Pendahuluan
Kampus seharusnya menjadi ruang ilmiah yang terbuka bagi diskusi kritis, di mana mahasiswa dapat menyampaikan pendapat tanpa rasa takut. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kebebasan akademik di Indonesia justru mengalami tekanan, dengan semakin banyaknya kebijakan represif yang membungkam suara mahasiswa. Salah satu kasus terbaru terjadi di salah satu Universitas di Gorontalo, di mana mahasiswa yang mengkritik kebijakan biaya akademik justru dikenakan sanksi berat, mulai dari skorsing hingga Drop Out (DO).
Fenomena ini bukanlah kasus tunggal, melainkan bagian dari pola lebih besar dalam sejarah pendidikan tinggi di Indonesia, di mana kampus kerap dijadikan alat kontrol kekuasaan. Dengan menelusuri sejarah gerakan mahasiswa serta membandingkan kebijakan akademik di berbagai negara, tulisan ini bertujuan untuk mengkritisi otoritarianisme kampus serta menegaskan urgensi demokrasi akademik.
Sejarah Kampus sebagai Ruang Kebebasan Berpikir
Secara historis, universitas di seluruh dunia lahir sebagai pusat pemikiran kritis yang menantang status quo. Dari Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko yang berdiri pada abad ke-9, hingga Universitas Bologna di Italia pada abad ke-11, pendidikan tinggi berkembang sebagai arena bagi intelektual untuk menyampaikan ide-ide baru.
Di Indonesia, tradisi ini juga terlihat dalam berbagai gerakan mahasiswa yang berperan besar dalam perubahan sosial-politik. Beberapa contoh penting meliputi:
1. Gerakan Mahasiswa 1966, yang menumbangkan Orde Lama dan mendorong Reformasi pemerintahan.
2. Gerakan 1998, yang menjadi puncak perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru hingga kejatuhan Soeharto.
3. Gerakan Menolak RKUHP 2019, yang menunjukkan bahwa mahasiswa masih memiliki peran strategis dalam mengawal demokrasi.
Seiring berjalannya waktu, kebebasan akademik justru semakin ditekan dengan berbagai regulasi dan tindakan represif dari institusi pendidikan itu sendiri.