Mohon tunggu...
narablog
narablog Mohon Tunggu... opini | mahasiswa

dikelola oleh harun alulu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Emas, Upeti, dan Para Penjaga Sunyi di Ramadhan

24 Maret 2025   21:24 Diperbarui: 24 Maret 2025   22:20 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
harun alulu | ketum KPMIP Cab. Limboto

Di tengah hamparan tanah yang mengandung emas, di bawah langit yang seakan mengawasi dengan diam, Bumi Panua tak pernah benar-benar tidur. Ia selalu bergolak, bukan karena letusan gunung berapi atau gempa bumi, melainkan karena pertarungan kepentingan yang tak berkesudahan.

Di tempat ini, hukum bukanlah soal benar atau salah, tetapi soal siapa yang bisa memastikan bahwa mesin tambang tetap berputar dan emas tetap mengalir. Tak ada yang benar-benar menginginkan pertambangan ilegal ini dihentikan, mereka hanya ingin memastikan bahwa aliran keuntungan mengalir ke jalur yang tepat.

Dan di sinilah peran sang koordinator.

Koordinator: Sang Penjaga Aliran Emas

Koordinator pertambangan rakyat bukanlah sekadar seseorang yang berdiri di tengah tambang, mengawasi pekerja yang berkeringat menggali tanah. Tidak, tugasnya jauh lebih kompleks daripada itu.

Ia adalah otak dari semua yang terjadi di bawah permukaan. Ia memastikan bahwa setiap gram emas yang keluar dari tambang ilegal ini memiliki jalur distribusi yang aman. Ia mengatur siapa yang harus menerima bagian, siapa yang harus diberi sedikit agar tetap diam, dan siapa yang harus diberi banyak agar bersedia menjaga.

Upeti yang dikumpulkan bukan sekadar untuk dirinya sendiri. Emas yang mengalir dari tambang ilegal ini harus sampai ke tangan yang tepat tangan yang bisa menjaga agar semua ini tetap berjalan.

Upeti: Harga dari Sebuah Keheningan

Di dunia pertambangan ilegal, keheningan adalah mata uang yang lebih berharga daripada emas itu sendiri.

Upeti yang dikumpulkan dari tambang ilegal ini bukanlah sekadar bagian dari keuntungan, melainkan biaya operasional untuk memastikan semuanya tetap berjalan mulus. Ada nama-nama yang harus diberi "rasa hormat," ada institusi yang harus "dibantu agar tetap bersahabat," dan ada individu yang harus "dihargai" agar tidak banyak bertanya.

Sejumlah uang dialokasikan untuk mereka yang berwenang. Sebab, hukum di negeri ini bukan tentang menegakkan keadilan, tetapi tentang siapa yang bisa menawar harga tertinggi.

Sejumlah lainnya diberikan kepada mereka yang duduk di posisi strategis, yang dengan satu perintah bisa menentukan apakah alat berat boleh beroperasi atau tidak, apakah laporan masyarakat akan diproses atau diabaikan.

Dan sebagian lagi tidak banyak, tetapi cukup diberikan kepada mereka yang berprofesi sebagai juru bicara informal. Wartawan, influencer lokal, atau aktivis yang "bisa diajak diskusi" akan diberi bagian agar opini tetap terkendali, agar berita yang keluar hanya membahas sepotong cerita yang menguntungkan pihak tertentu.

Sebab di dunia ini, kebenaran bukan sesuatu yang absolut. Ia bisa dibentuk, dimodifikasi, atau bahkan dibeli.

Dualisme Koordinator: Perang Kepentingan di Panggung Terbuka

Dulu, sistem ini berjalan dengan lancar. Tidak ada yang benar-benar menentang, sebab semua mendapat bagian mereka masing-masing. Namun, seperti halnya setiap kerajaan yang terlalu lama berdiri, akan selalu ada pemberontakan dari dalam.

Koordinator yang dulu berdiri sebagai satu kesatuan, kini terpecah menjadi dua kubu.

Kubu A, yang merasa ditinggalkan dari aliran upeti, mulai menyerang dengan cara yang paling efektif di zaman ini, menggempur opini publik. Mereka mendekati wartawan, menggandeng aktivis, dan memenuhi media sosial dengan narasi tentang "koordinator ilegal yang harus ditangkap." Mereka tidak benar-benar ingin pertambangan ini berhenti; mereka hanya ingin kembali ke dalam sistem dan mendapatkan bagian mereka lagi.

Sementara itu, kubu B yang saat ini memegang kendali, sibuk mengkonsolidasikan diri. Mereka berusaha memastikan bahwa para penerima upeti tetap setia, bahwa para pejabat tetap mendukung, dan bahwa pihak keamanan tetap menjaga tambang ini seperti sebelumnya. Mereka tahu bahwa dalam permainan ini, kesetiaan tidak didasarkan pada idealisme, melainkan pada seberapa banyak yang bisa diberikan.

Namun, semakin besar kegaduhan yang diciptakan, semakin besar pula tekanan yang datang. Kubu A menuntut tindakan tegas, kubu B berusaha bertahan, dan para petinggi daerah mulai gelisah.

Bukan karena mereka peduli dengan hukum, tetapi karena mereka tahu bahwa semakin besar perdebatan ini, semakin sulit bagi mereka untuk bersembunyi di balik layar.

Panggung Politik dan Kepentingan di Baliknya

Di tengah semua ini, para petinggi daerah memainkan peran mereka dengan elegan. Mereka tidak secara langsung berpihak pada salah satu kubu, tetapi keputusan mereka diam-diam menguntungkan kubu B.

Barangkali, ada pertemuan-pertemuan rahasia yang tidak masuk dalam agenda resmi. Barangkali, ada percakapan yang dilakukan tanpa jejak digital. Yang jelas, sikap mereka menunjukkan bahwa kubu B lebih "bermanfaat" bagi kestabilan sistem ini dibandingkan kubu A.

Namun, kestabilan ini hanya ilusi.

Setiap kali satu pihak merasa ditinggalkan, mereka akan menggunakan semua yang mereka miliki untuk menyerang. Saat ini, kubu A menggunakan media sebagai senjata. Besok, mungkin mereka akan menggunakan aparat. Lusa, mungkin akan ada demo yang dibuat seolah-olah itu murni aspirasi rakyat.

Dan dalam setiap konflik yang terjadi, ada satu kebenaran yang selalu bertahan: yang kalah bukan mereka yang tidak memiliki kekuatan, tetapi mereka yang gagal menyesuaikan diri dengan perubahan permainan.

Nasib Bumi Panua: Siapa yang Peduli?

Sementara itu, di luar panggung politik dan pertempuran ego ini, Bumi Panua tetap menangis dalam sunyi.

Sungai-sungai yang dulu jernih kini penuh dengan lumpur dan racun merkuri. Hutan-hutan yang dulu rimbun kini hanya menyisakan tanah merah yang gundul. Petani yang dulu menggantungkan hidup pada sawah mereka kini harus beralih menjadi buruh tambang, bukan karena ingin, tetapi karena tidak ada pilihan lain.

Namun, siapa yang benar-benar peduli?

Bagi mereka yang terlibat dalam permainan ini, Bumi Panua bukanlah tanah yang harus dijaga, tetapi sumber daya yang harus dieksploitasi selama masih bisa.

Mungkin suatu hari nanti, ketika tanah ini sudah tak lagi bisa ditambang, ketika air sudah tak lagi bisa diminum, dan ketika yang tersisa hanyalah lubang-lubang besar yang ditinggalkan begitu saja, barulah mereka yang dulu menikmati upeti mulai berpikir tentang akibat dari semua ini.

Tapi saat itu, mereka mungkin sudah pergi mencari tanah lain yang bisa dijarah, mencari sistem lain yang bisa dibeli, dan mencari permainan baru yang bisa mereka mainkan.

Dan Bumi Panua? Ia akan tetap di sini, dengan segala luka yang ditinggalkan. Sebab tanah tidak pernah bisa pergi, hanya manusia yang bisa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun