Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 11, Pertempuran Laut) - Penyu Hitam

23 Maret 2024   10:50 Diperbarui: 23 Maret 2024   10:56 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Saat ini sudah lewat tengah malam, tidak ada seorang pun berani tidur. Pinisi Mataram, bila dilihat dari jauh hanya sebuah kapal biasa yang sedang mengarungi samudera untuk berlayar kembali menuju pelabuhan Demak. Tidak terlihat tanda-tanda bahwa di dalam kapal suasananya begitu berbeda. Sekitar dua kilometer di belakang, tiga kapal terus mengikuti, entah sampai kapan. Di dek bagian atas tidak terlihat satupun awak kapal, seolah-olah seluruh penumpangnya tertidur dan keadaan berjalan normal seperti biasa. Di bagian tengah tampak dari luar beberapa cahaya di kamar menyala normal, namun tidak ada orang di dalamnya, kosong, bahkan selimut yang biasanya tergeletak di atas kasur pun ikut menghilang. Seluruh penumpang beserta awak kapal ada di lantai dasar.

            Gelap dan dingin, hujan di luar sudah agak mereda, di ruangan paling bawah hanya ada beberapa lampu berbentuk lampion berisi lilin saja yang menjadi sumber penerangan. Sekitar seratus orang berada di situ, menunggu perintah dari sang kapten. Kapten Kapal Pinisi Mataram dan Pinisi Parahiyangan diambil dari mereka yang berpengalaman dalam hal pelayaran, khusus untuk kapal perang diambil dari sekolah kemiliterannya. Baru dua tahun lalu Mataram berhasil menghasilkan lulusan pelayaran untuk Awak Kapal Penumpang, salah satunya adalah Kapten Sudirman.

            "SEMUA SUDAH BERKUMPUL?" matanya tajam menyorotkan semangat untuk tidak pernah menyerah dalam situasi apapun.

            "Huff.. Huff.. Sudah semua kapten, beberapa pedagang yang masih mengumpulkan barangnya berada di baris paling belakang," ucap seorang prajurit dari beberapa yang ditugaskan mengumpukan seluruh penumpang.

            "BAGI MENJADI SEMBILAN KELOMPOK, IKUTI PARA PRAJURIT MATARAM."


            Dari dua belas sekoci yang tersedia, sembilan terlihat berada di samping masing-masing kelompok. Rupanya prajurit-prajurit Mataram cukup cekatan dalam memahami perintah Kapten Sudirman, sehingga ketika para pedagang Parahiyangan mulai berkumpul di bagian kapal terbawah mereka langsung membaginya menjadi sembilan kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima atau enam orang penumpang beserta dua orang prajurit yang menemani.

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "TETAP BERSAMA KELOMPOK KALIAN HINGGA SAMPAI DI TUJUAN," ia melihat ke arah seluruh penumpang yang tampak cemas, tidak banyak suara dan pertanyaan keluar dari mulut mereka, suasana sangat berbeda ketika satu setengah jam lalu mereka baru dikumpulkan di ruangan terbawah.

            BRAK!

            Pintu dekat tangga tiba-tiba terbuka, tiga orang prajurit masuk dan menghadap Kapten Sudirman segera, seluruh mata menoleh melihat mereka.

            "Memang diikuti kapten, arah kapal sudah berbelok tiga puluh derajat ke arah barat daya, tiga kapal itu ikut berbelok mengikuti ke arah yang sama," kata seorang dari mereka yang dibalas senyum pahit sang kapten.

            "Hah.. hah.. dua sekoci sudah siap hah.. Kapten..." kata seorang yang lain, kapten Sudirman mengangguk singkat.

            "Kode Merah siap Kapten, sepuluh busur di atas dan tengah, tiga meriam di paling bawah. Sisanya delapan pedang dan tombak," orang terakhir menyatakan kesiapannya, kapten sudirman hanya tersenyum. Ia menoleh kembali ke orang pertama.

            "Setengah jam lagi arahkan kapal kembali ke posisi semula, pelabuhan Demak, turunkan kecepatan dan setelah dua kilometer, berhentikan!" ujarnya, yang dilanjutkan ke orang kedua "Ketika arah kapal berbelok lagi ke Demak turunkan tiga sekocinya, arahkah ke dua yang terdekat," tatapannya serius kepada prajurit kedua.

            "Setelah selesai, pergilah ke Demak," tambahnya.

            "Huff.. Ah, para prajurit ingin kembali ke Pinisi Mataram kapten, Huff.. kita sudah sepakat," jawab prajurit kedua, kapten Sudirman terlihat agak ragu, perlahan ia hanya mengangguk sambil menutup matanya. Ia melanjutkan perintahnya kepada prajurit ketiga,

            "Ketika kapal berhenti, bersiaplah untuk menyambut mereka, semoga tinggal satu yang tersisa. Seluruh sekoci akan diturunkan saat itu," ujarnya.

            "Berdoalah kepada Allah dan sertai selalu usaha kalian dengan dzikir kepada-Nya! Laksanakan!" perintah yang dibarengi dengan sikap hormat ketiga prajurit, mereka segera bergerak sesuai dengan tugas masing-masing. Seluruh isi ruangan mendengar apa yang mereka katakan, mungkin hanya di barisan paling belakang saja agak tak terdengar, tempat dua orang penumpang yang dari awal ikut memobilisasi para penumpang lain ke bagian dasar kapal. Abdi dan Dalem di sebelah sekoci nomor sembilan.

            "Kita ke Nusa ya Lem? Wah, untung cuma bawa barang bawaan dikit," mata Abdi melihat seorang pedagang di depan yang masih membawa kotak berbungkus kain berisi kayu gaharu. Pedagang itu terlihat menginjak satu terpal besar panjang berwarna hitam yang sampai juga di kaki Abdi dan Dalem.

            "Iya Di, sekoci tujuh sampai sembilan menuju Nusa, Semoga selamat Ya Allah..." jawab Dalem.

            Abdi menelan ludahnya sendiri sambil mengaminkan dalam hati. Suasana begitu genting dan semua menunggu untuk menaiki sekoci yang akan membawa mereka kembali ke daratan, InsyaAllah. Begitulah keadaan di dasar Kapal Pinisi Mataram. Beberapa penumpang bahkan terlihat masih bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah. Tiba tiba terdengar suara angin masuk akibat pintu yang dibuka di ujung sebelah atas, dekat dengan posisi Abdi dan Dalem. Seperti kap kendaraan yang terbuka, pintu itu mengarah ke dek tengah kapal. Terlihat jalan menuju ke pintu seperti perosotan yang agak licin, di kiri dan kanannya adalah tangga. Beberapa langsung paham apa yang akan dilakukan selanjutnya, mereka segera memasukkan barang bawaan ke sekoci dan memegang tepiannya.

            "NAIKKAN SEKOCI KE ATAS!" suara kapten Sudirman terdengar memenuhi ruangan.

            Para prajurit memimpin rombongan untuk segera bersiap mendorong sekoci ke atas. Abdi dan Dalem membantu pedagang merapikan barang bawaannya agar muat masuk ke dalam sekoci.

            "Terpal hitam panjang ini apa sih? Dibawa gak Di?" tanya Dalem melihat terpal di bawahnya.

            "Tutupi sekoci dengan terpal ini, ayo!" ujar salah seorang prajurit yang bersama mereka. Terpal hitam pun dinaikkan menutupi bagian atas sekoci.

            Abdi langsung paham, "Wah, gak bakal kelihatan kalau malam berarti..." yang langsung dibalas prajurit kedua sambil merapikan ujung terpal di dekat tepian sekoci "Yup, betul sekali, kita sandikan dengan penyu hitam..."

            "Ah, pantesss...oke.. oke..." Abdi membalas ucapan prajurit tadi sambil ikut memegang tepian sekoci, bersiap mendorongnya ke atas sambil menaiki tangga di sebelah kanan.

            Setelah beberapa saat, sekoci mereka pun siap, satu prajurit berada di depan dan satu lagi berada di belakang, sementara penumpang sekoci berada di samping kiri dan kanan.

            "Oke, kita dorong bersama, 1... 2... 3!" sekoci pun perlahan naik ke atas, namun agak tak seimbang.

            "Sepertinya agak ke serong ke kiri, aduh, untung gak begitu licin!" ucap Abdi.

            Prajurit paling belakang segera beralih memegang tepian sekoci sebelah kiri, sementara itu Dalem mencengkeram kuat sisi sebelah kanan agar tidak bergeser lagi ke arah kiri. Jika gagal naik, mereka bisa membahayakan yang lain terutama sekoci di belakang. Tidak begitu susah, setelah seimbang karena prajurit paling belakang berpindah posisi, mereka akhirnya berhasil menaikkan sekoci ke atas dek. Sekoci pun langsung di dorong menuju pinggir Kapal. Beberapa bulir tetes hujan terasa menjatuhi bagian atas kepala Dalem, agak licin di luar. "Wah, untung licinnya gak sampai dalam ya Lem" ucap Abdi sembari kembali melihat ke arah pintu yang terbuka, menunggu sekoci berikutnya keluar. Ternyata belajar dari kesalahan sekoci sembilan, sekoci nomor delapan dan berikutnya berusaha menyeimbangkan terlebih dahulu komposisi barang bawaan sebelum mendorong kapal ke atas. Beberapa prajurit tampak berkumpul di pinggir kapal mengangkat papan cukup panjang yang bersirip di bagian pinggir. Di sebelah mereka tampak dua sekoci yang telah ditutup terpal hitam namun bagian belakangnya agak menonjol ke atas. Ternyata sudah ada dua sekoci lain di sini, Abdi dan Dalem tidak menyadari karena sibuk melihat yang lain menuju ke atas.

            "Isinya apa ya Lem? Barang-barang para prajurit kah?" tanya Abdi.

            "Agak besar kayaknya Di, mungkin barang penting," Dalem asal menjawab.

            Papan yang diangkat para prajurit tadi rupannya untuk menurunkan sekoci. Dikaitkan ke bagian ujung pinggir kapal, papan panjang tadi sekarang sudah mengarah ke laut, namun belum menyentuh air, karena masih ditahan tali, menunggu kapal berhenti terlebih dahulu.

            Sementara seluruh penumpang mendorong sekoci mereka masing-masing ke dek tengah, tak terasa setengah jam sudah berlalu, kapal berganti arah. Dua sekoci yang tadi disiapkan para prajurit diturunkan, sesaat setelah kapal berbelok arah dan menurunkan kecepatannya. Abdi, dalem, dan beberapa penumpang lain yang sudah di atas dek melihat ke arah ujung tempat turunnya dua sekoci itu. Tidak terlalu susah ternyata, dengan berhati-hati dua orang prajurit menaikkan ujung sekoci bagian depan sebelum kemudian didorong oleh tiga prajurit lain. Di sekoci sendiri sudah diisi oleh dua orang prajurit dan barang bawaan cukup besar yang tertutup terpal. Sekoci pun dengan mulus meluncur ke arah laut, diikuti satu sekoci lagi dengan barang bawaan yang sama. Abdi mendekat ke arah pinggir untuk melihat ke bawah, dua sekoci itu langsung didayung dari arah kiri dan kanan lau hilang ditelan kegelapan malam, sementara itu dari jauh terlihat tiga bayangan, seperti ada kerlip kecil cahaya di ketiganya. Mendadak Abdi paham apa yang dibawa kedua sekoci tadi. Ia pun berjalan cepat ke arah Dalem ingin memberitahu rekannya yang terus melihat ke arah papan panjang tempat dua sekoci tadi diturunkan. Namun niatnya tadi dihentikan oleh teriakan salah seorang prajurit, "BERSIAP TURUNKAN SELURUH SEKOCI, SEBENTAR LAGI KAPAL AKAN BERHENTI!".

            Sejenak seluruh penumpang melupakan apa yang mereka pikirkan dan fokus ke sekoci masing-masing, beberapa harus mendorong barang bawaannya ke pojok, beberapa lainnya hanya meninggalkan barang-barang yang tidak bisa dibawa naik ke atas dek. Setelah dua kilometer berjalan, kapal pun berhenti. Sekoci nomor sembilan mendapat urutan pertama untuk turun. Seluruh penumpang naik, dua orang prajurit menaikkan ujung sekoci ke ujung papan, kemudian mereka ikut naik di depan. Di belakang bagian dalam sekoci, lima orang pedagang termasuk Abdi dan Dalem memegang tepi pinggir. Tiga orang prajurit lalu mendorong sekoci. Dalem, yang duduk paling belakang, melihat ke arah mereka sambil tersenyum. Seperti turun dari perosotan, Abdi menegangkan rahangnya. BYUR!

            Sekoci pun menyentuh laut, dua prajurit terdepan lalu mengeluarkan empat buah kayuh yang dibagikannya ke para penumpang. Abdi dan Dalem masing-masing memegang satu kayuh, pedagang di sebelah belakang kiri Abdi juga memegang satu kayuh. Satu sisanya dipegang seorang prajurit di depan, satu prajurit lainnya melihat ke kompas dan segera mengarahkan mereka.

            "Dayung ke arah kiri kapal!" perintahnya segera dijawab ayunan tangan keempat orang pemegang kayuh.

            Sekoci pun bergerak ke arah samping kiri kapal, di belakang mereka terdengar suara sekoci delapan turun.

            "Mereka akan mengikuti kita ke arah Nusa, ayo lebih cepat lagi! Terpal akan kita naikkan setelah dua jam mendayung! Kita harus beristirahat nanti!" ucap prajurit yang membawa kompas.

            "Semoga ketiga kapal yang mengejar kita berhasil ditahan di sini, kalau tidak bisa gawat..." ujar prajurit satunya sambil mengayuh.

            "Sudah, tidak usah berpikiran buruk dulu! Serahkan semua kepada Allah! Bismillah, semoga kita semua selamat!"

            Seluruh penumpang sekoci Sembilan mengaminkan ucapan terakhir sang pembawa kompas, beberapa mengikuti dengan dzikir sambil terus mengayun kayuhnya. Mereka berencana bergantian mendayung setiap setengah jam sekali, agar sekoci cepat menjauh. Di belakang terdengar suara dari sekoci delapan yang sama-sama menuju Nusa. Tidak perlu mengkhawatirkan sekoci di belakang, mereka semua fokus menjauh dari Pinisi Mataram sekarang, menuju arah kompasnya masing-masing. Suara gemuruh di lautan sehabis hujan cukup membuat tegang, meskipun hawa sangat dingin terasa, namun angin tidak begitu kencang seperti sebelumnya. Para penumpang sangat mengantuk, tetapi mereka harus tetap mengayuh hingga jauh untuk menyelamatkan diri, pikiran mereka dipenuhi kekhawatiran. Abdi dan Dalem sendiri berusaha menenangkan diri dengan berdzikir. Lagi, dari belakang terdengar enam kapal sekoci turun. Hal yang kini pastilah diketahui pula dari tiga kapal musuh yang mengikuti.

            DUARRR! Tiba-tiba dari jauh terdengar ledakan sangat besar, tapi asalnya lebih jauh dari Kapal Pinisi berada.

            "Eh, mereka sudah menembakkan meriam!?" suara Abdi terdengar di sela-sela hembusan angin.

            "Siapa!? Siapa yang menembak!? Kita atau mereka??" tanya Dalem.

            "Sudah, tenangkan diri kalian! Tidak mungkin meriam bisa menjangkau, mereka masih sekitar satu kilometer dari Pinisi. Konsentrasi mendayung!" ujar prajurit yang mengayuh di depan.

            "Harusnya satu lagi..." tambah sang pembawa kompas.

            Sesaat setelah ia mengucapkannya terdengar bunyi ledakan kedua, sama besarnya dengan yang pertama, namun dari arah berbeda. Kedua prajurit di sekoci sembilan saling berpandangan dan berucap penuh kelegaan. "Alhamdulillah, tinggal satu sekarang... semoga bisa bertahan" dengan suara pelan kepada rekannya yang mengayuh.

            "Tenang.. ada Kapten Sudirman.., Bismillah, semoga Allah melindungi mereka" jawabnya sambil menoleh ke belakang dan berteriak "TIDAK USAH BANYAK BERTANYA! KAYUH SAJA TERUS, KITA PASTI SELAMAT! INSYAALLAH!" Tidak banyak percakapan terjadi setelah itu, hanya suara eluhan napas disela-sela angin yang dingin. Sekoci sembilan berada paling depan dan cukup jauh dari lainnya. Setelah beberapa lama terdengar lagi suara ledakan, yang kali ini dapat dipastikan adalah meriam, lebih dari dua puluh kali, disusul jeda sejenak, mungkin berasal dari Pinisi Mataram dan kapal musuh yang saling bertempur. Sang pembawa kompas terlihat memejamkan mata, kemudian setelah beberapa lama terdengar lagi tepat tiga kali tembakan meriam, matanya langsung terbuka dan ia pun menghela nafas. Abdi dan Dalem tidak begitu tahu dan peduli lagi, kayuhan mereka semakin cepat, keringat membasahi kedua lengan dan ketiaknya, entah sudah seberapa jauh mereka dari pertempuran. Keduanya terus berdzikir sembari kadang teringat Kapten Sudirman. Kapten kapal yang ramah, namun ternyata tegas dan tangguh. Doa mereka berdua juga untuk keselamatan sang kapten disela-sela dzikirnya.

            Tak terasa sudah empat kali mereka bergantian mendayung, yang artinya sudah dua jam berlalu. Prajurit di depan baru berganti mendayung dengan pembawa kompas, dari tadi ia tak ingin digantikan yang lain. Mereka sepakat menunda menaikkan terpal satu jam lagi, energi yang besar seperti melingkupi sekoci.

            Suara pertempuran sudah tidak terdengar sama sekali, entah karena sudah usai atau karena memang mereka sudah cukup jauh, yang jelas tidak terlihat sekoci delapan maupun tujuh di belakang. Di depan hanya ada laut yang gelap, tetapi jiwa orang-orang di sekoci sembilan tidak kosong, dzikir mereka membuat sekoci seolah bernyawa dan seluruhnya berpasrah diri kepada Allah, Sang Pemilik laut yang jiwa mereka ada di tanganNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun