Dulu saya berpikir bahwa kebahagiaan adalah puncak. Titik tertinggi setelah perjuangan panjang. Namun, bertambahnya hari, dunia ini memberikan sudut pandang lain bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan akhir—melainkan teman seperjalanan. Menariknya, teman di sisi lain adalah kesedihan. Mereka berdua merupakan ‘dua sekawan’. ‘Persahabatan’ ini juga digambarkan dengan baik dalam film ‘Inside Out’ karya Pete Docter dan Ronnie Del Carmen pada release pada tahun 2015 lalu.
Tulisan ini bukanlah untuk membahas film dimaksud. Namun, tulisan ini mencoba memberikan sudut pandang reflektif filosofis diri Penulis. Premis utamanya: saat kita merasa sangat bahagia, bukankah akan ada semacam perasaan takut bahwa semuanya dapat hilang tiba-tiba? Begitu juga sebaliknya, saat kita sedang sedih, di situ muncul secercah harapan kecill—bahwa besok bisa sedikit lebih ringan? Dalam pemikiran inilah mulai muncul pemahaman: dua rasa ini bukanlah musuh, tetapi saudara yang saling menyeimbangkan. Dua rasa ini bagaikan ‘two-side of a coin’
Barangkali kita dibekali dengan nasihat untuk kuat, tegar, dan tidak menangis. Namun kenyataannya, kesedihan itu adalah bagian dari hidup. Seperti kerikil kecil yang masuk dalam sepatu kita—terkadang kita tidak sadar bagaimana Ia sudah ada di dalam, tapi Ia cukup untuk mengganggu langkah kita. Tidak harus ada kehilangan besar atau kegagalan besar untuk kita merasa sedih. Hal-hal kecil pun—seperti perasaan terabaikan, tidak dihargai, atau sekadar hari-hari kita terasa sunyi—dapat menghadirkan kesedihan tersebut.
Mungkin kita pernah mengalami situasi berikut: punya lemari penuh pakaian, tapi tetap merasa tidak punya pakaian yang tepat untuk digunakan. Penggambaran itu cukup relevan dengan situasi saat kita masih dapat bangun tidur dengan tubuh sehat, pekerjaan yang menunggu, tetapi hati terasa kosong. Dalam momen itu, kita patut bertanya: apakah memang kita sedang lelah secara emosi?
Jonathan Rottenberg (2014) menyebut situasi di atas sebagai low mood state—kondisi dimana emosi tidak ekstrem tapi terus mengendap. Hal ini seperti lumpur yang terus terakumulasi dalam satu kanal sungai secara terus-menerus. Awalnya lumpur tersebut dapat terabaikan, namun lumpur tersebut dapat menghambat aliran air dalam sungai tersebut. Rottenberg menyebut ini sebagai emotional context insensitivity, dimana emosi negatif bertahan karena ketidakmampuan sistem afektif kita merespons lingkungan dengan tepat. Ketidakmampuan kita untuk memastikan mengalirnya kehidupan kita.
Kesedihan, meskipun menyakitkan, kadang justru menjadi pengingat bahwa kita masih hidup, bahwa kita masih bisa merasa. Dari sanalah ruang refleksi dibuka. Saat kita sedih, entah bagaimana, malah membuat kita lebih peka terhadap orang lain. Saat kita mengalami luka pun, kita mungkin diajar untuk lebih pelan dalam menghakimi, lebih cepat dalam merangkul. Mungkin, sunyi dari kesedihan itu ‘diciptakan’ untuk mengasah empati dalam diri kita. Terkadang pun, pelajaran hidup datang dengan cara yang tidak kita minta. Namun, kita harus selalu siap dengan segala pelajaran yang akan diberikan bagi kita.
Hal sebaliknya, kebahagiaan seringkali dirasakan seperti pesta besar. Penuh canda tawa ataupun foto penuh filter. Namun, dengan bertambahnya hari, kebahagiaan itu, sama seperti kesedihan, pun sunyi. pada saat kita dapat duduk minum kopi di tengah pagi buta ataupun sore hari yang teduh. Ataupun pada saat melihat orang yang kita sayangi tertidur pulas setelah melalui kesehariannya. Kebahagiaan itu pun hadir saat tidak ada tepuk tangan dan saat tidak ada notifikasi.
Daniel Kahneman, dalam bukunya Thinking Fast and Slow, menyebut situasi ini sebagai experiencing self and remembering self. Kebahagiaan pertama kita rasakan beriringan dengan berjalannya tiap detik kehidupan kita. Yang kedua merupakan cerita dan kenangan atas perjalanan yang sudah kita lalui. Ironisnya, dalam era sekarang ini, kita cenderung mengejar kebahagiaan sebagai “koleksi kenangan” dibandingkan pengalaman berjalan. Kita ingin punya cerita bahagia, tapi tidak ingin merasa bahagia saat ini.
Terkadang pun, saat kita bisa bangun lebih pagI, kita dapat menikmati kopi atau teh sembari mendengarkan ‘kesunyian’ dalam denting jam dinding. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada kegelisahan. Tidak ada terburu-buru. Hanya keheningan yang terasa. Dan dalam diam seperti itu, kebahagian dapat menyelip masuk tanpa suara. Kebahagiaan yang dibalut rasa syukur atas segala hal.
Kesedihan dan kebahagiaan dapat dipandang juga seperti dua jalur rel kereta api. Mereka tidak akan pernah bertemu, tapi mereka beriringan. Mereka sama-sama bermanfaat dalam perjalanan kereta tersebut. Kereta tersebut tidak akan berjalan kalau hanya ada satu rel. Begitu juga hidup kita. Pengenalan akan satu emosi saja, baik sedih saja ataupun bahagia saja, dapat membuat kita kehilangan keseimbangan hidup.