Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya posisi rakyat dalam lanskap politik 1965. Mereka seolah menjadi "panggung" bagi elite untuk mempertontonkan kekuasaan, tetapi jarang diberi ruang untuk mengekspresikan kepentingan riil mereka. Aksi massa lebih sering dimanipulasi untuk kepentingan elite ketimbang dijadikan instrumen perubahan sosial yang otentik. Akibatnya, rakyat rentan menjadi korban ketika konflik ideologi meletus menjadi kekerasan terbuka.
Isu krusial dalam periode ini adalah bagaimana rakyat dikorbankan dalam pertarungan ideologi global. Peristiwa G30S dan dampak setelahnya memperlihatkan bagaimana massa dijadikan alat justifikasi untuk kekerasan negara. Setelah 1 Oktober 1965, narasi "penyelamatan bangsa" digunakan untuk membenarkan operasi militer dan tindakan represif terhadap mereka yang dianggap terkait dengan PKI. Padahal, banyak korban berasal dari masyarakat desa biasa yang tidak sepenuhnya memahami pertarungan ideologis di pusat. Tragedi kemanusiaan yang menelan ratusan ribu jiwa menunjukkan bahwa ketika negara gagal menjaga netralitas, kekacauan justru berubah menjadi legitimasi kekerasan.
Maka dapat disimpulkan bahwa kegagalan negara menjaga keseimbangan antara massa, elite, dan stabilitas politik menjadi pemicu utama tragedi 1965. Negara tidak hadir sebagai penengah yang adil, melainkan terjebak dalam polarisasi politik yang mematikan. Ketika elite saling menginstrumentalisasi massa, negara seharusnya bisa menjadi "penjaga pagar" agar konflik ideologis tidak berujung pada pertumpahan darah. Namun kenyataannya, negara justru memilih berpihak dan menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar.
Dari perspektif kritis, demonstrasi tahun 1965 memperlihatkan keterbatasan demokrasi formal di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Demokrasi yang seharusnya menjadi arena artikulasi aspirasi rakyat justru berubah menjadi alat mobilisasi politik. Keadaan ini mengingatkan kita bahwa tanpa pendidikan politik yang kuat dan ruang publik yang sehat, massa akan selalu rentan dimanipulasi. Demokrasi tidak bisa bertahan hanya dengan prosedur, melainkan membutuhkan basis kesadaran rakyat yang kritis dan otonom.
Solusi yang bisa dipetik dari pengalaman 1965 adalah pentingnya membangun demokrasi partisipatif yang memungkinkan massa hadir sebagai subjek, bukan objek politik. Negara harus memperkuat institusi yang mampu melindungi aspirasi rakyat dari manipulasi elite, sekaligus menciptakan ruang dialog yang sehat antara negara, masyarakat sipil, dan kekuatan politik. Dengan cara itu, demonstrasi dapat difungsikan sebagai kanal koreksi yang konstruktif, bukan sebagai panggung mobilisasi ideologis yang berujung pada tragedi.
Dalam benang merahnya, peristiwa 1965 memberi pelajaran berharga: ketika negara gagal menjaga netralitas dan massa dibiarkan menjadi alat elite, demonstrasi akan kehilangan makna sebagai ekspresi rakyat dan justru berubah menjadi legitimasi kekerasan negara. Tragedi ini menjadi cermin sejarah bahwa demokrasi yang rapuh akan selalu membuka peluang bagi manipulasi elite dan tragedi kemanusiaan.
1998: Reformasi, Ledakan Massa, dan Runtuhnya Orde Baru
Demonstrasi besar-besaran pada tahun 1998 merupakan titik balik dalam sejarah politik Indonesia. Tidak seperti 1965, ketika massa lebih banyak dimobilisasi oleh elite dalam kerangka pertarungan ideologi global, gerakan Reformasi 1998 justru lahir dari krisis ekonomi yang menghantam langsung kehidupan rakyat. Krisis moneter Asia 1997 membuat nilai rupiah jatuh bebas, inflasi melambung, dan harga kebutuhan pokok melonjak drastis. Kondisi ini melahirkan keresahan sosial yang nyata, terutama di kalangan mahasiswa dan rakyat miskin kota yang paling terdampak.
Dalam situasi ini, mahasiswa tampil sebagai motor penggerak utama. Demonstrasi di berbagai kampus menuntut reformasi politik, penegakan demokrasi, dan turunnya Soeharto dari kursi presiden. Berbeda dengan aksi massa pada 1965 yang sarat dengan mobilisasi ideologis, gerakan mahasiswa 1998 lebih menekankan tuntutan konkret: penghapusan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), pemulihan ekonomi, dan pembukaan ruang demokrasi. Namun, meski mahasiswa menjadi simbol gerakan, rakyat miskin kota juga ikut terlibat, baik melalui aksi jalanan maupun ledakan kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai daerah.
Meski massa terlihat otonom, peran elite reformis tetap tidak bisa diabaikan. Tokoh-tokoh politik seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri memanfaatkan momentum demonstrasi untuk menekan rezim Orde Baru. Mereka tidak selalu memimpin langsung aksi massa, tetapi memberi legitimasi moral dan politik yang memperkuat daya dorong gerakan mahasiswa. Di sisi lain, pecahnya solidaritas elite militer dan politik di sekitar Soeharto mempercepat delegitimasi kekuasaan. Ketika sebagian elite tak lagi solid mendukungnya, posisi Soeharto menjadi rapuh.
Isu krusial dalam Reformasi 1998 adalah bagaimana represi negara justru mempercepat delegitimasi kekuasaan. Penembakan mahasiswa Trisakti pada Mei 1998 dan tragedi Semanggi menunjukkan bahwa aparat keamanan memilih jalur kekerasan. Namun tindakan represif ini bukan mematahkan gerakan, melainkan memperbesar solidaritas dan simpati publik terhadap mahasiswa. Tekanan domestik berpadu dengan sorotan internasional terhadap pelanggaran HAM, sehingga rezim kehilangan pijakan legitimasi baik di dalam maupun luar negeri.
Dapat disimpulkan bahwa kejatuhan Soeharto bukan hanya karena krisis ekonomi, melainkan karena kombinasi tiga faktor: keresahan sosial yang meledak dalam bentuk demonstrasi, represi negara yang mencabut legitimasi moral rezim, dan perpecahan elite yang membuat Soeharto kehilangan dukungan politik. Ketika massa tak terbendung dan elite tidak lagi solid, legitimasi negara runtuh dengan sendirinya.