Ombak kecil berkejaran di bibir pantai, menyapu butiran pasir yang terasa hangat di kaki. Angin laut membelai wajahku, membawa aroma asin yang khas. Aku duduk di depan rumah dinasku, menatap langit yang perlahan berubah warna saat senja mulai datang. Di tangan, kubolak-balik layar ponsel, menunggu pesan yang tak kunjung datang, kabarnya mutasi yang kuharapkan.
Namaku Ray, seorang guru yang bertugas di pulau seberang. Jauh dari keramaian kota, jauh dari istri tercinta, jauh dari sahabat-sahabat yang selalu menemani. Aku menjalani hari-hariku dengan mengajar anak-anak di sekolah dasar kecil di pulau ini. Mereka polos, penuh semangat, dan selalu menyambutku dengan senyum setiap pagi.
Namun, di balik senyum yang kuberikan untuk mereka, ada rindu yang terus mengendap dalam hati.
Malam hari adalah saat yang paling sulit. Setelah seharian mengajar, menyiapkan materi, dan berbincang dengan warga dusun, aku sering kali terduduk sendiri di depan rumah dinasku, menatap bintang-bintang yang berserakan di langit. Aku membayangkan istriku sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai bidan, membantu kelahiran kehidupan baru. Aku membayangkan sahabat-sahabatku, mungkin sedang bercanda di warung kopi, membahas hal-hal kecil yang sering membuat kami tertawa dulu.
Aku ingin pulang. Tapi aku tak bisa.
Suatu malam, aku menerima pesan dari istriku.
"Aku rindu. Kapan kamu pulang?"
Aku terdiam lama. Jari-jariku gemetar di atas layar ponsel. Aku ingin menjawab "Segera," tapi aku tahu itu bohong. Aku hanya bisa mengetik, "Aku juga rindu. Doakan aku sehat dan kuat di sini."
Hidup di pulau seberang adalah perjuangan. Tapi di balik itu, ada secercah harapan. Aku percaya, suatu hari nanti, aku akan kembali. Berkumpul dengan istri, sahabat, dan semua yang aku rindukan. Tapi untuk saat ini, aku harus tetap di sini. Karena ada anak-anak yang menantikan senyum dan ilmu dariku setiap pagi.
Mungkin, rindu ini bukan untuk diratapi. Tapi untuk menjadi pengingat, bahwa di disana, ada yang menungguku pulang.
Pagi ini, aku berjalan menuju sekolah kecil tempatku mengajar. Bangunannya sederhana, dindingnya sudah banyak yang rusak, dan atapnya sering kali bocor jika hujan turun deras. Tapi di dalamnya, ada anak-anak yang haus akan ilmu, menantikan kedatanganku dengan wajah penuh harapan. Itulah yang membuatku bertahan.