Mohon tunggu...
ratanca
ratanca Mohon Tunggu... opini | narablog | mahasiswa

dikelola oleh ra tanca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pram murka melihat kampus rasa pabrik!!

17 Maret 2025   03:34 Diperbarui: 17 Maret 2025   03:50 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pramoedya Ananta Toer kembali dari kuburnya. Bukan karena mukjizat, bukan pula karena sejarah mengundang, tetapi karena zaman memanggilnya. Ia bangkit dari tanah tempat tubuhnya dikuburkan tanpa nisan, berdiri di tengah negeri yang dulu ia perjuangkan dengan kata-kata dan penderitaan. Namun yang ia lihat bukan negeri yang lebih baik, melainkan negeri yang semakin dikendalikan oleh kaum pemodal, di mana ilmu dijual dengan harga tinggi, dan kampus bukan lagi tempat pemikir bebas, melainkan mesin yang mencetak ijazah seperti barang di jalur produksi.

Ia berjalan ke sebuah universitas, satu dari banyak universitas swasta yang kini lebih mirip perusahaan daripada lembaga pendidikan. Dindingnya tinggi, bukan untuk menjaga ilmu, tetapi untuk menutup rapat segala pertanyaan yang mengganggu bisnis mereka. Mahasiswa yang berjalan di lorong-lorongnya tidak berseri karena ilmu, tetapi gelisah karena tagihan.

Di depan gerbang, ia bertemu seorang mahasiswa. Wajahnya pucat, matanya penuh ketakutan.

"Mengapa wajahmu begitu tegang, anak muda?" tanya Pram.

"Aku baru saja dipanggil oleh pihak kampus," jawab mahasiswa itu dengan suara bergetar. "Karena aku bertanya di media sosial, kenapa biaya ujian dan wisuda begitu mahal. Mereka bilang aku menyebarkan provokasi, padahal aku hanya ingin tahu."

Pram menghela napas. Ini bukan zaman kolonial, tetapi nyatanya, manusia masih ditindas karena bertanya.

Ia masuk lebih dalam ke kampus itu. Di dalam aula besar, seorang pria berjas duduk di kursi tinggi, wajahnya penuh wibawa buatan. Ketua yayasan, sang "raja tanpa mahkota". Di tangannya, pendidikan bukanlah ilmu, tetapi bisnis keluarga.

Pram mendekat.

"Mengapa kau membungkam mahasiswa yang hanya bertanya?" tanyanya.

Ketua yayasan itu tersenyum tipis, penuh kesombongan. "Karena pertanyaan mereka mengganggu kestabilan kampus. Pendidikan butuh ketertiban, bukan keributan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun