Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Progress: Mengapa Kita Tidak Pernah Benar-Benar Sampai

26 Mei 2025   05:00 Diperbarui: 24 Mei 2025   15:52 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah berdiskusi dengan satu orang tua. Salah pesannya adalah "jangan cepat merasa kenyang, nanti lekas malas belajar hidup." Saat itu saya tidak memahami maksud yang disampaikan Ibu ini. Seiring bertambahnya pengalaman kehidupan, saya bertambah paham. Pemahaman ini timbul seraya mengingatkan bahwa: Hidup ini memang bukan tentang sampai di satu titik, tapi tentang terus melangkah, sekecil apapun. Perlahan tapi pasti. Barangkali, nasihat itu terasa semakin relevan.

Dalam dunia yang serba cepat ini, kita kerap diburu pertanyaan: "sudah sampai mana kamu?" atau "Apa saja pencapaian dalam hidupmu?" Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seakan menjadikan hidup bagai perlombaan---yang hanya sah dimenangkan oleh mereka yang "tiba" duluan. Namun perlahan, saya pun semakin menyadari bahwa hidup bukanlah soal siapa yang lebih dulu "sampai", tapi soal seberapa kita "sadar" dalam menjalaninya. Di sinilah saya percaya, progress is never ending. Kemajuan bukanlah tujuan akhir, melainkan cara kita merespons perjalanan itu sendiri---dengan hati yang terbuka dan kesadaran yang terus bertumbuh.

Saya sendiri sempat mengira bahwa hidup akan lebih tenang setelah berhasil mencapai beberapa hal yang saya perjuangkan. Setiap saya menyelesaikan jenjang pendidikan dengan nilai yang "lumayan", saya sempat merasa bangga. Orang tua saya pun turut bahagia. Namun, rasa bangga itu seolah "berhenti" saat itu saja. Setelahnya, ketika saya memasuki dunia kerja, tekanan baru datang dan langsung menghantam keras: harus cepat paham, harus cepat promosi, harus dapat diandalkan. Sejak saat itu, hidup seakan mengajarkan bahwa dunia tidak menunggu dan bahkan, tidak peduli dengan apa yang sudah kita "capai". Capaian itupun bukanlah akhir dari proses, melainkan pintu masuk ke tantangan yang lebih sunyi dan seringkali lebih sepi.

Di masa-masa awal bekerja, saya termasuk orang yang sangat menglorifikasi lembur. Pulang paling akhir memberi saya semacam kebanggaan diam-diam, seolah pengorbanan waktu adalah validasi bahwa saya layak dihargai. Masih terekam jelas malam pertama saya lembur. Ruangan kantor sudah sepi. Saya hanya ditemani kopi dan alunan musik yang saya pasang dari komputer saya. Di tengah sunyi itu, muncul pertanyaan: "apakah kehidupan ini yang memang saya inginkan?"

Awalnya, saya abaikan pertanyaan itu. Namun, tiap malam lembur berlalu, saya mulai memahami bahwa progres sejati bukanlah soal terlihat sibuk atau bekerja paling lama. Saya mulai belajar bahwa waktu yang dikorbankan bukanlah selalu bukti nilai dan kelelahan, juga bukan selalu tanda kesungguhan. Pada akhirnya, saya tersadar: hidup yang saya inginkan bukan tentang lembur tanpa arah, tapi tentang bekerja dengan sadar dan tetap punya ruang untuk diri sendiri, keluarga, dan hidup yang utuh.


Saya pun mulai memahami bahwa progres bukan semata soal kecepatan, tetapi soal kesadaran---bagaimana kita hadir dalam setiap langkah yang kita ambil. Ada sebuah ungkapan sederhana: "yang pelan justru menyuburkan." Kalimat itu mengingatkan semakin mengingatkan saya bahwa pertumbuhan sejati seringkali tidak terburu-buru, tetapi dijalani dengan utuh, perlahan, dan penuh perenungan. Erik Erikson, seoran psikolog Jerman, menyebut bahwa kematangan lahir dari krisis yang disadari dan dilewati. Ia bukan hasil dari sekadar pencapaian, tetapi dari kesanggupan untuk bertahan, mengolah luka, dan tetap tumbuh. Mungkin memang begitulah adanya: Proses bekerja dalam diam, dalam ruang paling sunyi dalam hidup kita.

Saya juga pernah kegagalan dalam mengelola hubungan. Anehnya, kesalahan yang sama terus saya ulang---berharap hasil berbeda, tapi tetap kecewa. Dalam proses itu, saya kerap menunjuk ke luar: menyalahkan orang lain, menyalahkan situasi. Namun perlahan, saya mulai berhenti menyalahkan orang lain dan mulai mengamati diri sendiri. Dari sanalah progress muncul---tidak bising, tapi nyata. Saya memang tidak langsung menjadi pribadi yang sepenuhnya baru. Saya tetaplah saya, tapi kini lebih paham pola lama yang sebelumnya saya jalani tanpa sadar. Dan bagi saya, itu adalah langkah awal pendewasaan: saat kita mulai menjalin hubungan, bukan sekadar dengan orang lain, tapi juga dengan diri sendiri---yang selama ini kita abaikan.

Mungkin, justru karena hidup ini singkat, kita perlu sungguh-sungguh hadir dalam tiap perjalanannya. sebuah ungkapan Jawa: "urip iku mung mampir ngombe"--- hidup ini hanya mampir untuk minum. Ungkapan ini terasa sederhana, tapi membawa pesan: bahwa hidup kita singkat, tiap "tetesnya" berarti. Setiap momen, betapapun kecilnya, adalah bagian dari proses. Mungkin itulah yang membuat progres terasa penting---ia adalah cara kita menghargai hidup yang sementara.

Dari kesadaran bahwa hidup ini singkat dan tiap momen berarti, saya belajar bahwa pertumbuhan sebagai manusia tidak pernah benar-benar selesai. Dari bertahan hidup, kita belajar memberi kehidupan. Abraham Maslow menyebut bahwa setelah kebutuhan dasar, pada akhirnya kita akan mencari makna. Hal senada pun diungkapkan oleh Viktor Frankl bahwa dimana makna itu memberikan arah saat segalanya terasa kosong. Mungkin karena itulah, progress tidak pernah usai---karena kita selalu mencari arti dalam tiap tegukan singkat kehidupan.

Setelah saya mulai mendapatkan penghasilan dari pekerjaan saya, saya merasa hidup mulai stabil secara finansial. Saya sempat berpikir bahwa dengan kestabilan keuangan hidup akan lebih tenang. Namun rupanya, ketenangan justru muncul ruang lain: ruang untuk berkontribusi. Saya pun mulai aktif dalam komunitas sosial, membantu anak-anak magang di kantor, dan menulis refleksi---yang semula hanya untuk diri sendiri. Saya mulai menyadari bahwa progress yang saya jalani bukanlah sepenuhnya tentang naik ke atas, tetapi seringkali justru tentang 'merunduk'---membantu orang lain untuk ikut bertumbuh. Dari sanalah saya merasa lebih utuh: ketika hidup bukan hanya mencetak jejak, tetapi juga tentang memberi ruang agar lebih banyak kaki dapat bersama melangkah.

Saat ini, kita hidup di zaman dimana semua ingin serba cepat: pengiriman instan, validasi instan, bahkan kesuksesan pun diharapkan datang secepat mungkin. Namun, hidup bukan aplikasi daring. Banyak hal dalam hidup membutuhkan waktu, kesabaran, dan bahkan serangkaian kegagalan kecil yang semuanya dirajut menjadi satu pemahaman diri. Richards dan Goslin-Jones (2018) menekankan bahwa pentingnya kreativitas dalam keseharian---bukan sebagai ekspresi luar biasa, tetapi sebagai bagian dari pertumbuhan yang mendalam dan berkesinambungan. Mereka menunjukkan bahwa integritas pribadi seringkali justru tumbuh dari proses yang lambat, reflektif, dan tidak instan. Perubahan yang bertahan bukan hasil dari momen kilat, tapi dari konsisten yang dijalani dalam diam. Langkah yang lambat bukanlah keterlambatan---melainkan bentuk paling jujur dari keberanian untuk hidup secara utuh.

Saya pun pernah dalam satu persimpangan: mempertimbangkan untuk pindah jurusan pendidikan. Pada awalnya, segalanya terasa gelap---tidak ada kepastian, tidak ada jaminan bahwa itu pilihan yang lebih baik. Namun perlahan, ketika saya mulai berhenti takut, muncul pertanda halus bahwa saya harus bergerak. Langkah kecil itu pun memunculkan progres. Bukan progres yang bisa langsung dilihat orang lain, bukan pula yang bisa saya ukur dengan angka. Namun, saya merasakan dan tahu---dalam diam, ada sesuatu yang tumbuh dalam diri. Dan dari situ saya belajar: progress yang paling sejati seringkali tidak terlihat oleh siapapun---kecuali oleh kita sendiri yang menjalaninya dengan sungguh-sungguh.

Sebagai penutup, saya ingin berbagi satu nasihat guru pelajaran musik saya saat SMP---seseorang yang dikenal tegas, tapi penuh perhatian. Seusai saya gagal dalam ujian praktik musik akhir tahun, beliau menatap saya dan berkata, "sukses itu bukan waktu kau menang, ya, Ren, tapi waktu kau masih mau belajar meski gagal." Saat itu, saya hanya terdiam. Namun, suara khas ketimurannya terus bergaung dalam ingatan saya. Kini, bertahun-tahun setelahnya, saya mulai mengerti, bahwa selama kita masih mau belajar, masih mau melangkah, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar gagal. Karena dalam hidup, keberhasilan bukan sekadar garis akhir---melainkan kesediaan untuk terus berjalan, meski pelan, meski tertatih.

 

Pada akhirnya, progress is never ending. Dan itu bukan kutukan---justru, itu adalah anugerah. Anugerah karena kita saat ada kesempatan untuk memperbaiki yang patah, menyempurnakan yang kurang, dan merawat kehidupan kita yang terus bergerak. Untuk menjadi manusia yang lebih jujur untuk diri sendiri, lebih bijaksana dalam hidup, dan lebih berguna untuk komunitas dan lingkungan tempat kita berpijak. Karena selama kita masih berjalan, selalu ada ruang untuk bertumbuh. Dan selama itu pula, hidup tetap punya harapan.

References:

  • Erik Erikson, 1950, Childhood and Society, New York: Norton http://archive.org/details/dli.ernet.19961/page/n1/mode/1up
  • Abraham  Maslow, 1943, A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370--396.
  • Viktor Frankl, 1959, Man's Search for Meaning, Beacon Press.
  • Carl  Jung, 1964, Man and His Symbols, London: Aldus Books.
  • Ruth Richards & Terri Goslin-Jones, 2018, Everyday Creativity: Challenges for Self and World---Six Questions, dalam Robert J. Stenberg & James C. Kaufman, The Nature of Human Creativity,  Cambridge University Press, hlm. 224---245.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun