Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rp 300 Triliun Hilang, Saatnya UU Perampasan Aset Jadi Senjata Negara

7 Oktober 2025   19:51 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh karena itu, kerugian Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal bukan hanya skandal ekonomi, melainkan panggilan sejarah. Pertanyaan kritisnya: apakah pemerintah dan DPR siap menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai senjata negara untuk melawan mafia tambang dan oligarki ekonomi, ataukah kita akan kembali menyaksikan kebuntuan politik yang merugikan rakyat?

Skandal Tambang Ilegal dan Kerugian Negara

Fenomena tambang timah ilegal di Bangka Belitung merepresentasikan wajah buram tata kelola sumber daya alam Indonesia. Pulau Bangka dan Belitung, yang dikenal sebagai salah satu produsen timah terbesar dunia, justru menjadi locus utama praktik pertambangan ilegal. Menurut riset JATAM (2022), operasi tambang ilegal di kawasan ini melibatkan jaringan yang kompleks: mulai dari penambang kecil, perusahaan smelter, aparat birokrasi, hingga jejaring politik lokal dan nasional. Pola ini persis dengan konsep "mafia resource politics" di mana aktor-aktor formal dan informal membangun simbiosis untuk mempertahankan rente ekonomi (Aspinall & van Klinken, 2011).

Kerugian finansial dari praktik tambang ilegal tidak sekadar hilangnya penerimaan negara dalam bentuk pajak dan royalti, melainkan juga menimbulkan defisit fiskal jangka panjang. Angka Rp 300 triliun yang diungkapkan Presiden Prabowo adalah simbol dari masifnya kebocoran negara akibat eksploitasi ilegal. Dalam perspektif ekonomi politik, hal ini mencerminkan gejala resource curse atau kutukan sumber daya, di mana kekayaan alam justru menghasilkan kerentanan politik dan ekonomi akibat tata kelola yang buruk (Ross, 2012). Tanpa regulasi tegas seperti perampasan aset, negara akan terus menjadi pihak yang kalah dalam pertarungan dengan oligarki.

Lebih jauh, kerugian negara dari tambang ilegal sesungguhnya bersifat multidimensional. Jika ditarik ke ranah ekologis, maka kerusakan yang ditimbulkan tambang timah ilegal jauh lebih dahsyat dibanding kerugian finansial. Penelitian Greenpeace (2019) menunjukkan bahwa aktivitas tambang timah ilegal di Bangka Belitung telah mengakibatkan hilangnya ribuan hektar hutan, pencemaran laut, dan kerusakan terumbu karang. Dari perspektif teori ecological modernization, situasi ini menandakan kegagalan negara dan pelaku usaha untuk mengintegrasikan standar lingkungan ke dalam praktik produksi (Mol & Spaargaren, 2000). Alih-alih modernisasi, yang terjadi adalah degradasi ekologi yang mengorbankan keberlanjutan.

Kerusakan ekologis ini berimplikasi langsung pada hilangnya ruang hidup masyarakat lokal. Nelayan kehilangan daerah tangkapan ikan karena laut tercemar lumpur tambang, sementara petani kehilangan lahan subur akibat pengerukan tanah. Hal ini menegaskan pandangan Schlosberg (2007) tentang environmental justice yang mencakup distribusi adil terhadap manfaat dan beban lingkungan. Dalam konteks Bangka Belitung, masyarakat lokal justru menanggung beban kerusakan, sementara keuntungan dikapitalisasi oleh segelintir elit ekonomi.

Dimensi sosial dari tambang ilegal juga tidak kalah serius. Para buruh tambang, terutama penambang rakyat yang bekerja tanpa perlindungan hukum maupun kesehatan, menjadi kelompok yang paling rentan. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi berbahaya, tanpa standar keselamatan, dan terjebak dalam siklus kemiskinan struktural. Fenomena ini sesuai dengan konsep structural violence (Galtung, 1969), yakni bentuk kekerasan yang muncul bukan dari tindakan langsung, melainkan dari struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil. Negara yang gagal mengatur pertambangan secara legal sesungguhnya turut berkontribusi dalam melanggengkan kekerasan struktural ini.

Tambang ilegal juga memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi di daerah penghasil. Rente ekonomi yang seharusnya dikelola untuk pembangunan lokal lebih banyak mengalir ke luar daerah, bahkan keluar negeri. Hal ini selaras dengan kritik Harvey (2005) tentang accumulation by dispossession, di mana kelompok kaya dan berkuasa mengakumulasi kekayaan dengan merampas sumber daya dari masyarakat miskin. Bangka Belitung adalah contoh nyata bagaimana masyarakat lokal hanya menjadi penonton, sementara hasil bumi mereka dikeruk oleh jaringan mafia tambang.

Dari sisi tata kelola, pola mafia tambang menunjukkan adanya kolusi antara aktor ilegal dengan sebagian aparat dan elite politik. Laporan ICW (2021) menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap tambang ilegal sering tebang pilih, bahkan berhenti di level "kambing hitam" penambang kecil, sementara pemodal besar nyaris tak tersentuh. Fenomena ini memperlihatkan wajah nyata state capture, di mana kebijakan publik dan penegakan hukum disandera oleh kepentingan privat (Hellman dkk., 2000).

Namun, meski situasi terlihat suram, momentum politik hukum yang dimulai dari penyitaan enam smelter di Bangka Belitung bisa menjadi titik balik. Dengan basis regulasi yang kuat berupa RUU Perampasan Aset, negara memiliki instrumen untuk menjerat aktor utama mafia tambang, bukan hanya "ekor-ekor" kecilnya. Artinya, penyelamatan aset harus dipahami bukan semata-mata untuk mengembalikan kerugian finansial, tetapi juga sebagai langkah pemulihan ekologi dan keadilan sosial.

Secara solutif, integrasi antara penegakan hukum pidana, hukum lingkungan, dan perampasan aset menjadi kunci. Pertama, aparat penegak hukum harus konsisten menargetkan pemodal besar, bukan hanya pekerja tambang kecil. Kedua, aset yang disita harus dikelola secara transparan oleh negara, misalnya melalui Badan Lelang Negara atau diserahkan untuk program pemulihan lingkungan. Ketiga, masyarakat lokal, termasuk nelayan dan petani, harus dilibatkan dalam perencanaan pemanfaatan kembali aset tersebut, sehingga ada keadilan restoratif.

Dengan demikian, skandal tambang timah ilegal di Bangka Belitung bukan sekadar kriminalitas ekonomi, tetapi juga cermin kegagalan struktural dalam tata kelola sumber daya alam. Kerugian finansial Rp 300 triliun hanyalah puncak gunung es dari kerugian ekologis dan sosial yang jauh lebih besar. Tanpa RUU Perampasan Aset, negara hanya akan terus "memadamkan api di permukaan" tanpa pernah menyelesaikan akar masalah.

Kelemahan Kerangka Hukum Saat Ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun