Bus Sinar Gemilang melaju kencang menyusuri setiap bentangan aspal. Terkadang mendaki, menurun, menikung dan berhenti ketika bertemu beberapa penumpang. Di kiri kanan jalan nampak rumput kemuning terhampar luas ditemani beberapa pohon. Kecuali di Temef, jalannya berkelok bak ular di sepanjang bibir tebing. Aku agak ngeri tapi kesedihanku jauh lebih mengerikan. Aku melihat semuanya dari balik kaca jendela bus sambil menyeka air mata. Aku tidak menyangka sedikitpun aku akan meninggalkan orangtua dan adik -- adikku. Jika aku ingat kembali setiap detil momen kebersamaan kami, saat bercanda, tertawa dan bercerita dengan cerewet. Rasanya aku ingin melompat keluar dari bus ini, lalu lari menyongsong mereka dengan pelukan. Tapi takdir telah menghantarku sampai di sini. Aku harus berani. Aku harus mampu mempertanggung-jawabkan apa yang telah terjadi.
Di sebelahku duduk seorang pria paruh baya. Usianya mungkin lebih muda dari ayahku. Rambutnya belum beruban. Namun kerutan nampak jelas di kedua sudut mata dan keningnya. Sejak keberangkatan dari Terminal Naresa, ia terus memperhatikan aku. Sepertinya ia ingin bertanya saat melihatku menangis. Tapi ia belum berani, karena aku memang tidak mau diganggu. Apalagi oleh pria yang belum aku kenal. Aku lebih memilih melihat pemandangan di luar. Ia sempat menawarkan tisu kepadaku. Aku menerima tisu itu, lalu menangis lagi tanpa peduli padanya.
Di Niki-Niki kami beristirahat makan di Rumah Makan Singgalang. Aku memilih duduk sendirian di pojok rumah makan. Pria itu berjalan mendekati aku lalu duduk semeja denganku. Ia sodorkan tangannya sambil tersenyum.
      "Rony. Kau boleh panggil Om Rony. Nona nama siapa?" Katanya membuka pembicaraan.
      "Rini, Om". Jawabku.
      "Nama yang bagus, untuk perempuan secantik kau. Omong -- omong, Rini mau ke mana?" Aku hanya diam. Karena aku sebenarnya tidak tahu tujuanku. Di Kupang, aku tidak punya keluarga atau pun kenalan.
      "Ke Kupang ya?" Aku mengangguk.
      "Ada keluarga di sana?" Aku menggeleng.
Aku melihat dia terkejut keheranan. Ia kemudian hening sejenak sambil berpikir. Ia mengambil sebatang rokok dari bungkusan di tangannya, dan meletakkan di bibirnya. Ia menatapku.
      "Rini, sebenarnya kau ada masalah apa? Ceritakan ke Om, siapa tahu Om bisa membantu". Aku hanya menangis. Pertanyaannya menyentak nuraniku. Ternyata masih ada orang baik di dunia ini.
      "Rini lari dari rumah ya?" Ia bertanya lagi sambil membakar rokok di bibirnya. Aku terus menangis, seolah tidak peduli pada pertanyaan yang ia lontarkan.