Mohon tunggu...
REDEMPTUS UKAT
REDEMPTUS UKAT Mohon Tunggu... Lainnya - Relawan Literasi

Lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih (1kor. 16:14)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Masih Mencintaimu Bapak

20 Februari 2021   23:03 Diperbarui: 20 Februari 2021   23:21 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Atambua, Pukul 09.00.

Di kamar kecil berdinding bebak[1] aku menangis. Perasaanku berkecamuk. Aku ingin berteriak sekeras mungkin melepaskan beban yang membelengguku. Namun mulutku telah terkunci rapat - rapat. Aku hanya mampu terisak. 

Getir rasanya berada pada situasi semalam. Saat ayah tak henti -- hentinya menghujani aku dengan sumpah serapah dan sebuah tamparan keras di pipi kiriku. Ibu pun hanya bisa menjerit sembari sesekali berusaha membela aku. Tapi dia tak berdaya. Dia hanya seorang perempuan sepertiku. Lemah. Suaranya tak cukup kuat menahan ayah bertindak kasar padaku.  

Kini di pikiranku hanya terlintas satu kata "lari". Aku tak bisa hidup di rumah bagai neraka ini. Aku harus pergi. Aku harus mulai hidupku yang baru, di tempat yang baru. Aku bawa janinku. Anak yang tak berdosa. Sekalipun nanti anak ini lahir tanpa ayah, aku tak peduli. Akan kurawat dia dengan kasih sayang.

"Riiiiniii! Buka pintu. Ini mama sayang. Mama mau bicara". Dengan cepat aku menyimpan kembali pakaian -- pakaian yang sementara kukemas ke dalam lemari. Lalu membuka pintu kamarku, membiarkan ibuku masuk. Ibu menatapku, matanya berkaca -- kaca.  Ibu memelukku erat. Air matanya jatuh membasahi punggungku.

"Rin, semua sudah terjadi, tidak ada yang perlu kau sesali. Kau harus berani tuk hadapi ini semua. Kau sudah dewasa". Kata ibu sambil terisak.

"Iya mama, tapi mama aku harus pergi. Aku sudah mencoreng wajah keluarga kita, aku tidak mau merepotkan mama, bapak dan semuanya. Aku mau hidup sendiri". Jawabku

"Kau mau ke mana Rini? Tolong jangan pergi, Nak. Tetaplah di sini, Mama sangat menyayangimu". Kata mama mencoba menahan niatku. Ia melepaskan pelukannya dan  menatapku dalam. Kulihat matanya berkaca -- kaca oleh air mata. Kelopak matanya membengkak oleh tumpukkan beban yang sukar diungkapkan dengan kata -- kata. Aku tahu bahwa ia mencintaiku, tetapi ia hanya perempuan lemah sepertiku. Kami tak mampu melawan kerasnya laki -- laki dan takdir.

"Mama, aku tahu mama sangat menyayangiku. Tapi Ma, aku sudah memberikan tuba yang sangat pahit bagimu. Mama, sekalipun aku bertahan, aku tak mungkin melawan bapak dan sumpah serapahnya. Aku bukan anak yang pantas baginya lagi. Aku sudah berusaha jadi anak yang baik, tapi aku gagal. Mama, lihatkan bagaimana reaksi papa semalam. Ia amat kecewa padaku. Lihat wajahku Ma, apa masih ada bentuk? Aku sekarat Ma. Bukan hanya tubuhku, tetapi hatiku juga. Mama biarkan aku pergi".

Kulihat mama sangat terpukul dengan kata -- kataku. Ia keluar dari kamar dengan sempoyongan. Isak tangis tertahan pada lehernya. Ia menahan sakit hati yang amat dalam. Entah dengan apa akan diobati. Aku pun mengutuk diriku sendiri karena ini. Tapi dalam hati kecilku yang paling dalam aku masih berharap pada Tuhan untuk membuka satu kesempatan lagi. Kesempatan untuk tetap hidup dan memperbaiki kesalahan -- kesalahanku. Bukan di rumah ini, tetapi di suatu tempat, di tempat yang menjanjikan surga bagiku.

Aku mengambil lagi pakaian -- pakaianku. Aku kemas semuanya secara acak pada tas ransel coklatku dan menunggu waktu yang tepat untuk pergi. Namun sebelum pergi, tak lupa kutuliskan sebuah surat pada ayahku. Seorang pria perkasa yang sangat kuhormati. Aku kenal betul dirinya. Ia sungguh seorang ayah yang kuat, pekerja keras dan terhormat. Sekalipun ia hanyalah seorang tukang bangunan, ia sangat disegani di kota kecil ini.

Peristiwa ini membuatku menyesal. Nafsu dan kenikmatan sesaat telah mencuri mereka dariku. Kini aku hilang dan tenggelam dalam lautan kelam. Mereka semakin jauh, jauh, dari pandangan mataku. Satu yang tak bisa kupungkiri adalah aku mencintai mereka semua, terutama ayahku. Tetapi aku harus pergi, mencari duniaku sendiri. Iya, aku ingin mencari mutiara dengan tangan dan keringatku supaya kelak kubisa tunjukkan pada semua orang bahwa aku mampu untuk melakukan sesuatu yang baik.

Bapak, Kau tahu aku sangat mencintaimu.

Dari dulu sejak pertama aku bisa merasa, rasa yang pertama aku rasakan adalah mencintaimu.

Sampai detik ini, ketika bapak membaca surat ini aku pun masih mencintaimu. 

Sampai suatu saat bapak menemukan aku entah aku hidup atau mungkin sudah mati aku tetap mencintaimu, Bapak.  

            Bapak, aku pergi. 

            Doaku bersama Kalian.

 

                                                                                                                        Rini

***

Terminal Naresa, Pukul 11.00.

Di terminal sepi ini, aku duduk menanti bus Sinar Gemilang ditemani lalu lalang beberapa mikrolet. Aku mencoba melupakan segala persoalan dan menjemput masa depan baru di Kupang. Di rumah, masa depanku telah musnah dihancurkan pria brengsek yang menghamili aku. Mau tidak mau aku harus pergi. Apalagi semalam ayah marah besar. Ia menamparku tanpa peduli aku sakit atau tidak. Ia cuma ingat harga dirinya.

"Rini, kau coreng muka bapakmu. Mau taruh di mana muka ini. Apa kata orang tentang bapak. Pasti mereka bilang bapakmu tak becus mengurusmu. Padahal kau tahu sendiri bagaimana bapak memenuhi segala kebutuhanmu". Kata ayah semalam dengan nada tinggi, mata melotot tajam ke arahku sambil menunjuk -- nunjuk wajahnya sendiri.

"Besok, Kau bawa laki -- laki kurang ajar itu ke sini. Biar bapak ajar dia bagaimana jadi laki -- laki yang baik. Kalau sampai laki -- laki itu tidak muncul di sini, lebih baik kau angkat kaki dari rumah". Aku tidak mungkin membawa pria itu ke rumah. Dia sudah melarikan diri ke Bali setelah mengetahui aku hamil.

"Coba kau lihat, Vanny anaknya Pak Frans. Dia dilamar baik -- baik pakai acara adat, dia dihargai dengan belis[2] dan mereka nikah suci. Padahal kelakuan ayahnya itu tidak becus, sering mabuk -- mabukan. Tukang judi. Kau bikin malu bapakmu". Sebuah tamparan pun mendarat. Aku tak sanggup mengingat. Sangat sakit. Jiwaku ikut terguncang. 

"Kau perempuan besar di rumah ini. Harusnya kau tunjukkan teladan yang baik untuk adik -- adikmu. Kau juga masih sekolah, baru kelas dua SMA. Apa yang bisa kau kerjakan di luar sana dengan ijasah SMP-mu. Pelayan toko?, Pembantu rumah tangga? Atau kau mau melacur, hah?" Kata -- kata ayah ini merobek hatiku.

Tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipi. Beberapa ibu yang duduk di sampingku melihatku dengan tanda tanya. Tapi tidak ada yang berani bertanya. Mungkin mereka merasa bahwa bukan urusan mereka. Ah, di kota sekecil ini, rasa empati kepada sesama apakah telah hilang. Aku jadi heran. Bukan aku butuh perhatian. Tapi apakah mereka tidak punya hati?

***

Bus Sinar Gemilang, Pukul 11.30 WITA

Bus Sinar Gemilang melaju kencang menyusuri setiap bentangan aspal. Terkadang mendaki, menurun, menikung dan berhenti ketika bertemu beberapa penumpang. Di kiri kanan jalan nampak rumput kemuning terhampar luas ditemani beberapa pohon. Kecuali di Temef, jalannya berkelok bak ular di sepanjang bibir tebing. Aku agak ngeri tapi kesedihanku jauh lebih mengerikan. Aku melihat semuanya dari balik kaca jendela bus sambil menyeka air mata. Aku tidak menyangka sedikitpun aku akan meninggalkan orangtua dan adik -- adikku. Jika aku ingat kembali setiap detil momen kebersamaan kami, saat bercanda, tertawa dan bercerita dengan cerewet. Rasanya aku ingin melompat keluar dari bus ini, lalu lari menyongsong mereka dengan pelukan. Tapi takdir telah menghantarku sampai di sini. Aku harus berani. Aku harus mampu mempertanggung-jawabkan apa yang telah terjadi.

Di sebelahku duduk seorang pria paruh baya. Usianya mungkin lebih muda dari ayahku. Rambutnya belum beruban. Namun kerutan nampak jelas di kedua sudut mata dan keningnya. Sejak keberangkatan dari Terminal Naresa, ia terus memperhatikan aku. Sepertinya ia ingin bertanya saat melihatku menangis. Tapi ia belum berani, karena aku memang tidak mau diganggu. Apalagi oleh pria yang belum aku kenal. Aku lebih memilih melihat pemandangan di luar. Ia sempat menawarkan tisu kepadaku. Aku menerima tisu itu, lalu menangis lagi tanpa peduli padanya.

Di Niki-Niki kami beristirahat makan di Rumah Makan Singgalang. Aku memilih duduk sendirian di pojok rumah makan. Pria itu berjalan mendekati aku lalu duduk semeja denganku. Ia sodorkan tangannya sambil tersenyum.

            "Rony. Kau boleh panggil Om Rony. Nona nama siapa?" Katanya membuka pembicaraan.

            "Rini, Om". Jawabku.

            "Nama yang bagus, untuk perempuan secantik kau. Omong -- omong, Rini mau ke mana?" Aku hanya diam. Karena aku sebenarnya tidak tahu tujuanku. Di Kupang, aku tidak punya keluarga atau pun kenalan.

            "Ke Kupang ya?" Aku mengangguk.

            "Ada keluarga di sana?" Aku menggeleng.

Aku melihat dia terkejut keheranan. Ia kemudian hening sejenak sambil berpikir. Ia mengambil sebatang rokok dari bungkusan di tangannya, dan meletakkan di bibirnya. Ia menatapku.

            "Rini, sebenarnya kau ada masalah apa? Ceritakan ke Om, siapa tahu Om bisa membantu". Aku hanya menangis. Pertanyaannya menyentak nuraniku. Ternyata masih ada orang baik di dunia ini.

            "Rini lari dari rumah ya?" Ia bertanya lagi sambil membakar rokok di bibirnya. Aku terus menangis, seolah tidak peduli pada pertanyaan yang ia lontarkan.

            "Begini Rini. Kalau benar Rini tidak ada keluarga di Kupang. Nanti Rini nginap saja di rumah Om sampai Om temukan kost untukmu". Ia menghisap rokoknya dan menghembuskan kembali asap lewat mulut dan hidungnya. Aku mengangguk pelan sambil terus menangis. Ada rasa haru. Ada pun kekhawatiran. Tapi aku terima saja tawaran baik ini.

Setelah makan, Bus kembali melaju. Kali ini aku merasa lebih nyaman duduk di samping Om Rony. Sekalipun aku tidak berbicara dengannya aku merasa lebih leluasa bersikap. Aku tidak harus melihat keluar bus terus menerus. Sesekali aku melihat orang -- orang di dalam bus. Dua orang ibu yang duduk bersebelahan dengan kami nampak tertidur lelap. Om Rony pun matanya tampak sayup -- sayup menahan kantuk yang hebat. Sedangkan si konjak, asyik menggelantung di pintu bus menikmati hembusan angin sepanjang perjalanan.

***

Kupang, Pukul 17.00

Kami tiba di Kupang saat langit tampak berwarna jingga keemasan. Kami berhenti sejenak di Terminal Oebobo, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan mikrolet ke suatu tempat yang aku tidak tahu namanya. Selama dalam perjalanan Om Rony diam saja.

Ia tidak mengajak aku berbicara kecuali pada saat turun dari bus dan naik mikrolet. Selebihnya ia asyik mengisap rokok yang seolah tak pernah habis. Kadang -- kadang ia mengambil hape dari saku depan celananya, melihat sebentar dan menyimpan kembali ke saku yang sama. Hingga akhirnya ia memberhentikan mikrolet di depan sebuah rumah yang cukup besar.

            "Ayo turun Rinny, kita sudah tiba di rumah Om". Kata Om Rony sambil mengajak aku turun dari mikrolet. Ia kemudian mengambil 3 lembar uang dua ribu dari dompetnya dan memberikan pada konjak[3] mikrolet. Setelah mikrolet berlalu, ia membimbing aku masuk ke rumahnya. Rumah itu tampak sepi. Tak ada sambutan istri atau anak atau pun pembantu. 

Ia kemudian membuka pintu rumah, mempersilahkan aku masuk dan menutup kembali pintu.

            "Jangan sungkan Rinny, anggap saja rumah sendiri". Kata Om Rony sambil mengangkat hape[4] dan meletakkan ke telingannya. Ia lalu berjalan menjauh dariku. Aku hanya diam. Aku sebenarnya sangat tidak nyaman berada di rumah ini cuma berdua dengan si Om. Pikiranku mulai dihantui berbagai kecemasan. Aku ingin bertanya ke mana istri dan anak -- anaknya tapi aku takut ia tersinggung.

Di tengah kecemasan ini aku ingat surat yang kutulis untuk ayah. Apakah ayah telah membaca suratku atau tidak? Karena biasanya jam -- jam ini adalah waktu ia berada di rumah. Secapek apa pun ayah, ia pasti singgah ke kamarku untuk memastikan keberadaanku. Jika telah membaca suratku, ia merasa kehilangan aku, atau biasa -- biasa saja. Aku berharap ia merindukan aku.

Tiba -- tiba Om Rony berdiri di hadapanku dengan lima pemuda yang entah muncul dari mana. Mereka menangkap dan memperkosaku secara bergantian. Aku berusaha melawan tapi tak kuat. Aku katakan bahwa aku sedang hamil pun tak ada yang menggubris. Mereka makin asyik melampiaskan nafsunya. Aku kalah. Aku benar -- benar hancur.

Mereka kemudian membawaku ke suatu tempat lain. Di sana aku bertemu dengan puluhan perempuan yang senasip dengan aku. Aku akhirnya sadar, Om Rony adalah sindikat perdagangan perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun