Kebutuhan mendesak akan RUU Perampasan Aset berkaitan erat dengan defisit asset recovery di Indonesia. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tingkat pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi masih sangat rendah, jauh di bawah nilai kerugian yang ditimbulkan (ICW, 2021). Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun penegakan hukum berjalan, negara tetap mengalami kehilangan besar. Dalam perspektif hukum ekonomi, situasi ini mencerminkan law enforcement failure, yakni ketidakmampuan instrumen hukum positif untuk mencapai tujuan pemulihan (Posner, 2007).
RUU Perampasan Aset sejalan dengan amanah konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika kekayaan alam dieksploitasi secara ilegal oleh mafia tambang dan hasilnya tidak bisa dirampas untuk dikembalikan kepada rakyat, maka amanah konstitusi telah dikhianati. Lebih jauh, Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang jelas dilanggar oleh praktik tambang ilegal yang merusak ekosistem. Dengan demikian, perampasan aset bukan hanya instrumen teknokratis, melainkan bagian dari pemenuhan hak-hak dasar konstitusional rakyat.
Secara internasional, mekanisme perampasan aset telah menjadi standar praktik dalam melawan kejahatan transnasional. Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention against Corruption/UNCAC) 2003 mendorong negara-negara anggotanya untuk mengadopsi mekanisme perampasan aset, termasuk melalui jalur NCB. Negara-negara seperti Inggris melalui Proceeds of Crime Act 2002 dan Amerika Serikat melalui berbagai peraturan federal, telah membuktikan bahwa NCB mampu memperkuat efektivitas asset recovery (UNODC, 2012). Dengan bergabungnya Indonesia dalam UNCAC, terdapat kewajiban moral dan hukum untuk mengadopsi praktik serupa.
Praktik internasional juga menunjukkan bahwa NCB tidak berarti mengabaikan asas due process of law. Justru, mekanisme ini sering kali dilengkapi dengan prosedur hukum yang ketat, seperti pembuktian terbalik terbatas, transparansi proses pengadilan, dan perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik. Artinya, RUU Perampasan Aset tidak akan menjadi ancaman terhadap hak asasi, melainkan instrumen untuk melindungi kepentingan publik dari perampasan sumber daya oleh oligarki kriminal (Bantekas, 2018).
Dalam konteks Indonesia, urgensi RUU ini menjadi semakin nyata karena kejahatan ekonomi seperti mafia tambang sering kali beroperasi dalam jejaring oligarkis yang kebal hukum. Jeffrey Winters (2011) menekankan bahwa oligarki di Indonesia mempertahankan kekuasaannya melalui penguasaan sumber daya dan proteksi hukum. Tanpa instrumen perampasan aset, oligarki akan terus bertahan karena biaya pelanggaran hukum lebih kecil dibandingkan keuntungan yang mereka raih.
Lebih jauh, perampasan aset memiliki dimensi keadilan sosial dan lingkungan. Kerugian negara akibat tambang ilegal bukan hanya soal hilangnya pendapatan, tetapi juga menyangkut rusaknya tanah, air, dan hutan yang menjadi ruang hidup masyarakat lokal. Menurut perspektif ekologi politik (Bryant & Bailey, 1997), perampasan aset dapat dibaca sebagai strategi negara untuk mengoreksi ketidakadilan struktural akibat dominasi kapital atas sumber daya. Dengan kata lain, dana hasil perampasan aset harus dialokasikan kembali bagi pemulihan lingkungan, pemberdayaan masyarakat desa, dan pembangunan berkeadilan.
RUU Perampasan Aset juga dapat dilihat sebagai bagian dari upaya mengembalikan kedaulatan negara atas sumber daya alam. Dalam teori kedaulatan rakyat, negara dibentuk untuk menjamin kepentingan bersama. Jika negara tidak mampu melindungi kekayaan alamnya dari perampasan ilegal, maka legitimasi kedaulatan itu dipertanyakan. Oleh sebab itu, instrumen hukum baru ini bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan strategis nasional.
Akhirnya, urgensi RUU Perampasan Aset tidak hanya terletak pada aspek teknis hukum, tetapi juga pada aspek politik dan moral. Politik hukum pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus membaca momen penyitaan 6 smelter ilegal sebagai critical juncture untuk membuktikan komitmen terhadap penegakan hukum dan perlindungan kepentingan rakyat. Sementara, secara politik kebangsaan dan moral, gerakan mahasiswa dan pemuda sebagai agen moral bangsa harus menjadikan isu ini agenda strategis perjuangan, sebagaimana tradisi panjang mereka dalam mengawal demokrasi dan keadilan di republik ini.
Political Will Presiden Prabowo, Tantangan Oligarki, dan Peran Gerakan Pemuda
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Pangkalpinang, bahwa penegakan hukum terhadap tambang ilegal harus berjalan "tanpa pandang bulu", merupakan sinyal politik yang tegas tentang arah pemerintahan dalam menghadapi oligarki predatoris sumber daya. Political will ini penting karena dalam literatur politik hukum, komitmen eksekutif menjadi faktor determinan bagi keberhasilan agenda reformasi hukum (Tamanaha, 2004). Namun, sejarah Indonesia menunjukkan bahwa keberanian politik kerap terhalang oleh resistensi dari aktor-aktor oligarkis yang memiliki kekuatan ekonomi sekaligus politik.
Tantangan terbesar implementasi agenda perampasan aset adalah resistensi oligarki predatoris tambang yang telah lama bercokol dalam jaringan politik formal maupun informal. Winters (2011) menekankan bahwa oligarki di Indonesia beroperasi melalui wealth defense, yaitu mekanisme perlindungan kekayaan melalui aliansi dengan elite politik, regulasi yang timpang, hingga kooptasi aparat hukum. Dalam konteks RUU Perampasan Aset, oligarki akan berusaha memperlambat, melemahkan, atau bahkan menggagalkan pembahasan di parlemen karena undang-undang ini langsung mengancam basis kekuasaan mereka.
Di tengah resistensi tersebut, peran gerakan mahasiswa dan pemuda menjadi relevan sebagai garda moral bangsa. Sejarah Indonesia mencatat, sejak berdirinya Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga Reformasi 1998, mahasiswa dan pemuda selalu tampil sebagai kekuatan penyeimbang dalam politik nasional. Mereka bukan sekadar kelompok usia muda, melainkan agen moral yang mengartikulasikan kepentingan rakyat ketika institusi formal tersandera oligarki. Dalam perspektif teori gerakan sosial, mahasiswa dan pemuda adalah moral entrepreneurs yang memiliki kapasitas membentuk agenda publik melalui wacana, aksi kolektif, dan mobilisasi massa (Snow & Benford, 1988).