"Entahlah... bisa jadi tanah, cacing, belatung atau apalah...." Bu Yanti menjawab sekenanya.
Membayangkan semua yang dikatakan Bu Yati, ada gejolak tidak nyaman dari dalam perutku. Badanku terasa dingin. Semua hal menjijikkan memenuhi kepalaku sehingga aku tidak bisa menahan mual. Aku berlari ke dapur Bu Yati memilih wastafel yang lebih dekat daripada ke toilet. Untung perutku masih kosong. Tidak ada yang kukeluarkan selain cairan yang terasa pahit di lidah. Setelah merasa lega, aku kembali ke posisi semula. Bu Yati menatapku iba.
"Terus saya harus bagaimana, Bu?" Aku mulai merasa takut.
"Nggak papa. Cobalah untuk tetap terlihat tenang. Jangan lupa dekatkan diri sama yang Maha Kuasa."
Ah, nasihat paling umum kalau sudah berhadapan dengan makhluk tak kasat mata. Bisa dibilang tidak cukup membantu untuk saat ini.
"Kalau saya pindah gimana, Bu?"
"Eh, jangan begitu. Itu bisa buat arwahnya marah. Terlebih Pak Dibyo sudah telanjur seneng sama kamu," cegah Bu Yati.
"Bu Yati benar. Kalaupun kamu mau pindah. Saya ikut."
Suara berat laki-laki di belakangku tiba-tiba membuat tubuhku kaku. Begitu juga dengan Bu Yati. Kami saling tatap dengan muka perlahan memucat. Bu Yati berusaha memutar kepala. Aku mengikuti. Mulut kami sama-sama menganga. Sosok yang kami bicarakan sedang berdiri di sana sambil tersenyum. Kalau Pak Dibyo benar-benar bisa mengikut, maka satu teori tentang arwah penasaran yang terpatahkan adalah hantu itu nggak melulu terjebak di tempat di mana ia meregang nyawa.
***
Kejadian kemarin memantapkan keputusanku untuk pindah rumah. Untuk sementara aku tidak memberitahu Marno. Aku sudah langsung terbayang muka songongnya yang jauh lebih menyebalkan.