiah.
Urgensi RUU Perampasan Aset
Gagasan mengenai perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture/NCB) menjadi relevan di Indonesia, terutama ketika kerugian negara akibat mafia tambang dan tindak pidana ekonomi mencapai ratusan triliun rupiah. Definisi sederhana dari NCB adalah mekanisme hukum untuk menyita dan merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, meskipun belum ada putusan pengadilan yang inkracht. Dengan kata lain, fokusnya bukan pada penghukuman individu pelaku, tetapi pada pemulihan aset yang secara logika keadilan memang tidak boleh dinikmati oleh pihak yang memperolehnya secara melawan hukum (Cassella, 2013).
Kebutuhan mendesak akan RUU Perampasan Aset berkaitan erat dengan defisit asset recovery di Indonesia. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tingkat pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi masih sangat rendah, jauh di bawah nilai kerugian yang ditimbulkan (ICW, 2021). Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun penegakan hukum berjalan, negara tetap mengalami kehilangan besar. Dalam perspektif hukum ekonomi, situasi ini mencerminkan law enforcement failure, yakni ketidakmampuan instrumen hukum positif untuk mencapai tujuan pemulihan (Posner, 2007).
RUU Perampasan Aset sejalan dengan amanah konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika kekayaan alam dieksploitasi secara ilegal oleh mafia tambang dan hasilnya tidak bisa dirampas untuk dikembalikan kepada rakyat, maka amanah konstitusi telah dikhianati. Lebih jauh, Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang jelas dilanggar oleh praktik tambang ilegal yang merusak ekosistem. Dengan demikian, perampasan aset bukan hanya instrumen teknokratis, melainkan bagian dari pemenuhan hak-hak dasar konstitusional rakyat.
Secara internasional, mekanisme perampasan aset telah menjadi standar praktik dalam melawan kejahatan transnasional. Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention against Corruption/UNCAC) 2003 mendorong negara-negara anggotanya untuk mengadopsi mekanisme perampasan aset, termasuk melalui jalur NCB. Negara-negara seperti Inggris melalui Proceeds of Crime Act 2002 dan Amerika Serikat melalui berbagai peraturan federal, telah membuktikan bahwa NCB mampu memperkuat efektivitas asset recovery (UNODC, 2012). Dengan bergabungnya Indonesia dalam UNCAC, terdapat kewajiban moral dan hukum untuk mengadopsi praktik serupa.
Praktik internasional juga menunjukkan bahwa NCB tidak berarti mengabaikan asas due process of law. Justru, mekanisme ini sering kali dilengkapi dengan prosedur hukum yang ketat, seperti pembuktian terbalik terbatas, transparansi proses pengadilan, dan perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Artinya, RUU Perampasan Aset tidak akan menjadi ancaman terhadap hak asasi, melainkan instrumen untuk melindungi kepentingan publik dari perampasan sumber daya oleh oligarki kriminal (Bantekas, 2018).
Dalam konteks Indonesia, urgensi RUU ini menjadi semakin nyata karena kejahatan ekonomi seperti mafia tambang sering kali beroperasi dalam jejaring oligarkis yang kebal hukum. Jeffrey Winters (2011) menekankan bahwa oligarki di Indonesia mempertahankan kekuasaannya melalui penguasaan sumber daya dan proteksi hukum. Tanpa instrumen perampasan aset, oligarki akan terus bertahan karena biaya pelanggaran hukum lebih kecil dibandingkan keuntungan yang mereka raih.
Lebih jauh, perampasan aset memiliki dimensi keadilan sosial dan lingkungan. Kerugian negara akibat tambang ilegal bukan hanya soal hilangnya pendapatan, tetapi juga menyangkut rusaknya tanah, air, dan hutan yang menjadi ruang hidup masyarakat lokal. Menurut perspektif ekologi politik (Bryant & Bailey, 1997), perampasan aset dapat dibaca sebagai strategi negara untuk mengoreksi ketidakadilan struktural akibat dominasi kapital atas sumber daya. Dengan kata lain, dana hasil perampasan aset harus dialokasikan kembali bagi pemulihan lingkungan, pemberdayaan masyarakat desa, dan pembangunan berkeadilan.
RUU Perampasan Aset juga dapat dilihat sebagai bagian dari upaya mengembalikan kedaulatan negara atas sumber daya alam. Dalam teori kedaulatan rakyat, negara dibentuk untuk menjamin kepentingan bersama. Jika negara tidak mampu melindungi kekayaan alamnya dari perampasan ilegal, maka legitimasi kedaulatan itu dipertanyakan. Oleh sebab itu, instrumen hukum baru ini bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan strategis nasional.
Akhirnya, urgensi RUU Perampasan Aset tidak hanya terletak pada aspek teknis hukum, tetapi juga pada aspek politik dan moral. Politik hukum pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus membaca momen penyitaan 6 smelter ilegal sebagai critical juncture untuk membuktikan komitmen terhadap penegakan hukum dan perlindungan kepentingan rakyat. Sementara, secara politik kebangsaan dan moral, gerakan mahasiswa dan pemuda sebagai agen moral bangsa harus menjadikan isu ini agenda strategis perjuangan, sebagaimana tradisi panjang mereka dalam mengawal demokrasi dan keadilan di republik ini.
Political Will Presiden Prabowo, Tantangan Oligarki, dan Peran Gerakan Pemuda
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Pangkalpinang, bahwa penegakan hukum terhadap tambang ilegal harus berjalan "tanpa pandang bulu", merupakan sinyal politik yang tegas tentang arah pemerintahan dalam menghadapi oligarki predatoris sumber daya. Political will ini penting karena dalam literatur politik hukum, komitmen eksekutif menjadi faktor determinan bagi keberhasilan agenda reformasi hukum (Tamanaha, 2004). Namun, sejarah Indonesia menunjukkan bahwa keberanian politik kerap terhalang oleh resistensi dari aktor-aktor oligarkis yang memiliki kekuatan ekonomi sekaligus politik.
Tantangan terbesar implementasi agenda perampasan aset adalah resistensi oligarki predatoris tambang yang telah lama bercokol dalam jaringan politik formal maupun informal. Winters (2011) menekankan bahwa oligarki di Indonesia beroperasi melalui wealth defense, yaitu mekanisme perlindungan kekayaan melalui aliansi dengan elite politik, regulasi yang timpang, hingga kooptasi aparat hukum. Dalam konteks RUU Perampasan Aset, oligarki akan berusaha memperlambat, melemahkan, atau bahkan menggagalkan pembahasan di parlemen karena undang-undang ini langsung mengancam basis kekuasaan mereka.
Di tengah resistensi tersebut, peran gerakan mahasiswa dan pemuda menjadi relevan sebagai garda moral bangsa. Sejarah Indonesia mencatat, sejak berdirinya Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga Reformasi 1998, mahasiswa dan pemuda selalu tampil sebagai kekuatan penyeimbang dalam politik nasional. Mereka bukan sekadar kelompok usia muda, melainkan agen moral yang mengartikulasikan kepentingan rakyat ketika institusi formal tersandera oligarki. Dalam perspektif teori gerakan sosial, mahasiswa dan pemuda adalah moral entrepreneurs yang memiliki kapasitas membentuk agenda publik melalui wacana, aksi kolektif, dan mobilisasi massa (Snow & Benford, 1988).
Menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai agenda prioritas gerakan mahasiswa dan pemuda bukan sekadar pilihan strategis, tetapi kelanjutan logis dari tradisi peran historis mereka. Jika mahasiswa pernah menentang penyelewengan kekuasaan Orde Lama dan menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru, maka dalam konteks kontemporer, mengawal RUU Perampasan Aset berarti melawan oligarki predatoris yang merampok kekayaan negara. Di sinilah letak kesinambungan sejarah gerakan pemuda: konsistensi dalam membela hak-hak rakyat dari segala bentuk perampasan.
Dalam kerangka dukungan terhadap political will Presiden Prabowo, mahasiswa tidak hanya perlu mengambil sikap kritis, tetapi juga radikal dalam memberikan dukungan moral ketika kebijakan pemerintah sejalan dengan amanah konstitusi. Pemikiran Antonio Gramsci tentang war of position relevan di sini: mahasiswa harus cerdas membaca momentum, menegaskan posisi mereka sebagai kekuatan tandingan oligarki, tetapi sekaligus memperkuat langkah pemerintah yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat (Gramsci, 1971). Sikap ini bukan kompromi politik, melainkan strategi untuk menjaga konsistensi peran mahasiswa dan pemuda sebagai agen transformasi sosial.
Mahasiswa juga perlu menempatkan diri sebagai jembatan penghubung antara suara rakyat, kepentingan lingkungan, dan integritas hukum. Kasus tambang ilegal tidak hanya menyangkut kerugian finansial negara, tetapi juga penderitaan masyarakat lokal, pencemaran ekologi, dan runtuhnya keadilan sosial. Dengan demikian, perjuangan mahasiswa mengawal RUU Perampasan Aset berarti sekaligus mengartikulasikan hak-hak konstitusional masyarakat atas lingkungan hidup yang baik, serta menegakkan prinsip Pasal 33 UUD 1945.
Sikap kritis mahasiswa terhadap penyelewengan pengelolaan negara memang wajib dipertahankan. Namun, jika pemerintah menunjukkan komitmen kuat untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat dan melawan oligarki predatoris, maka radikalisme mahasiswa harus diwujudkan dalam bentuk dukungan radikal. Artinya, mahasiswa tidak sekadar menentang, tetapi juga membela langkah progresif negara. Konsistensi sikap inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa dan pemuda benar-benar relevan dan "keren", karena setia pada nurani bangsa, bukan pada kepentingan sektoral.
Dalam perspektif teori politik demokratis, relasi kritis dan dukungan antara mahasiswa dan pemerintah merupakan bentuk critical collaboration. Pemerintah membutuhkan legitimasi moral untuk melawan oligarki, sementara mahasiswa dan pemuda membutuhkan saluran politik agar agenda moral mereka menjadi kebijakan negara (Habermas, 1996). Dengan sinergi ini, RUU Perampasan Aset tidak lagi hanya menjadi wacana teknis, tetapi berubah menjadi agenda politik nasional yang dipikul bersama oleh pemerintah dan masyarakat sipil.
Dengan demikian, political will Presiden Prabowo hanya akan bermakna jika didukung oleh gerakan moral mahasiswa dan pemuda. Sebaliknya, gerakan mahasiswa dan pemuda hanya akan efektif jika mampu membaca momentum dan mengarahkan energinya untuk mendukung agenda kebangsaan yang benar. Dalam konteks inilah, perampasan aset menjadi medan uji bagi keseriusan negara dan konsistensi gerakan mahasiswa dan pemuda. Bila kedua kekuatan ini bersatu, oligarki predatoris tambang yang selama ini kebal hukum dapat benar-benar dilumpuhkan, dan cita-cita keadilan sosial sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dapat diwujudkan.
Rekomendasi Kebijakan
Perdebatan panjang mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menunjukkan bahwa agenda ini bukan semata-mata persoalan teknis hukum, melainkan menyangkut politik hukum, keberanian politik, dan arah pembangunan nasional. Korupsi dan kejahatan ekonomi yang terorganisir telah menggerogoti basis fiskal negara, melemahkan legitimasi hukum, serta menurunkan kualitas demokrasi. Karena itu, rekomendasi kebijakan yang bersifat konkret, progresif, dan integratif harus segera ditempuh oleh pemerintah dan parlemen.
Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera mengesahkan RUU Perampasan Aset sebagai instrumen hukum positif yang dapat memperkuat kerja aparat penegak hukum dalam menutup defisit asset recovery. Penundaan pembahasan hanya memperpanjang kerugian negara dan menguntungkan para aktor koruptif. Secara normatif, RUU ini merepresentasikan perintah konstitusional dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, setiap aset hasil tindak pidana yang merugikan bangsa sejatinya adalah "aset publik" yang wajib dikembalikan kepada negara.
Kedua, apabila stagnasi politik di DPR kembali terjadi, opsi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden merupakan langkah darurat yang konstitusional. Perppu dapat menjadi jalan keluar untuk mengatasi kebuntuan legislasi akibat tarik-menarik kepentingan oligarki di parlemen. Sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa Perppu kerap digunakan untuk merespons keadaan mendesak, misalnya pada saat krisis ekonomi 1998 (Butt & Lindsey, 2018). Maka, dalam konteks perang melawan korupsi yang merugikan triliunan rupiah setiap tahun, Perppu tentang perampasan aset dapat dibenarkan secara hukum dan politik.
Ketiga, integrasi kebijakan perampasan aset dengan tata kelola lingkungan, tambang, dan pembangunan berkelanjutan merupakan keharusan. Sebagian besar kasus korupsi dan kejahatan ekonomi terhubung dengan sektor sumber daya alam: pertambangan ilegal, alih fungsi hutan, hingga pencucian uang lintas negara (Bachriadi & Lucas, 2001). Tanpa instrumen perampasan aset, keuntungan yang diperoleh dari praktik merusak lingkungan tetap beredar di tangan pelaku. Dengan integrasi ini, negara tidak hanya mengembalikan kerugian finansial, tetapi juga menegakkan keadilan ekologis yang menjadi pilar pembangunan berkelanjutan (Raworth, 2017).
Keempat, sinergi antarlembaga penegak hukum mutlak diperlukan. RUU Perampasan Aset tidak akan efektif tanpa koordinasi erat antara Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Keuangan, serta dukungan dari pengadilan. Dalam kerangka network governance, kolaborasi ini memungkinkan pertukaran data, pengawasan lintas sektor, dan percepatan eksekusi putusan penyitaan (Rhodes, 2007). Pengalaman internasional menunjukkan bahwa kerja sama antar-institusi adalah kunci sukses asset forfeiture.
Kelima, partisipasi masyarakat sipil perlu diperkuat. Transparansi dan akuntabilitas dalam praktik perampasan aset hanya mungkin terwujud jika ada ruang kontrol publik. Organisasi masyarakat sipil, akademisi, media massa, hingga komunitas lokal harus diberi akses terhadap informasi mengenai aset yang dirampas, mekanisme penggunaannya, dan distribusi hasilnya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip participatory governance yang menempatkan rakyat bukan sekadar objek, tetapi subjek dalam tata kelola negara (Fung & Wright, 2003).
Keenam, pemerintah harus menyiapkan skema pemanfaatan aset rampasan yang produktif dan berkeadilan sosial. Tanpa desain yang jelas, aset rampasan berpotensi menjadi beban baru atau bahkan kembali disalahgunakan. Sebaliknya, jika dikelola dengan baik, aset rampasan dapat dikonversi menjadi dana pembangunan desa, pembiayaan pendidikan, subsidi kesehatan, atau program reforma agraria. Dengan demikian, perampasan aset tidak sekadar menutup kerugian negara, tetapi juga menguatkan legitimasi negara di mata rakyat melalui kehadiran manfaat langsung.
Ketujuh, RUU ini harus memuat perlindungan hak asasi manusia. Prinsip due process of law dan non-retroactivity tetap dijunjung tinggi agar perampasan aset tidak dijadikan alat represif terhadap oposisi politik. Dengan mekanisme pembuktian terbalik terbatas dan pengawasan peradilan yang ketat, RUU ini dapat menyeimbangkan efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak individu.
Dengan strategi kebijakan yang terintegrasi ini, perampasan aset dapat diposisikan bukan sekadar sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai instrumen politik kesejahteraan dan kedaulatan bangsa. Pada akhirnya, keberanian politik untuk mengesahkan dan mengimplementasikan RUU Perampasan Aset akan menjadi batu ujian komitmen Indonesia dalam membangun tata kelola negara yang bersih, berkeadilan, dan berdaulat.
Penutup
Kasus dugaan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun akibat praktik tambang timah ilegal di Bangka Belitung adalah potret telanjang dari paradoks pembangunan dan tata kelola hukum di Indonesia. Skandal ini bukan sekadar peristiwa kriminal biasa, melainkan tragedi politik hukum yang memperlihatkan lemahnya negara dalam melindungi sumber daya alam dan hak-hak rakyat. Jika dibiarkan, fenomena seperti ini akan menjadi preseden buruk yang menandakan bahwa mafia ekonomi mampu melumpuhkan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, urgensi RUU Perampasan Aset harus dibaca dalam konteks momentum sejarah: saatnya Indonesia menegaskan bahwa hukum lebih berdaulat dibanding modal.
Dalam perspektif teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, hukum sejatinya adalah instrumen untuk menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar prosedur formal (Rahardjo, 2006). Dengan kacamata ini, perampasan aset bukan hanya mekanisme teknis yuridis, melainkan senjata negara untuk menundukkan mafia ekonomi yang merampok kekayaan rakyat. Tanpa perangkat hukum yang kuat, korupsi dan kejahatan terorganisir akan selalu lebih cepat daripada langkah penegakan hukum.
Pertaruhan serius kini berada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Jika ia benar-benar menempatkan diri sebagai pemimpin rakyat, maka keberanian untuk menabrak kepentingan oligarki menjadi syarat mutlak. Sebaliknya, jika pemerintah kembali tunduk pada lobi elite ekonomi, maka janji-janji tentang kedaulatan bangsa hanya akan menjadi retorika kosong. Teori politik hukum menegaskan bahwa hukum tidak pernah netral; ia adalah hasil tarik-menarik kekuatan sosial dan ekonomi (Nonet & Selznick, 2001). Karena itu, RUU Perampasan Aset akan menjadi ujian: apakah hukum berdiri di sisi rakyat atau justru menjadi alat legitimasi oligarki.
Lebih jauh, skandal Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal menunjukkan bahwa persoalan korupsi dan kejahatan ekonomi bukan hanya soal kehilangan uang negara, tetapi juga soal kehancuran lingkungan dan masa depan generasi. Perampasan aset harus dipandang sebagai langkah simultan dalam menegakkan keadilan sosial dan ekologis. Jika hasil rampasan tidak dikembalikan dalam bentuk manfaat publik, seperti rehabilitasi lingkungan, pendidikan, dan kesehatan, maka negara hanya mengganti satu bentuk ketidakadilan dengan ketidakadilan baru (Raworth, 2017).
Dalam konteks ini, peran mahasiswa dan pemuda menjadi krusial. Mereka bukan sekadar agen moral, tetapi juga pengawal konstitusi yang memastikan bahwa hukum berjalan sesuai amanat UUD 1945. Gerakan mahasiswa sejak 1966 hingga Reformasi 1998 selalu membuktikan bahwa perubahan besar tidak lahir dari elite semata, tetapi juga dari tekanan publik yang kritis (Aspinall, 2005). Tugas generasi muda kini adalah memastikan bahwa perampasan aset benar-benar menjadi agenda nasional, bukan sekadar slogan politik untuk meredam kemarahan publik.
Keterlibatan mahasiswa dan pemuda dalam mengawal kebijakan ini dapat dilihat melalui tiga level. Pertama, kontrol wacana publik, dengan menghadirkan narasi kritis melalui diskusi, media sosial, dan kampanye literasi hukum. Kedua, kontrol politik, dengan mengawasi legislasi di DPR dan sikap pemerintah, agar tidak mudah tunduk pada lobi oligarki. Ketiga, kontrol moral, dengan menjaga idealisme agar agenda perampasan aset tidak terkooptasi menjadi sekadar proyek teknokratis yang kehilangan jiwa keadilan.
Pada akhirnya, RUU Perampasan Aset harus dipahami sebagai political weapon untuk membalik logika kekuasaan: dari negara yang dikendalikan mafia menjadi negara yang mengendalikan mafia. Momentum Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal harus dijadikan alarm nasional bahwa menunda lahirnya regulasi ini sama artinya dengan membiarkan bangsa ini terus dirampok di depan mata.
Dengan demikian, pilihan di depan pemerintah---terutama Presiden Prabowo---sangat jelas: berpihak pada rakyat atau tunduk pada oligarki. Tidak ada ruang abu-abu. Sejarah akan mencatat apakah ia berani mengambil langkah radikal untuk memutus rantai ekonomi rente, atau sekadar menambah daftar panjang pemimpin yang gagal melawan korupsi struktural.
--------------------
Referensi:
- Aspinall, E., & van Klinken, G. (Eds.). (2011). The State and Illegality in Indonesia. KITLV
- Asshiddiqie, J. (2011). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
- Bachriadi, D., & Lucas, A. (2001). Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Bandung: KPA.
- Bantekas, I. (2018). International and European Financial Criminal Law. Cambridge: Cambridge University Press.
- Bryant, R., & Bailey, S. (1997). Third World Political Ecology. Routledge.
- Butt, S., & Lindsey, T. (2018). Indonesian Law. Oxford: Oxford University Press.
- Cassella, S. D. (2013). Asset Forfeiture Law in the United States. Juris Publishing.
- Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Fuller, L. (1969). The Morality of Law. Yale University Press.
- Fung, A., & Wright, E. O. (2003). Deepening Democracy: Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance. London: Verso.
- Galtung, J. (1969). Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research, 6(3), 167--191.
- Greenpeace. (2019). Timah: Catatan Hitam Industri Hijau. Greenpeace Southeast Asia.
- Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.
- Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge: MIT Press.
- Harvey, D. (2005). The New Imperialism. Oxford University Press.
- Hellman, J. S., Jones, G., & Kaufmann, D. (2000). Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition. World Bank Policy Research Working Paper No. 2444.
- Hadiz, V., & Robison, R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.
- ICW. (2021). Laporan Kinerja Penegakan Hukum Pertambangan Ilegal di Indonesia. Indonesia Corruption Watch.
- ICW. (2021). Tren Penindakan Kasus Korupsi 2021. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
- Muladi. (2002). Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Habibie Center.
- Mol, A. P. J., & Spaargaren, G. (2000). Ecological Modernisation Theory in Debate: A Review. Environmental Politics, 9(1), 17--49.
- Naylor, R. T. (2002). Wages of Crime: Black Markets, Illegal Finance, and the Underworld Economy. Cornell University Press.
- Pitana, I. (2019). "Problematika Penegakan Hukum Minerba di Indonesia." Jurnal Hukum dan Pembangunan, 49(1), 77--95.
- Posner, R. (2007). Economic Analysis of Law. Aspen Publishers.
- Raworth, K. (2017). Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. London: Random House.
- Rhodes, R. A. W. (2007). Understanding Governance: Policy Networks, Governance, Reflexivity and Accountability. Maidenhead: Open University Press.
- Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
- Robison, R., & Hadiz, V. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.
- Ross, M. L. (2012). The Oil Curse: How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations. Princeton University Press.
- Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.
- Snow, D. A., & Benford, R. D. (1988). "Ideology, Frame Resonance, and Participant Mobilization." International Social Movement Research, 1, 197--217.
- Situmorang, M. (2020). Hukum Perampasan Aset dan HAM: Perspektif Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
- Tamanaha, B. (2004). On the Rule of Law: History, Politics, Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
- UNODC. (2012). Asset Recovery Handbook: A Guide for Practitioners. Washington: World Bank.
- Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press.
- Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press.
- Zulfa, E. A. (2011). "Asset Recovery dalam Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 18(2), 235--256.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI