"Bapak tidak punya jawabannya, tetapi Bapak merasa ada semacam ikatan yang menarik kamu ke sini," ujarnya.
"Maksudnya gimana, Pak?"
"Bapak merasa sudah lama mengenal kamu."
Aku mengerutkan dahi. Benarkan hantu punya perasaan semacam itu? Masih berpikir tentang teori yang seringkali dipakai pada cerita horor. "Maaf, Pak, kalau lancang. Katanya setiap arwah penasaran selalu punya urusan yang belum selesai di dunia ini. Bapak punya jugakah?"
Pak Dibyo mengusap-usap dagu. Untuk beberapa lama aku menunggu jawaban. Pak Dibyo menegakkan badannya. Ia menarik napas panjang. Sepertinya ia sudah mendapatkannya lalu mengembuskannya lesu. Aku menatap Pak Dibyo, menunggu kata-kata meluncur dari mulutnya.
"Ah, Bapak nggak tahu, Nak."
Aku menghela napas pasrah.
"Nak Fiki, kamu tidak takut sama Bapak?"
Aku menggeleng cepat. Sejujurnya sejak awal aku tidak pernah merasa takut melihat Pak Dibyo. Nasihat-nasihat Marno yang lebih mengarah ke parno pun aku sudah buang. Pak Dibyo seperti manusia pada umumnya, bedanya aku hanya tidak bisa menyentuhnya. Ia seperti asap yang mengepul membentuk rupa manusia. Itu pun baru kusadari sekarang. Seperti yang kubilang tadi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan, tidak hancur dan tidak busuk. Kalau bentukannya begitu, mungkin aku sudah lari terbirit-birit sejak pertama kali.
Ponselku di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Aku mengusap ikon merah lalu meletakkan kembali.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Pak Dibyo.