Semenjak kolom Kompiasana ini disusun, beberapa rekan kerap bertanya "kenapa gacor banget tulis kalau boleh tahu?",  "Kenapa harus menulis, sih?", atau  "Kenapa gak buat podcast aja?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut pun turut "menemani" saya dalam keseharian, maupun saat malam sudah hening tapi kepala tetaplah ramai.
Bagi saya, menulis bukanlah sekadar menuangkan huruf, angka dan spasi dalam kertas maupun layar. Praktik menulis ini pun menggambarkan sebuah keberanian. Keberanian untuk melihat ke dalam diri sendiri. Keberanian untuk bersuara atas banyak hal di tengah dunia yang semakin bising dan semakin sunyi dalam waktu bersamaan.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa menulis?
Kita saat ini hidup di era informasi. Informasi datang dan pergi begitu cepat tanpa kita sadari kita sering terbanjiri arus informasi setiap hari. Informasi tersebut jarang diuji lebih lanjut. Hal ini berakibat pada kedangkalan. Kedangkalan ini pun juga dapat bermuara pada lemahnya pemaknaan. Terkait hal ini, menulis menjadi penawar dari gejala kedangkalan tersebut. Menulis memungkinkan kita untuk mengambil jeda, menata ulang pikiran, memilih mana yang penting, dan menimbang keyakinan kita atas seluruh informasi yang kita terima sejauh ini. John Dewey (1933) mengungkapkan hal ini sebagai "reflektif thinking"---dimana menulis menjadi bentuk proses aktif dan terus menerus dalam menimbang keyakinan dan asumsi berdasarkan bukti.
Menulis juga dapat menjadi alat pemulihan dan penguatan mental. Kita dapat menuangkan "suara" kita, berupa huruf dan kalimat, dalam senyap. Penelitian Pennebaker dan Seagal (1999), misalnya, menunjukkan bahwa menulis ekspresif dapat mengurangi stres, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan memperkuat kontrol emosi. Menulis merupakan terapi dalam sunyi. Memungkinkan kita "mendengar" kembali diri kita akan kegelisahan kita.
Lebih dari itu, menulis membantu kita bertumbuh. Menulis memaksa kita untuk membaca lebih banyak, berpikir lebih dalam, menguji lebih jauh, dan berkata lebih jernih. Bagi orang yang sibuk bekerja, belajar, ataupun berkeluarga, menulis bukanlah soal menjadi penulis professional. Menulis menjadi bagian dari cara menjaga kewarasan, merawat nalar, dan mempersiapkan diri untuk menjadi versi terbaik dari diri kita.
Menulis juga bukanlah hal yang netral. Ia dapat menjadi perlawanan terhadap ketidakadilan, ketimpangan, atau bahkan terhadap banalitas hidup yang monoton. Dalam sejarahnya, banyak perubahan sosial dimulai dari Tulisan. RA Kartini menulis surat dan menciptakan riak intelektual. Pramoedya Ananta Toer menulis dari dalam penjara dan menyulut api kesadaran nasional. Masih banyak contoh lain yang dapat menambah daftar terkait hal ini.
Menjadi pun dapat menjadi alat transformasi. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), menjelaskan bahwa bahasa memiliki peran politis. Menulis berarti memilih diksi. Setiap pilihan diksi tersebut adalah penempatan posisi. Maka, saat kita menulis, kita sedang menentukan posisi kita dalam sejarah, walau hanya dalam lingkup kecil dalam kehidupan kita sehari-hari.
Menulis juga adalah cara melawan lupa. Di negeri yang ingatannya pendek dan yang dalam banyak contoh yang menunjukkan arsipnya tidak terawat, menulis dapat menjadi bentuk arsip personal, arsip sosial, bahkan arsip emosional. Menulis menggambarkan apa yang kita alami, pikirkan, rasakan. Menulis membuat semuanya tidak lenyap begitu saja ditelan waktu.
Tulisan adalah jejak yang bisa bertahan. Ia tidak tersapu oleh derasnya waktu. Ia lebih abadi dari status media sosial ataupun konten reels atau short videos yang mungkin hanya muncul sekilas. Saat kita menulis, kita sedang membangun "legacy" atau peninggalan. Yang bisa dibaca, dimaknai, dan bahkan diwarisi.