Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Networking South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Massa, Elite, dan Negara: Menelusuri Jejak Demonstrasi dari G30S 1965, Reformasi, hingga Aksi 2025

1 September 2025   17:24 Diperbarui: 1 September 2025   17:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Sejarah politik Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari fenomena demonstrasi. Sejak awal kemerdekaan hingga hari ini, demonstrasi selalu hadir bukan sekadar sebagai ekspresi spontan rakyat yang menuntut perubahan, melainkan sebagai cermin dari krisis legitimasi kekuasaan. Dalam banyak momentum penting, demonstrasi memperlihatkan bagaimana hubungan antara massa, elite, dan negara berada dalam ketegangan yang menentukan arah perjalanan bangsa.

Di satu sisi, massa tampil sebagai aktor penting yang menyalurkan keresahan sosial-ekonomi maupun politik. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa massa kerap dijadikan instrumen mobilisasi elite, baik untuk memperkuat posisi politik tertentu maupun untuk melemahkan lawan. Di sinilah paradoks itu terletak: suara rakyat yang sejatinya autentik sering kali dibajak oleh kepentingan elite.

Negara, pada saat yang sama, selalu berada dalam posisi dilematis. Sebagai pemegang kekuasaan, ia dituntut menjaga stabilitas dan mempertahankan legitimasi. Namun, respon negara terhadap demonstrasi kerap menentukan apakah krisis mereda atau justru semakin membesar. Ketika negara memilih jalur represif, ia berisiko kehilangan legitimasi moral di hadapan rakyat; ketika negara terlalu permisif, ia membuka ruang bagi anarki yang dapat merusak tatanan politik.

Dimensi global turut memberi warna dalam setiap fase sejarah demonstrasi di Indonesia. Pada tahun 1965, misalnya, demonstrasi massa tidak bisa dipisahkan dari konteks Perang Dingin, ketika ideologi komunisme, nasionalisme, dan kapitalisme saling bertarung memperebutkan ruang politik dunia. Indonesia menjadi salah satu ajang perebutan pengaruh, dan massa di jalanan menjadi simbol sekaligus korban dari pertarungan ideologis tersebut.

Dua dekade kemudian, pada 1998, demonstrasi mahasiswa dan rakyat miskin kota terjadi dalam arus besar demokratisasi global pasca-Perang Dingin. Runtuhnya rezim otoriter di berbagai belahan dunia, dari Eropa Timur hingga Asia, ikut memberi resonansi kuat pada gerakan rakyat Indonesia. Krisis ekonomi yang menghantam Asia Tenggara mempercepat runtuhnya legitimasi Orde Baru, sementara tuntutan demokratisasi menemukan momentumnya melalui kekuatan massa.

Kini, pada 2025, demonstrasi kembali mewarnai panggung politik nasional. Namun konteks global sudah berbeda: dunia berada dalam pusaran ketidakpastian akibat rivalitas geopolitik baru, resesi ekonomi global yang membayangi, serta transformasi teknologi yang mengubah lanskap komunikasi politik. Indonesia berada dalam fase transisi politik pasca-Reformasi, di mana pemerintah yang baru terpilih dengan legitimasi kuat berusaha menata ulang tata kelola negara, termasuk agenda pemberantasan korupsi dan kebocoran anggaran. Di sisi lain, elite status quo yang terancam kehilangan privilese berupaya menunggangi keresahan sosial untuk melemahkan legitimasi pemerintahan.

Pertanyaan mendasar pun mengemuka: apakah demonstrasi dalam sejarah Indonesia selalu mencerminkan aspirasi rakyat yang murni menuju perubahan demokratis? Ataukah ia justru lebih sering menjadi arena pertarungan elite yang menunggangi kegelisahan masyarakat demi kepentingan politik jangka pendek?

1965: G30S dan Mobilisasi Massa dalam Pertarungan Ideologi

Demonstrasi pada tahun 1965 tidak bisa dilepaskan dari konteks pertarungan ideologi global yang kala itu membelah dunia ke dalam dua kutub: blok kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat dan blok komunis yang dipimpin Uni Soviet serta RRT. Indonesia, sebagai negara baru yang tengah mencari jati diri politiknya, terjebak dalam tarik-menarik dua kekuatan besar tersebut. Presiden Soekarno dengan konsepsi Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) berusaha meramu sintesis politik, namun di lapangan, sintesis ini lebih sering melahirkan konflik terbuka daripada harmoni.

Dalam konteks ini, massa tidak hadir sebagai kekuatan otonom dengan agenda kolektif yang jelas. Sebaliknya, mereka dimobilisasi oleh elite politik untuk kepentingan ideologis. PKI dengan jutaan anggotanya mengorganisir demonstrasi, pawai, dan aksi massa untuk menekan lawan-lawan politiknya, khususnya kelompok agama dan militer. Di sisi lain, kelompok Islam juga memobilisasi pengikutnya melalui organisasi keagamaan untuk menandingi dominasi komunis. TNI, khususnya Angkatan Darat, memanfaatkan momen tertentu untuk menggalang dukungan rakyat, terutama pasca meletusnya peristiwa 30 September. Dengan demikian, massa lebih berfungsi sebagai "mesin legitimasi" daripada subjek politik yang bebas.

Demonstrasi pada masa itu pun sering kali bernuansa simbolik. Pawai raksasa, rapat akbar, hingga aksi turun ke jalan dipentaskan untuk menunjukkan kekuatan masing-masing kubu. Namun, substansi aspirasi rakyat yang sesungguhnya---misalnya terkait kesulitan ekonomi, kelangkaan pangan, dan inflasi yang mencapai ratusan persen---sering tersisihkan di balik retorika ideologis. Massa dihadapkan pada pilihan biner: ikut arus mobilisasi salah satu kubu atau terpinggirkan dalam hiruk-pikuk politik nasional.

Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya posisi rakyat dalam lanskap politik 1965. Mereka seolah menjadi "panggung" bagi elite untuk mempertontonkan kekuasaan, tetapi jarang diberi ruang untuk mengekspresikan kepentingan riil mereka. Aksi massa lebih sering dimanipulasi untuk kepentingan elite ketimbang dijadikan instrumen perubahan sosial yang otentik. Akibatnya, rakyat rentan menjadi korban ketika konflik ideologi meletus menjadi kekerasan terbuka.

Isu krusial dalam periode ini adalah bagaimana rakyat dikorbankan dalam pertarungan ideologi global. Peristiwa G30S dan dampak setelahnya memperlihatkan bagaimana massa dijadikan alat justifikasi untuk kekerasan negara. Setelah 1 Oktober 1965, narasi "penyelamatan bangsa" digunakan untuk membenarkan operasi militer dan tindakan represif terhadap mereka yang dianggap terkait dengan PKI. Padahal, banyak korban berasal dari masyarakat desa biasa yang tidak sepenuhnya memahami pertarungan ideologis di pusat. Tragedi kemanusiaan yang menelan ratusan ribu jiwa menunjukkan bahwa ketika negara gagal menjaga netralitas, kekacauan justru berubah menjadi legitimasi kekerasan.

Maka dapat disimpulkan bahwa kegagalan negara menjaga keseimbangan antara massa, elite, dan stabilitas politik menjadi pemicu utama tragedi 1965. Negara tidak hadir sebagai penengah yang adil, melainkan terjebak dalam polarisasi politik yang mematikan. Ketika elite saling menginstrumentalisasi massa, negara seharusnya bisa menjadi "penjaga pagar" agar konflik ideologis tidak berujung pada pertumpahan darah. Namun kenyataannya, negara justru memilih berpihak dan menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar.

Dari perspektif kritis, demonstrasi tahun 1965 memperlihatkan keterbatasan demokrasi formal di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Demokrasi yang seharusnya menjadi arena artikulasi aspirasi rakyat justru berubah menjadi alat mobilisasi politik. Keadaan ini mengingatkan kita bahwa tanpa pendidikan politik yang kuat dan ruang publik yang sehat, massa akan selalu rentan dimanipulasi. Demokrasi tidak bisa bertahan hanya dengan prosedur, melainkan membutuhkan basis kesadaran rakyat yang kritis dan otonom.

Solusi yang bisa dipetik dari pengalaman 1965 adalah pentingnya membangun demokrasi partisipatif yang memungkinkan massa hadir sebagai subjek, bukan objek politik. Negara harus memperkuat institusi yang mampu melindungi aspirasi rakyat dari manipulasi elite, sekaligus menciptakan ruang dialog yang sehat antara negara, masyarakat sipil, dan kekuatan politik. Dengan cara itu, demonstrasi dapat difungsikan sebagai kanal koreksi yang konstruktif, bukan sebagai panggung mobilisasi ideologis yang berujung pada tragedi.

Dalam benang merahnya, peristiwa 1965 memberi pelajaran berharga: ketika negara gagal menjaga netralitas dan massa dibiarkan menjadi alat elite, demonstrasi akan kehilangan makna sebagai ekspresi rakyat dan justru berubah menjadi legitimasi kekerasan negara. Tragedi ini menjadi cermin sejarah bahwa demokrasi yang rapuh akan selalu membuka peluang bagi manipulasi elite dan tragedi kemanusiaan.

1998: Reformasi, Ledakan Massa, dan Runtuhnya Orde Baru

Demonstrasi besar-besaran pada tahun 1998 merupakan titik balik dalam sejarah politik Indonesia. Tidak seperti 1965, ketika massa lebih banyak dimobilisasi oleh elite dalam kerangka pertarungan ideologi global, gerakan Reformasi 1998 justru lahir dari krisis ekonomi yang menghantam langsung kehidupan rakyat. Krisis moneter Asia 1997 membuat nilai rupiah jatuh bebas, inflasi melambung, dan harga kebutuhan pokok melonjak drastis. Kondisi ini melahirkan keresahan sosial yang nyata, terutama di kalangan mahasiswa dan rakyat miskin kota yang paling terdampak.

Dalam situasi ini, mahasiswa tampil sebagai motor penggerak utama. Demonstrasi di berbagai kampus menuntut reformasi politik, penegakan demokrasi, dan turunnya Soeharto dari kursi presiden. Berbeda dengan aksi massa pada 1965 yang sarat dengan mobilisasi ideologis, gerakan mahasiswa 1998 lebih menekankan tuntutan konkret: penghapusan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), pemulihan ekonomi, dan pembukaan ruang demokrasi. Namun, meski mahasiswa menjadi simbol gerakan, rakyat miskin kota juga ikut terlibat, baik melalui aksi jalanan maupun ledakan kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai daerah.

Meski massa terlihat otonom, peran elite reformis tetap tidak bisa diabaikan. Tokoh-tokoh politik seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri memanfaatkan momentum demonstrasi untuk menekan rezim Orde Baru. Mereka tidak selalu memimpin langsung aksi massa, tetapi memberi legitimasi moral dan politik yang memperkuat daya dorong gerakan mahasiswa. Di sisi lain, pecahnya solidaritas elite militer dan politik di sekitar Soeharto mempercepat delegitimasi kekuasaan. Ketika sebagian elite tak lagi solid mendukungnya, posisi Soeharto menjadi rapuh.

Isu krusial dalam Reformasi 1998 adalah bagaimana represi negara justru mempercepat delegitimasi kekuasaan. Penembakan mahasiswa Trisakti pada Mei 1998 dan tragedi Semanggi menunjukkan bahwa aparat keamanan memilih jalur kekerasan. Namun tindakan represif ini bukan mematahkan gerakan, melainkan memperbesar solidaritas dan simpati publik terhadap mahasiswa. Tekanan domestik berpadu dengan sorotan internasional terhadap pelanggaran HAM, sehingga rezim kehilangan pijakan legitimasi baik di dalam maupun luar negeri.

Dapat disimpulkan bahwa kejatuhan Soeharto bukan hanya karena krisis ekonomi, melainkan karena kombinasi tiga faktor: keresahan sosial yang meledak dalam bentuk demonstrasi, represi negara yang mencabut legitimasi moral rezim, dan perpecahan elite yang membuat Soeharto kehilangan dukungan politik. Ketika massa tak terbendung dan elite tidak lagi solid, legitimasi negara runtuh dengan sendirinya.

Reformasi 1998 memberi pelajaran bahwa demonstrasi dapat menjadi katalis perubahan politik yang nyata ketika massa bergerak otonom dan mampu membangun solidaritas dengan elemen masyarakat lain. Namun, Reformasi juga memperlihatkan keterbatasannya: meski rezim otoriter tumbang, agenda perubahan yang lebih struktural---seperti pemberantasan korupsi, pemerataan ekonomi, dan penguatan institusi demokrasi---tidak sepenuhnya tercapai. Ini karena transisi demokrasi tetap dipengaruhi oleh tarik-menarik elite politik yang kemudian menguasai panggung.

Oleh sebab itu, pengalaman 1998 menegaskan bahwa demonstrasi perlu diinstitusionalisasi dalam kerangka demokrasi partisipatif. Negara harus mengakui demonstrasi sebagai hak politik rakyat, bukan ancaman keamanan semata. Di sisi lain, gerakan sosial perlu memperluas basis perjuangan dari sekadar menumbangkan rezim ke arah mengawal reformasi struktural. Dengan begitu, demonstrasi tidak berhenti sebagai "ledakan sesaat" yang melahirkan euforia perubahan, tetapi menjadi mekanisme korektif yang berkelanjutan dalam kehidupan demokratis.

Benang merahnya, Reformasi 1998 memperlihatkan bahwa legitimasi negara runtuh ketika tiga syarat bertemu: massa tak terbendung, elite pecah, dan negara kehilangan legitimasi moral akibat represi. Dari sini, kita belajar bahwa stabilitas politik bukan semata urusan kontrol negara, melainkan soal menjaga legitimasi melalui keadilan sosial, keterbukaan politik, dan penghormatan terhadap aspirasi rakyat.

2025: Demonstrasi sebagai Arena Pertarungan Elite Rente dan Agenda Reformasi

Memasuki tahun 2025, demonstrasi kembali menjadi wajah nyata dinamika politik Indonesia. Berbeda dengan 1965 yang sarat dengan pertarungan ideologi global, dan 1998 yang lahir dari krisis ekonomi serta otoritarianisme yang menua, demonstrasi saat ini memiliki karakteristik yang lebih kompleks. Massa yang turun ke jalan adalah campuran antara aspirasi tulus masyarakat---seperti tuntutan menurunkan harga kebutuhan pokok, menguatkan keadilan sosial, dan memperbaiki tata kelola negara---dengan infiltrasi elite rente yang merasa terancam oleh agenda reformasi antikorupsi serta pemberantasan kebocoran anggaran.

Fenomena ini menunjukkan bahwa demonstrasi kontemporer tidak sepenuhnya murni dari rakyat, tetapi juga menjadi arena pertarungan elite rente yang berusaha mempertahankan privilese ekonomi-politiknya. Elite-elite tersebut menggunakan taktik lama: membaurkan aspirasi rakyat dengan provokasi, menyusupkan aktor-aktor yang dapat memicu kekerasan, serta menyebarkan narasi di ruang digital untuk mendeligitimasi pemerintah. Dengan demikian, apa yang tampak sebagai protes rakyat sering kali merupakan hasil rekayasa sosial-politik yang bertujuan melemahkan legitimasi negara.

Isu krusial dalam gelombang demonstrasi 2025 adalah munculnya penjarahan, vandalisme, dan kekerasan yang mencoreng wajah aspirasi rakyat. Dalam sejarah Indonesia, pola ini bukan hal baru: 1965 ditandai dengan manipulasi massa untuk kepentingan ideologis, 1998 diwarnai kerusuhan sosial yang sebagian disusupi provokator, dan kini 2025 memperlihatkan gejala serupa. Kekerasan dalam demonstrasi sering kali menjadi tanda bahwa ada aktor-aktor politik yang menghendaki instabilitas untuk keuntungan jangka pendek, bukan sekadar ekspresi kekecewaan rakyat.

Namun, berbeda dengan 1965 dan 1998, legitimasi pemerintahan saat ini relatif masih tinggi. Survei Kompas (2025) dan LSI (2025) menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat masih memberikan dukungan terhadap agenda reformasi, terutama dalam hal pemberantasan korupsi dan efisiensi anggaran. Dukungan ini menandakan adanya perbedaan fundamental dengan situasi Reformasi 1998, di mana legitimasi negara runtuh akibat represi dan pecahnya elite. Pemerintah 2025 justru memperoleh legitimasi dari komitmennya melawan praktik rente dan menegakkan tata kelola yang lebih bersih.

Dapat dipahami bahwa demonstrasi hari ini merepresentasikan dua wajah yang kontradiktif. Di satu sisi, ia merupakan kanal aspirasi rakyat yang sah dalam negara demokrasi. Di sisi lain, ia juga dimanfaatkan oleh elite rente sebagai instrumen perlawanan terhadap agenda perubahan. Dilema terbesar negara adalah bagaimana menindak tegas provokator dan elite rente yang menyusup tanpa kehilangan simpati rakyat yang sah menyuarakan aspirasi.

Fenomena ini bisa dianalisis sebagai konsekuensi dari transisi demokrasi yang belum selesai. Demokrasi Indonesia masih menghadapi paradoks: semakin terbuka ruang partisipasi politik, semakin besar pula kemungkinan manipulasi oleh kelompok yang ingin mempertahankan status quo. Di tengah derasnya arus informasi digital, mobilisasi massa menjadi lebih mudah, tetapi juga lebih rawan disusupi oleh agenda-agenda tersembunyi.

Pertanyaannya kemudian adalah: apakah demonstrasi hari ini benar-benar memperjuangkan agenda rakyat, atau sekadar panggung perlawanan elite rente? Jika pemerintah gagal membedakan keduanya, ia berisiko kehilangan legitimasi. Jika terlalu represif, pemerintah akan dituding otoriter; jika terlalu permisif, anarki dapat meluas. Inilah dilema klasik negara demokratis: menyeimbangkan antara menjaga stabilitas dan menghormati hak politik rakyat.

Solusi yang mungkin ditempuh adalah memperkuat mekanisme komunikasi politik yang langsung dan transparan antara negara dan masyarakat. Pemerintah perlu membuka kanal dialog resmi---baik melalui forum tatap muka maupun platform digital---agar aspirasi rakyat dapat tersalurkan tanpa harus selalu turun ke jalan. Selain itu, penegakan hukum yang selektif terhadap provokator harus dilakukan dengan bukti kuat, transparan, dan terbuka di hadapan publik, sehingga rakyat dapat melihat bahwa tindakan tegas negara bukanlah represi, melainkan langkah untuk melindungi aspirasi mereka dari pembajakan elite rente.

Benang merahnya, demonstrasi 2025 memperlihatkan dinamika baru dalam hubungan antara massa, elite, dan negara. Massa hadir sebagai kekuatan ganda: otentik sekaligus dimanipulasi. Elite rente berusaha mempertahankan privilese dengan mengorbankan stabilitas. Negara, dengan legitimasi yang relatif tinggi, menghadapi dilema strategis dalam menjaga stabilitas tanpa mencederai demokrasi. Sejarah memberi pelajaran bahwa keberhasilan negara terletak pada kemampuannya mengelola krisis legitimasi secara adil, transparan, dan partisipatif.

Dengan demikian, demonstrasi hari ini seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ancaman, tetapi juga sebagai cermin politik: sejauh mana negara mampu menyeimbangkan aspirasi rakyat dengan agenda reformasi, serta sejauh mana elite dapat dikendalikan agar tidak lagi membajak demokrasi demi kepentingan rente.

Analisis Perbandingan: Massa, Elite, dan Negara

Jika ditarik garis historis, dinamika demonstrasi di Indonesia sejak 1965 hingga 2025 memperlihatkan pola yang konsisten sekaligus berubah. Konsistensinya terletak pada tiga aktor utama---massa, elite, dan negara---yang selalu hadir dalam setiap pergulatan politik besar. Perubahannya terletak pada konfigurasi peran masing-masing aktor dalam konteks zaman yang berbeda.

Pada tahun 1965, massa lebih banyak berperan sebagai objek mobilisasi elite politik. PKI, TNI, maupun kelompok agama menggunakan demonstrasi, pawai, dan aksi massa sebagai instrumen tekanan politik. Aspirasi rakyat nyaris tidak berdiri sendiri; ia selalu dikaitkan dengan pertarungan ideologi global dalam kerangka Perang Dingin. Negara, dalam hal ini Orde Lama, gagal menjaga netralitas, sehingga kekacauan sosial menjadi legitimasi bagi penggunaan kekerasan politik yang brutal. Hasil akhirnya, massa justru dikorbankan dalam konflik elite, sementara negara tampil sebagai aktor represif.

Situasi berbeda terjadi pada 1998. Massa menjadi motor perubahan yang lahir dari krisis ekonomi dan kekecewaan terhadap otoritarianisme Orde Baru. Mahasiswa dan rakyat miskin kota bergerak bukan karena mobilisasi elite, tetapi karena kebutuhan mendesak: harga melambung, kemiskinan meningkat, dan korupsi merajalela. Meski demikian, peran elite tetap menentukan arah perubahan. Ketika sebagian elite reformis memberi dukungan moral, sementara elite pendukung Soeharto mulai pecah, negara kehilangan pijakan legitimasi. Represi yang dilakukan---seperti penembakan Trisakti dan tragedi Semanggi---justru mempercepat keruntuhan. Dengan kata lain, legitimasi negara runtuh ketika massa tak terbendung dan elite tidak lagi solid.

Tahun 2025 memperlihatkan pola hibrid. Massa di jalanan kini campuran antara aspirasi tulus rakyat dengan mobilisasi elite rente. Aspirasi tulus muncul dari keresahan nyata terhadap harga dan keadilan sosial, sementara infiltrasi elite rente muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap agenda antikorupsi pemerintah. Negara, berbeda dari dua periode sebelumnya, relatif masih memiliki legitimasi yang cukup tinggi berdasarkan survei opini publik. Namun, legitimasi itu diuji ketika demonstrasi disusupi kekerasan, penjarahan, dan provokasi yang berpotensi merusak simpati rakyat. Dilema negara adalah bagaimana menindak provokator tanpa mengorbankan citra demokratis dan tanpa kehilangan dukungan massa yang sah.

Analisis perbandingan ini memperlihatkan bahwa elite selalu menjadi faktor penentu hasil akhir dari setiap demonstrasi besar di Indonesia. Pada 1965, elite politik yang bertarung dalam kerangka Perang Dingin menyeret massa dalam kekerasan. Pada 1998, perpecahan elite memungkinkan massa menjadi motor perubahan yang sukses menumbangkan rezim. Pada 2025, elite rente mencoba membajak aspirasi rakyat untuk mempertahankan privilese, meski negara berusaha tetap berdiri di sisi legitimasi reformasi.

Dengan demikian, maka dapat dirumuskan benang merahnya: massa memberikan tekanan legitimasi, elite menentukan arah perubahan, dan negara mengelola dilema antara stabilitas dan keadilan. Demonstrasi tidak pernah murni sekadar ekspresi spontan rakyat, melainkan selalu bagian dari interaksi dinamis ketiga aktor ini.

Pertanyaan kritisnya adalah: apakah demokrasi Indonesia dapat berkembang tanpa terus-menerus dikendalikan oleh logika elite? Sejarah menunjukkan bahwa ketika aspirasi rakyat benar-benar berdaulat---seperti pada 1998---perubahan besar bisa terjadi. Namun, ketika massa hanya dijadikan instrumen elite, yang lahir adalah represi dan kekacauan, seperti pada 1965 dan sebagian demonstrasi 2025.

Solusi ke depan adalah memperkuat institusionalisasi partisipasi rakyat melalui mekanisme demokratis yang lebih transparan dan inklusif. Dengan demikian, massa tidak sekadar menjadi instrumen tekanan jalanan, tetapi juga memiliki kanal legal-formal untuk memengaruhi kebijakan publik. Negara, dalam konteks ini, harus membedakan dengan jelas antara aspirasi sah dan manipulasi elite rente. Jika hal ini tercapai, maka demonstrasi tidak lagi sekadar cermin krisis legitimasi, melainkan sarana perbaikan demokrasi yang berkelanjutan.

Pelajaran dan Jalan ke Depan

Demonstrasi, pada hakikatnya, merupakan barometer kesehatan demokrasi. Ia menjadi cermin sejauh mana negara bersedia mendengar denyut nadi rakyat, sekaligus menguji kemampuan masyarakat sipil dalam menyalurkan aspirasi secara konstruktif. Negara yang alergi terhadap demonstrasi sesungguhnya sedang menutup pintu bagi kritik, padahal kritik adalah vitamin yang menjaga demokrasi tetap hidup. Sebaliknya, demonstrasi yang terjerumus ke dalam kekerasan atau manipulasi elite rente justru merusak kepercayaan publik dan mengaburkan agenda substantif rakyat.

Karena itu, tantangan utama pemerintah terletak pada membedakan secara jernih antara aspirasi rakyat yang lahir dari keresahan otentik dan kebutuhan perubahan, dengan provokasi elite rente yang menjadikan aksi massa sebagai alat tawar-menawar politik. Aspirasi rakyat perlu dirangkul melalui kanal dialog yang terbuka, mekanisme partisipasi yang bermakna, dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan mayoritas. Sebaliknya, provokasi elite rente harus ditindak dengan hukum yang adil, tanpa diskriminasi, dan tanpa mengorbankan kebebasan sipil.

Pelajaran penting dari gelombang protes beberapa tahun terakhir adalah bahwa demokrasi Indonesia masih rapuh, tetapi sekaligus resilien. Rakyat Indonesia tidak pernah kehabisan energi untuk menyuarakan keadilan, namun energi itu bisa menjadi produktif atau destruktif, tergantung bagaimana negara menanggapinya. Jika respons negara represif dan menutup ruang dialog, maka jalan instabilitas akan terbuka lebar. Tetapi jika responsnya inklusif, aspiratif, dan penuh kearifan, maka protes justru bisa menjadi energi konsolidasi demokrasi.

Dengan demikian, kesimpulan strategis yang perlu digarisbawahi adalah: tahun 2025 dapat menjadi momentum emas konsolidasi demokrasi, asalkan pemerintah mampu mengelola dinamika sosial-politik dengan arif dan visioner. Namun, jika pemerintah gagal memahami aspirasi rakyat dan membiarkan oligarki rente menguasai ruang publik, maka jalan menuju siklus instabilitas baru tidak bisa dihindarkan.

Pilihan ada di tangan negara dan rakyat. Sejarah Indonesia berulang kali menunjukkan bahwa ketika negara gagal mendengar suara rakyat, rakyat selalu menemukan jalannya sendiri. Oleh karena itu, menyalakan kembali semangat partisipasi, keadilan, dan dialog adalah satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak mundur, melainkan melangkah ke depan menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.*****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun