Jam dinding masih menunjukkan pukul 3.40 pagi. Saya duduk sendiri di meja makan hanya berteman suara detak jam dinding dan hanya kopi hitam yang penuh kepahitan. Di luar, langit masih gelap. Namun, dalam kepala, hanya ada terang. Tidak ada kepahitan dan kegelapan. Saya merasa hidup---bukan karena saya lebih produktif, tapi karena saya tidak merasakan buru-buru. Bagi saya, menikmati keheningan pagi yang masih gelap merupakan satu anugerah yang patut disyukuri setiap hari.
Ada juga pesan dari seorang tua yang pernah saya temui "kalau kau ingin mendengar suara batinmu, bangunlah sebelum suara dunia datang." Saya memahami kalimat ini bahwa, dalam konteks ini, bangun pagi bukanlah soal jam, tapi soal kesadaran.
Di era yang serba cepat ini, produktivitas sangat ditentukan oleh seberapa kita bekerja, bukan ditentukan oleh kapan kita bangun. Sejumlah riset justru menunjukkan bahwa waktu bangun punya pengaruh besar terhadap kinerja, kesehatan mental, bahkan struktur biologis tubuh kita. Hal ini pun berlaku bagi mereka yang sudah terbiasa bangun pada rentang pukul 3 hingga 6 pagi. Waktu ini dikenal sebagai salah satu fase paling tenang dalam circadian rhythm, yakni sistem internal tubuh yang mengatur tidur -- bangun manusia. Menurut Michael Walker (2017), tidur dan bangun yang selaras dengan ritme sirkadian (circadian rhythm) ---yakni tidur sebelum pukul 10 malam dan bangun antara pukul 4 -- 6 pagi---memberi manfaat besar bagi kerja memori, kestabilan emosi, dan kreativitas.
Memang tidak semua orang memiliki kemewahan untuk tidur pukul 10 malam dan bangun pukul 4 pagi. Bangun pukul 4 -- 6 pagi memang optimal bagi sebagian orang karena selaras dengan ritme biologi alami mayoritas manusia. Namun, ini bukanlah aturan mutlak. Semua orang dengan jam kerja fleksibel akan menghadapi tantangan besar terkait circadian rhythm. Mereka yang menjalani gaya hidup non-konvensional masih bisa mempertahankan kesehatan fisik dan mental---asalkan mereka mengenali ritme tubuhnya dan menerapkan prinsip sleep hygiene serta adaptasi cahaya dan aktivitas. Yang paling penting bagi kelompok ini bukanlah pada jam biologis yang "ideal", tapi pada konsistensi dan kualitas tidur serta kesadaran penuh terhadap kapan tubuh butuh istirahat dan pemulihan.
Namun, di balik soal jam biologis ini, ada dimensi sosial dan eksistensial dari kebiasaan bangun pagi yang menarik untuk direnungkan: bagaimana pagi memberi kita ruang, sebelum dunia mulai menuntut terlalu banyak.
Studi yang dilakukan oleh Christoph Randler (2010) menyebutkan bahwa mahasiswa yang memiliki preferensi sebagai morning person memiliki performa akademik lebih tinggi dibandingkan mereka yang suka bergadang. Salah satu alasannya adalah karena mereka memiliki waktu lebih untuk perencanaan, refleksi, dan pengambilan keputusan tanpa distraksi sosial yang berlebihan. Bangun lebih awal bukan hanya tentang miliki lebih banyak waktu, tetapi tentang punya waktu sebelum waktu orang lain dimulai.
Bangun pagi juga dapat menjadi bentuk kontrol diri atas hidup yang sering dibiarkan dalam kendali ritme eksternal. Dalam konteks masyarakat modern yang cenderung 'hiperaktif', memilih bangun pagi adalah tindakan kontemplatif. Kita menunda kecepatan, untuk mengejar kedalaman. Penelitian oleh Lyubormirsky, Sheldon, dan Schkade menunjukkan bahwa rutinitas pagi---seperti meditasi ringan, menulis jurnal, atau sekadar menyeduh kopi dalam kesunyian---berkontribusi pada kebahagiaan jangka panjang. Mereka menyebutnya sebagai intentional activity, yaitu aktivitas yang disengaja dan memberi rasa kendali terhadap hidup. Pagi hari adalah waktu terbaik untuk itu, ketika gawai belum berbunyi dan dunia belum meminta kita untuk jadi orang lain.
Dari sisi spiritual, kebiasaan bangun di waktu sepertiga malam terakhir atau menjelang subuh telah lama menjadi bagian dari praktik keagamaan dan kontemplatif lintas tradisi. Dalam Islam, waktu antara pukul 3 -- 5 pagi dikenal sebagai waktu mustajab untuk berdoa dan bermunajat, terutama dalam ibadah tahajud. Dalam Buddhisme dan Hindu, jam tersebut disebut brahma muhurta---periode sekitar 1,5 jam sebelum matahari terbit---yang dipercaya sebagai waktu paling murni secara spiritual untuk meditasi karena pikiran masih jernih dan belum ternoda kesibukan duniawi. Demikian pula Kekristenan, muncul gerakan spiritual, seperti morning devotion atau prayer watch yang mendorong pembacaan Kitab Suci dan doa pribadi dalam waktu sunyi tersebut. Situasi ini juga sejalan pendapat Koenig dkk (2012) dalam buku Handbook of Religion and Health yang mencatat bahwa orang yang melibatkan spiritualitas dalam rutinitas paginya memiliki ketahanan stres yang lebih baik, daya lenting emosional yang lebih tinggi, serta kualitas hidup yang lebih stabil. Spiritualitas pagi tidak harus religius; bisa juga sekadar duduk diam dalam sunyi, menyadari nafas sendiri, atau menulis satu kalimat reflektif dalam buku harian kita.
Namun, tentu saja bangun pagi tidak serta-merta membuat hidup kita jadi utuh. Ia tidak sakti. Tapi, pagi memberi kita ruang untuk menjadi manusia terlebih dahulu, sebelum menjadi peran: pekerja, pengusaha, pasangan, orang tua, atau anak. Dalam dunia yang sibuk, ruang itu langka. Lalu, akan timbul pertanyaan "Kalau begitu, apa keuntungan praktis bangun jam 4 pagi? Apakah pekerjaan akan lebih cepat selesai?", jawaban saya, "tidak selalu. Tapi, saya bisa menyelesaikan diri saya terlebih dahulu. Bukan tugas yang menguras yang penting---tapi ketidaksiapan mental saya saat menghadapinya yang lebih penting untuk diselesaikan."
Akan ada pula yang berpandangan, "saya 'kan bukan morning person." Atau "saya lebih bisa mikir setelah gelap" itu sah. Saya bisa memahami. Setiap pribadi memang mempunyai kecenderungan alami waktu tidur sehubungan dengan chronotype-nya---baik itu lebih aktif bangun pagi (morning type), lebih aktif malam (evening type), dan berada di antaranya (intermediate type). Harus disadari bahwa tidak semua kita juga punya siklus biologis yang sama. Namun, tulisan ini ingin menekankan bukan soal jam mutlaknya, tapi kesadaran terhadap waktu sunyi---entah itu pukul 4 pagi ataupun 11 malam---yang memungkinkan kita untuk hadir secara utuh bagi diri kita sendiri.