Pagi datang dengan embusan angin laut yang masih sama, membawa aroma asin yang kini mulai akrab dengan kehidupanku. Aku melangkah menuju sekolah, menyusuri jalan setapak yang biasa kulewati. Di kejauhan, anak-anak sudah berkumpul di halaman, bermain sambil menungguku datang. Â
"Selamat pagi, Pak Guru!" seru mereka serempak. Â
Aku tersenyum. "Selamat pagi! Sudah siap belajar hari ini?" Â
Mereka mengangguk antusias. Melihat wajah ceria mereka, aku merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, ada yang menantiku setiap hari, meskipun bukan istri atau sahabatku. Â
Hari itu, aku mengajar seperti biasa. Menulis di papan tulis, menjelaskan materi, dan sesekali bercanda dengan mereka. Tapi, pikiranku terus melayang ke tempat lain, ke rumah, ke kota seberang, ke istriku yang mungkin sedang sibuk dengan pasiennya. Â
Saat istirahat, aku duduk di beranda kelas sambil menatap luas pemandangan laut. Ponselku masih sepi dari kabar mutasi. Aku mengecek pesan dari istriku. Â
"Kamu sehat? Jangan lupa makan ya."
Aku tersenyum kecil, mengetik balasan. "Sehat, kok. Kamu juga jaga diri, ya." Â
Aku tidak ingin membuatnya khawatir. Aku tahu dia juga merindukanku, sama seperti aku merindukannya. Tapi, aku harus bersabar. Â
Malamnya, aku kembali duduk di depan rumah dinas, menikmati langit yang bertabur bintang. Kali ini, aku mencoba menguatkan hati. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tapi aku percaya, waktu untuk pulang akan tiba. Â
Aku hanya perlu terus bertahan, mengajar dengan sepenuh hati, dan berdoa agar mutasi segera datang. Â
Karena sejauh apa pun aku melangkah, hatiku tetap tertinggal di rumah bersama istri tercinta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI