Benang merahnya, demonstrasi 2025 memperlihatkan dinamika baru dalam hubungan antara massa, elite, dan negara. Massa hadir sebagai kekuatan ganda: otentik sekaligus dimanipulasi. Elite rente berusaha mempertahankan privilese dengan mengorbankan stabilitas. Negara, dengan legitimasi yang relatif tinggi, menghadapi dilema strategis dalam menjaga stabilitas tanpa mencederai demokrasi. Sejarah memberi pelajaran bahwa keberhasilan negara terletak pada kemampuannya mengelola krisis legitimasi secara adil, transparan, dan partisipatif.
Dengan demikian, demonstrasi hari ini seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ancaman, tetapi juga sebagai cermin politik: sejauh mana negara mampu menyeimbangkan aspirasi rakyat dengan agenda reformasi, serta sejauh mana elite dapat dikendalikan agar tidak lagi membajak demokrasi demi kepentingan rente.
Analisis Perbandingan: Massa, Elite, dan Negara
Jika ditarik garis historis, dinamika demonstrasi di Indonesia sejak 1965 hingga 2025 memperlihatkan pola yang konsisten sekaligus berubah. Konsistensinya terletak pada tiga aktor utama---massa, elite, dan negara---yang selalu hadir dalam setiap pergulatan politik besar. Perubahannya terletak pada konfigurasi peran masing-masing aktor dalam konteks zaman yang berbeda.
Pada tahun 1965, massa lebih banyak berperan sebagai objek mobilisasi elite politik. PKI, TNI, maupun kelompok agama menggunakan demonstrasi, pawai, dan aksi massa sebagai instrumen tekanan politik. Aspirasi rakyat nyaris tidak berdiri sendiri; ia selalu dikaitkan dengan pertarungan ideologi global dalam kerangka Perang Dingin. Negara, dalam hal ini Orde Lama, gagal menjaga netralitas, sehingga kekacauan sosial menjadi legitimasi bagi penggunaan kekerasan politik yang brutal. Hasil akhirnya, massa justru dikorbankan dalam konflik elite, sementara negara tampil sebagai aktor represif.
Situasi berbeda terjadi pada 1998. Massa menjadi motor perubahan yang lahir dari krisis ekonomi dan kekecewaan terhadap otoritarianisme Orde Baru. Mahasiswa dan rakyat miskin kota bergerak bukan karena mobilisasi elite, tetapi karena kebutuhan mendesak: harga melambung, kemiskinan meningkat, dan korupsi merajalela. Meski demikian, peran elite tetap menentukan arah perubahan. Ketika sebagian elite reformis memberi dukungan moral, sementara elite pendukung Soeharto mulai pecah, negara kehilangan pijakan legitimasi. Represi yang dilakukan---seperti penembakan Trisakti dan tragedi Semanggi---justru mempercepat keruntuhan. Dengan kata lain, legitimasi negara runtuh ketika massa tak terbendung dan elite tidak lagi solid.
Tahun 2025 memperlihatkan pola hibrid. Massa di jalanan kini campuran antara aspirasi tulus rakyat dengan mobilisasi elite rente. Aspirasi tulus muncul dari keresahan nyata terhadap harga dan keadilan sosial, sementara infiltrasi elite rente muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap agenda antikorupsi pemerintah. Negara, berbeda dari dua periode sebelumnya, relatif masih memiliki legitimasi yang cukup tinggi berdasarkan survei opini publik. Namun, legitimasi itu diuji ketika demonstrasi disusupi kekerasan, penjarahan, dan provokasi yang berpotensi merusak simpati rakyat. Dilema negara adalah bagaimana menindak provokator tanpa mengorbankan citra demokratis dan tanpa kehilangan dukungan massa yang sah.
Analisis perbandingan ini memperlihatkan bahwa elite selalu menjadi faktor penentu hasil akhir dari setiap demonstrasi besar di Indonesia. Pada 1965, elite politik yang bertarung dalam kerangka Perang Dingin menyeret massa dalam kekerasan. Pada 1998, perpecahan elite memungkinkan massa menjadi motor perubahan yang sukses menumbangkan rezim. Pada 2025, elite rente mencoba membajak aspirasi rakyat untuk mempertahankan privilese, meski negara berusaha tetap berdiri di sisi legitimasi reformasi.
Dengan demikian, maka dapat dirumuskan benang merahnya: massa memberikan tekanan legitimasi, elite menentukan arah perubahan, dan negara mengelola dilema antara stabilitas dan keadilan. Demonstrasi tidak pernah murni sekadar ekspresi spontan rakyat, melainkan selalu bagian dari interaksi dinamis ketiga aktor ini.
Pertanyaan kritisnya adalah: apakah demokrasi Indonesia dapat berkembang tanpa terus-menerus dikendalikan oleh logika elite? Sejarah menunjukkan bahwa ketika aspirasi rakyat benar-benar berdaulat---seperti pada 1998---perubahan besar bisa terjadi. Namun, ketika massa hanya dijadikan instrumen elite, yang lahir adalah represi dan kekacauan, seperti pada 1965 dan sebagian demonstrasi 2025.
Solusi ke depan adalah memperkuat institusionalisasi partisipasi rakyat melalui mekanisme demokratis yang lebih transparan dan inklusif. Dengan demikian, massa tidak sekadar menjadi instrumen tekanan jalanan, tetapi juga memiliki kanal legal-formal untuk memengaruhi kebijakan publik. Negara, dalam konteks ini, harus membedakan dengan jelas antara aspirasi sah dan manipulasi elite rente. Jika hal ini tercapai, maka demonstrasi tidak lagi sekadar cermin krisis legitimasi, melainkan sarana perbaikan demokrasi yang berkelanjutan.
Pelajaran dan Jalan ke Depan
Demonstrasi, pada hakikatnya, merupakan barometer kesehatan demokrasi. Ia menjadi cermin sejauh mana negara bersedia mendengar denyut nadi rakyat, sekaligus menguji kemampuan masyarakat sipil dalam menyalurkan aspirasi secara konstruktif. Negara yang alergi terhadap demonstrasi sesungguhnya sedang menutup pintu bagi kritik, padahal kritik adalah vitamin yang menjaga demokrasi tetap hidup. Sebaliknya, demonstrasi yang terjerumus ke dalam kekerasan atau manipulasi elite rente justru merusak kepercayaan publik dan mengaburkan agenda substantif rakyat.