Reformasi 1998 memberi pelajaran bahwa demonstrasi dapat menjadi katalis perubahan politik yang nyata ketika massa bergerak otonom dan mampu membangun solidaritas dengan elemen masyarakat lain. Namun, Reformasi juga memperlihatkan keterbatasannya: meski rezim otoriter tumbang, agenda perubahan yang lebih struktural---seperti pemberantasan korupsi, pemerataan ekonomi, dan penguatan institusi demokrasi---tidak sepenuhnya tercapai. Ini karena transisi demokrasi tetap dipengaruhi oleh tarik-menarik elite politik yang kemudian menguasai panggung.
Oleh sebab itu, pengalaman 1998 menegaskan bahwa demonstrasi perlu diinstitusionalisasi dalam kerangka demokrasi partisipatif. Negara harus mengakui demonstrasi sebagai hak politik rakyat, bukan ancaman keamanan semata. Di sisi lain, gerakan sosial perlu memperluas basis perjuangan dari sekadar menumbangkan rezim ke arah mengawal reformasi struktural. Dengan begitu, demonstrasi tidak berhenti sebagai "ledakan sesaat" yang melahirkan euforia perubahan, tetapi menjadi mekanisme korektif yang berkelanjutan dalam kehidupan demokratis.
Benang merahnya, Reformasi 1998 memperlihatkan bahwa legitimasi negara runtuh ketika tiga syarat bertemu: massa tak terbendung, elite pecah, dan negara kehilangan legitimasi moral akibat represi. Dari sini, kita belajar bahwa stabilitas politik bukan semata urusan kontrol negara, melainkan soal menjaga legitimasi melalui keadilan sosial, keterbukaan politik, dan penghormatan terhadap aspirasi rakyat.
2025: Demonstrasi sebagai Arena Pertarungan Elite Rente dan Agenda Reformasi
Memasuki tahun 2025, demonstrasi kembali menjadi wajah nyata dinamika politik Indonesia. Berbeda dengan 1965 yang sarat dengan pertarungan ideologi global, dan 1998 yang lahir dari krisis ekonomi serta otoritarianisme yang menua, demonstrasi saat ini memiliki karakteristik yang lebih kompleks. Massa yang turun ke jalan adalah campuran antara aspirasi tulus masyarakat---seperti tuntutan menurunkan harga kebutuhan pokok, menguatkan keadilan sosial, dan memperbaiki tata kelola negara---dengan infiltrasi elite rente yang merasa terancam oleh agenda reformasi antikorupsi serta pemberantasan kebocoran anggaran.
Fenomena ini menunjukkan bahwa demonstrasi kontemporer tidak sepenuhnya murni dari rakyat, tetapi juga menjadi arena pertarungan elite rente yang berusaha mempertahankan privilese ekonomi-politiknya. Elite-elite tersebut menggunakan taktik lama: membaurkan aspirasi rakyat dengan provokasi, menyusupkan aktor-aktor yang dapat memicu kekerasan, serta menyebarkan narasi di ruang digital untuk mendeligitimasi pemerintah. Dengan demikian, apa yang tampak sebagai protes rakyat sering kali merupakan hasil rekayasa sosial-politik yang bertujuan melemahkan legitimasi negara.
Isu krusial dalam gelombang demonstrasi 2025 adalah munculnya penjarahan, vandalisme, dan kekerasan yang mencoreng wajah aspirasi rakyat. Dalam sejarah Indonesia, pola ini bukan hal baru: 1965 ditandai dengan manipulasi massa untuk kepentingan ideologis, 1998 diwarnai kerusuhan sosial yang sebagian disusupi provokator, dan kini 2025 memperlihatkan gejala serupa. Kekerasan dalam demonstrasi sering kali menjadi tanda bahwa ada aktor-aktor politik yang menghendaki instabilitas untuk keuntungan jangka pendek, bukan sekadar ekspresi kekecewaan rakyat.
Namun, berbeda dengan 1965 dan 1998, legitimasi pemerintahan saat ini relatif masih tinggi. Survei Kompas (2025) dan LSI (2025) menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat masih memberikan dukungan terhadap agenda reformasi, terutama dalam hal pemberantasan korupsi dan efisiensi anggaran. Dukungan ini menandakan adanya perbedaan fundamental dengan situasi Reformasi 1998, di mana legitimasi negara runtuh akibat represi dan pecahnya elite. Pemerintah 2025 justru memperoleh legitimasi dari komitmennya melawan praktik rente dan menegakkan tata kelola yang lebih bersih.
Dapat dipahami bahwa demonstrasi hari ini merepresentasikan dua wajah yang kontradiktif. Di satu sisi, ia merupakan kanal aspirasi rakyat yang sah dalam negara demokrasi. Di sisi lain, ia juga dimanfaatkan oleh elite rente sebagai instrumen perlawanan terhadap agenda perubahan. Dilema terbesar negara adalah bagaimana menindak tegas provokator dan elite rente yang menyusup tanpa kehilangan simpati rakyat yang sah menyuarakan aspirasi.
Fenomena ini bisa dianalisis sebagai konsekuensi dari transisi demokrasi yang belum selesai. Demokrasi Indonesia masih menghadapi paradoks: semakin terbuka ruang partisipasi politik, semakin besar pula kemungkinan manipulasi oleh kelompok yang ingin mempertahankan status quo. Di tengah derasnya arus informasi digital, mobilisasi massa menjadi lebih mudah, tetapi juga lebih rawan disusupi oleh agenda-agenda tersembunyi.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah demonstrasi hari ini benar-benar memperjuangkan agenda rakyat, atau sekadar panggung perlawanan elite rente? Jika pemerintah gagal membedakan keduanya, ia berisiko kehilangan legitimasi. Jika terlalu represif, pemerintah akan dituding otoriter; jika terlalu permisif, anarki dapat meluas. Inilah dilema klasik negara demokratis: menyeimbangkan antara menjaga stabilitas dan menghormati hak politik rakyat.
Solusi yang mungkin ditempuh adalah memperkuat mekanisme komunikasi politik yang langsung dan transparan antara negara dan masyarakat. Pemerintah perlu membuka kanal dialog resmi---baik melalui forum tatap muka maupun platform digital---agar aspirasi rakyat dapat tersalurkan tanpa harus selalu turun ke jalan. Selain itu, penegakan hukum yang selektif terhadap provokator harus dilakukan dengan bukti kuat, transparan, dan terbuka di hadapan publik, sehingga rakyat dapat melihat bahwa tindakan tegas negara bukanlah represi, melainkan langkah untuk melindungi aspirasi mereka dari pembajakan elite rente.