Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 11, Pertempuran Laut) - Penyu Hitam

23 Maret 2024   10:50 Diperbarui: 23 Maret 2024   10:56 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            "Eh, mereka sudah menembakkan meriam!?" suara Abdi terdengar di sela-sela hembusan angin.

            "Siapa!? Siapa yang menembak!? Kita atau mereka??" tanya Dalem.

            "Sudah, tenangkan diri kalian! Tidak mungkin meriam bisa menjangkau, mereka masih sekitar satu kilometer dari Pinisi. Konsentrasi mendayung!" ujar prajurit yang mengayuh di depan.

            "Harusnya satu lagi..." tambah sang pembawa kompas.

            Sesaat setelah ia mengucapkannya terdengar bunyi ledakan kedua, sama besarnya dengan yang pertama, namun dari arah berbeda. Kedua prajurit di sekoci sembilan saling berpandangan dan berucap penuh kelegaan. "Alhamdulillah, tinggal satu sekarang... semoga bisa bertahan" dengan suara pelan kepada rekannya yang mengayuh.

            "Tenang.. ada Kapten Sudirman.., Bismillah, semoga Allah melindungi mereka" jawabnya sambil menoleh ke belakang dan berteriak "TIDAK USAH BANYAK BERTANYA! KAYUH SAJA TERUS, KITA PASTI SELAMAT! INSYAALLAH!" Tidak banyak percakapan terjadi setelah itu, hanya suara eluhan napas disela-sela angin yang dingin. Sekoci sembilan berada paling depan dan cukup jauh dari lainnya. Setelah beberapa lama terdengar lagi suara ledakan, yang kali ini dapat dipastikan adalah meriam, lebih dari dua puluh kali, disusul jeda sejenak, mungkin berasal dari Pinisi Mataram dan kapal musuh yang saling bertempur. Sang pembawa kompas terlihat memejamkan mata, kemudian setelah beberapa lama terdengar lagi tepat tiga kali tembakan meriam, matanya langsung terbuka dan ia pun menghela nafas. Abdi dan Dalem tidak begitu tahu dan peduli lagi, kayuhan mereka semakin cepat, keringat membasahi kedua lengan dan ketiaknya, entah sudah seberapa jauh mereka dari pertempuran. Keduanya terus berdzikir sembari kadang teringat Kapten Sudirman. Kapten kapal yang ramah, namun ternyata tegas dan tangguh. Doa mereka berdua juga untuk keselamatan sang kapten disela-sela dzikirnya.

            Tak terasa sudah empat kali mereka bergantian mendayung, yang artinya sudah dua jam berlalu. Prajurit di depan baru berganti mendayung dengan pembawa kompas, dari tadi ia tak ingin digantikan yang lain. Mereka sepakat menunda menaikkan terpal satu jam lagi, energi yang besar seperti melingkupi sekoci.

            Suara pertempuran sudah tidak terdengar sama sekali, entah karena sudah usai atau karena memang mereka sudah cukup jauh, yang jelas tidak terlihat sekoci delapan maupun tujuh di belakang. Di depan hanya ada laut yang gelap, tetapi jiwa orang-orang di sekoci sembilan tidak kosong, dzikir mereka membuat sekoci seolah bernyawa dan seluruhnya berpasrah diri kepada Allah, Sang Pemilik laut yang jiwa mereka ada di tanganNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun