Setiap 20 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Momen ini menandai pergeseran perjuangan rakyat Indonesia dari bentuk sporadis dan kedaerahan menjadi gerakan terorganisir yang bersifat nasional, dengan semangat memperjuangkan kemerdekaan, pendidikan, dan kesetaraan. Namun ironisnya, di tengah semangat untuk bangkit, Indonesia justru masih dihadapkan pada persoalan yang terus membayangi: pengangguran terdidik. Ini bukan sekadar statistik, tapi soal wajah-wajah muda yang telah menuntaskan pendidikan tinggi, namun masih belum juga menemukan tempat di dunia kerja.
Apakah ini soal kegagalan sistem pendidikan dan ketenagakerjaan nasional? Atau justru soal pilihan individu yang kurang cermat dalam menentukan arah hidupnya? Tulisan ini mencoba memberikan sudut pandang secara objektif.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru yang cukup mencemaskan. Pada Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional berada di angka 4,91%, turun dari 5,32% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, jika dirinci berdasarkan jenjang pendidikan, terlihat bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) justru mencatat angka tertinggi, yakni 9,01%, disusul oleh lulusan SMA sebesar 7,05%, dan bahkan lulusan diploma serta sarjana (D3 dan S1) mencapai 5,63%. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi Pendidikan tidak serta-merta menjamin pekerjaan lebih mudah diraih.
Fenomena ini memperlihatkan paradoks yang cukup mengganggu: pendidikan tinggi belum tentu menjadi solusi atas pengangguran. Padahal, selama ini pendidikan dipandang sebagai jalan mulus menuju kehidupan yang lebih baik. Maka, saat masih banyak lulusan diploma maupun sarjana yang masih menganggur, kita patut mempertanyakan: salahnya dimana?
Salah satu sebab yang dipandang memicu fenomena ini adanya mismatch antara dunia pendidikan dan dunia kerja atau dikenal sebagai "education-labor market mismatch". Hal ini berarti apa yang diajarkan di bangku kuliah tidak selalu selaras dengan kebutuhan riil di dunia industri. Penelitian oleh Neti dan Sari (2024) menunjukkan bahwa kurikulum di banyak perguruan tinggi masih belum adaptif terhadap dinamika pasar kerja yang cepat berubah. Lulusan dibekali teori, tapi minim praktik. Didorong menyusun skripsi, tapi tidak dilatih menghadapi wawancara kerja atau mengelola konflik di lingkungan kerja.
Penyebab lain yang dapat diidentifikasi yakni bahwa pilihan dari individu sarjana dinilai berdasarkan popularitas ataupun tekanan sosial, bukan karena ketertarikan personal ataupun kebutuhan pasar. Pilihan ini pun bisa jadi boomerang. Misalnya, lulusan dari program studi yang peminatnya banyak, tetapi peluang kerjanya sempit, akan bersaing sangat ketat di pasar kerja. Ketika tidak terserap, akhirnya menjadi bagian dari statistik pengangguran terdidik.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah ekspektasi lulusan terhadap pekerjaan. Banyak sarjana yang hanya ingin bekerja di sektor formal, di kantor dengan gaji tetap, alih-alih mempertimbangkan pekerjaan informal ataupun menjadi wirausahawan. Padahal, lapangan kerja formal tidak bertumbuh secepat pertumbuhan jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya.
Mengatasi penggangguran terdidik tidak bisa dilakukan dengan menyalahkan satu pihak saja. Hal ini merupakan persoalan kolektif yang menuntut kolaborasi antaraktor. Pemerintah, lembaga pendidikan, industri, dan individu, semua memiliki tanggung jawab. Pemerintah memiliki peran sentral dalam Menyusun kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan yang selaras. Konsep Merdeka Belajar yang ada perlu dikelola dengan efektif sehingga bukan hanya sebatas slogan, tetapi benar-benar fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan industri. Selain itu, program pelatihan vokasional, sertifikasi keterampilan digital maupun keterampilan sesuai kebutuhan industri perlu ditingkatkan, serta insentif bagi wirausahawan muda perlu diperluas. Sinergi kebijakan pemerintah dan pelibatan seluruh pemangku kepentingan, pengangguran terdidik bukan mustahil untuk ditekan---asal komitmen Bersama dijalankan secara konsisten dan berorientasi pada masa depan.
Perguruan tinggi pun harus lebih terbuka dan responsif terhadap perubahan dan kebutuhan industri. Kurikulum yang kaku dan teoritis pun harus dirombak. Integrasi antara lembaga pendidikan dan industri harus semakin intensif dalam menyelenggarakan program magang serta praktik kerja lapangan. Hal ini dapat mempersiapkan calon sarjana dalam menghadapi dunia pekerjaan yang sebenarnya. Kampus juga dapat memanfaatkan relasi dengan dunia industri dalam penyelenggaraan bursa pekerjaan dan prospek karir sejak dini. Dengan langkah-langkah tersebut, perguruan tinggi diharapkan tidak hanya mencetak lulusan yang berilmu, tetapi juga mampu menjembatani mahasiswa menuju dunia kerja yang dinamis dan penuh tantangan.
Pihak pelaku usaha dan dunia industri pun juga harus mau "turun tangan" dalam proses pendidikan. Bukan hanya sebagai pengguna akhir tenaga kerja, pelaku industri juga perlu berkolaborasi sebagai mitra dalam pembentukan kompetensi lulusan. Pelaku usaha dapat turut memberikan lokakarya dan sertifikasi yang dibutuhkan sesuai kebutuhan industri. Program mentoring pun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dalam program kolaborasi dengan lembaga pendidikan. Dengan demikian, keterlibatan aktif pelaku usaha dan dunia industry bukan hanya membantu menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai, tetapi juga memperkuat ekosistem pendidikan yang relevan, adaptif, dan berorientasi masa depan.