"Fik, saranku, kamu pindah aja, deh. Nggak papa jauh dari sekolah, yang penting kamu enggak ngekos di sini." Marno memelankan suaranya bahkan hampir berbisik. "Atau kalau nggak, kamu harus seriusan tanya ibu kosmu, kenapa nggak ada lagi orang yang mau kos di situ meskipun posisinya persis di depan sekolahan kita," tandas Marno.
Atas saran Marno, aku memberanikan diri bertanya kepada ibu kos tentang Pak Dibyo. Muka panik Marno masih membayang di otakku saat tahu aku ngekos di rumah papan depan sekolah.
"Maaf, Nak Fiki. Ibu... Ibu nggak kasih tahu yang sebenarnya." Muka Ibu Yati berubah sedih.
"Pak Dibyo sudah meninggal 7 tahun lalu."
Aku kaget. Bulu romaku berdesir. Bukan karena penuturan Bu Yati sebab sejak obrolan terakhir dengan Marno aku sudah mempersiapkan diri. Aku tidak siap saja karena dugaan Fiki tidak meleset. Aku yakin, dia akan mengejekku setelah ini karena kemarin aku ngotot kosku aman-aman saja.
Dari cerita Bu Yati aku dapat informasi tambahan tentang Pak Dibyo. 15 tahun yang dikatakan Pak Dibyo bukan waktu yang sebenarnya, melainkan delapan tahun saat ia hidup ditambah tujuh tahun setelah ia menjadi arwah penasaran. Ia meninggal di kamar kosnya setelah cukup lama bertahan dengan gangguan pernapasan. Bu Yati mengingatkanku untuk tidak pernah takut. Katanya arwah Pak Dibyo itu baik, tidak akan mengganggu. Aku setuju dengan Bu Yati.
"Tenang aja Bu Yati, lagian aku sering dikasih makanan sama Pak Dibyo," kataku.
Bu Yati terperanjat kaget, "Terus kamu makan gitu?"
Aku mengangguk.
"Harusnya jangan dimakan. Mungkin di matamu itu makanan, tetapi aslinya bukan. Bisa jadi..." Bu Yati menggantung kalimatnya.
"Apa, Bu?"