Hari ini, saya tiba di Bumi Panua. Di bulan Ramadhan yang suci, saat setiap muslim berpuasa menahan lapar, dahaga, dan nafsu, saya melihat sesuatu yang lebih lapar dari manusia, rakusnya pemodal, tamaknya penguasa, dan serakahnya sistem yang menjadikan tanah ini sebagai santapan haram mereka.
Di bulan Ramadhan, rakyat berpuasa dari kemewahan, berpuasa dari ketidakjujuran, berpuasa dari keserakahan. Tetapi mereka yang berkuasa? Mereka berpesta. Di meja panjang yang penuh hidangan lezat, mereka mengangkat gelas berisi es buah kemunafikan, minum untuk setiap jengkal tanah yang mereka jual, setiap keluarga yang mereka gusur, setiap pohon yang mereka tebang, dan setiap sungai yang mereka cemari.
Di saat rakyat berbuka dengan segelas air putih dan sepotong gorengan, mereka berbuka dengan lembaran uang hasil pengkhianatan. Di saat rakyat sujud berdoa, mereka bersujud pada para investor yang menjejali mereka dengan janji-janji pembangunan yang hanya membangun kemakmuran bagi segelintir orang.
Di bulan suci ini, mereka berpuasa dari rasa malu, berpuasa dari hati nurani, berpuasa dari keadilan.
Lihatlah tanah ini.
Tanah yang seharusnya dipenuhi oleh ladang hijau kini masih tetap hijau, namun hijaunya kelapa sawit.
Sungai yang dulu mengalirkan berkah kini berwarna kecoklatan, seolah ikut mengutuk mereka yang telah mengotorinya.
Hutan yang menjadi tempat berteduh bagi manusia dan burung Panua kini habis ditebas, dijual seharga tanda tangan di atas kertas.
Dan rakyat?
Rakyat yang sejak kecil hidup di sini, yang lahir, besar, menikah, membesarkan anak-anaknya, bahkan dikuburkan di tanah ini, mereka diusir, seolah mereka hanya sewa tinggal di kampung halamannya sendiri.