Sewaktu kuliah dulu, beberapa tahun sebelum rezim orde baru runtuh, kadangkala masih suka iseng merokok, dari duit sisa makan siang.  Makan siang tak sampai seribu, sisanya dibelikan sebatang rokok di warung, kretek merek satu dua tiga waktu itu sebatangnya seratus lima puluh ribu rupiah, terkadang kalau sisa uang ngepas, dibelikan kretek yang bungkusnya berwarna hijau, merk wish me luck yang sebatangnya seratus perak.  Nilai tukar rupiah terhadap dollar US waktu itu masih sekitar dua ribuan.
Beda dengan salah seorang saudara, yang kelasnya sudah bungkusan, sehari dia bisa menghabiskan sekitar dua bungkus. Â Sampai akhirnya tahun 1998, ekonomi negara ambruk, nilai rupiah anjlok. Harga semua barang melonjak naik, begitu pula dengan rokok tentunya.
Bagi perokok iseng seperti saya tak masalah, karena bukan menganggapnya bagian dari kewajiban, maka gampang saja untuk berhenti tak peduli dengan kenaikan produk berbahan tembakau itu. Â Beda dengan kawan dan saudara, sepertinya tak terpengaruh dengan imbas permasalahan ekonomi global sama sekali. Â Asap masih saja rajin mengepul dari mulut mereka.
Rokok bagi penggunanya, adalah candu, ibarat bagian pelengkap dari makanan pokok sehari-hari, bisa dikatakan empat sehat enam sempurna dengan asap rokok.
Lalu sekarang ada rencana ingin menaikkan cukai rokok dengan alasan mengendalikan konsumsi rokok agar masyarakat bisa lebih sehat sekaligus sebagai strategi untuk menggerek pendapatan negara?
Untuk alasan pertama, terus terang sangat tidak efektif. Â Bagaimana bisa mengendalikan hal yang bersifat psikis dengan kebijakan moneter? Harga rokok yang terus meroket berpuluh kali lipat semenjak orde baru sampai jaman reformasi sekarang tak juga bisa menurunkan penikmatnya.
Bagaimana bisa diturunkan, jika bagi mereka menghembuskan asap rokok tak beda seperti menghirup oksigen untuk hidup? Â Walaupun ada peringatan penyakit yang mengerikan di tiap bungkusnya. Â Perokok yang berhenti sendiri pun biasanya terkait dengan gangguan pernapasan akut yang menimpa, jera akibat penyakit yang akhirnya terasa. Â Alasan kesehatan lah satu-satunya yang bisa menghentikan perilaku hidup dengan asap itu.
Kenapa pemerintah tidak jujur langsung saja to the point ke pokok alasan yang kedua, yaitu strategi menggerek pendapatan negara. Â Lihat saja prospek pajak dari konsumsi rokok, jalur usaha dari produsen di tingkat petani sampai produsen perusahaan relatif lancar. Â Berbagai pilihan rokok pun tersedia sesuai selera di pasaran.
Kalau memang tujuan utamanya memang menaikkan pajak untuk pendapatan dari pajak negara (yang di beberapa titik pun seringnya bocor oleh beberapa oknum), sudahlah kemukakan itu saja. Â Relasinya dengan menurunkan konsumsi rokok dan kesehatan masyarakat hanyalah omong kosong, bisa dipastikan tak ada relasi yang kuat di antara dua premos tersebut.
Mari lihat saja nantinya, jika nyatanya kebijakan sejatinya atas nama pendapatan, bukan murni atas alasan kesehatan. Biarpun pajak dibikin tinggi, kepul asap rokok tetap akan meninggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI